Sungguh amat pantas apabila Allah subhanahu wata’ala menempatkan para Shahabat Radhiyallahu’anhum di tempat yang mulia setelah Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan memberikan jaminan akan kehidupan yang penuh dengan kebaikan dan keberkahan, khususnya kehidupan di akhirat kelak berupa surga yang selalu didambakan oleh setiap mu’min, sebagaimana yang telah diabadikan di dalam Firman Allah subhanahu wata’ala yang mulia, artinya,
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka denga baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. at-Taubah: 100)

Apakah yang mengantarkan mereka sehingga dapat meraih apa yang ingin diraih oleh setiap insan. Tentunya karena ada sesuatu yang ajaib pada mereka. Sesuatu yang mengagumkan di balik kehidupan dan kepribadian mereka yang sarat dengan kebaikan dan keteladanan yang pantas untuk dicontoh dan diikuti. Bahkan mengikuti dan meneladani mereka adalah suatu yang niscaya dan wajib bagi setiap muslim. Dan sebaliknya tidak mau mengikuti dan meneladani mereka adalah suatu kehancuran, merupakan bentuk kesombongan serta penolakan terhadap seruan Ilahi. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam, “Tidak masuk surga seseorang yang di dalam dirinya masih terdapat kesombongan walaupun hanya sebesar dzarroh. Bertanya seseorang: apa itu sombong? Lalu Rasulullah menjawab: menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim)

Hati siapa yang tidak akan terkesan dan tergugah ketika kembali menelusuri dan menapaktilasi kehidupan para sahabat. Sifat dan akhlak yang mulia menghiasi hari-hari mereka, ibadah yang tulus dan ikhlas memenuhi relung-relung kehidupan mereka. Tentunya tidak cukup untuk dilukiskan dan dipaparkan semua kehidupan mereka dalam media ini. Mari kita ambil satu saja dari sifat-sifat mereka yang agung sebagai contoh dan bukti bahwa betul ungkapan di atas yang mengawali tulisan ini. Yakni sebagaimana kisah yang terdapat dalam hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, “Seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, lalu dia berkata, “Sungguh aku ini miskin dan sangat lapar.” Lalu Rasulullah n menyampaikan hal tersebut kepada sebagian istri beliau. Maka mereka berkata, “Demi Dzat yang telah Mengutusmu dengan hak, saya tidak memiliki apa-apa kecuali air. Kemudian Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam menyampaikan hal itu kepada istri-istri beliau yang lain. Sampai semuanya mengatakan jawaban yang sama, “Demi Dzat yang telah Mengutusmu dengan hak, saya tidak memiliki apa-apa kecuali air. Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam pun bertanya kepada para sahabat, “Siapakah kiranya yang sudi menjamu tamuku malam ini? Maka berkatalah seorang dari kalangan Anshar, “Saya wahai Rasulullah.” Kemudian sahabat tersebut membawa tamunya ke rumahnya. Lalu berkata kepada istrinya, “Muliakanlah tamu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.”

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa shahabat tersebut bertanya kepada istrinya, “Apakah kamu memiliki sesuatu (untuk menjamu tamu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam). Istrinya pun menjawab, “Tidak ada, hanya makanan yang cukup untuk anak-anak kita. Lalu sahabat tersebut berkata, “Sibukkanlah anak-anak kita dengan sesuatu (ajak main), kalau mereka ingin makan malam, ajak mereka tidur. Dan apabila tamu kita masuk (ke ruang makan), maka padamkanlah lampu. Dan tunjukkan kepadanya bahwa kita sedang makan bersamanya. Mereka duduk bersama, tamu tersebut makan, sedangkan mereka tidur dalam keadaan menahan lapar. Tatkala pagi, pergilah mereka berdua (sahabat dan istrinya) menuju Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Lalu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memberitakan (pujian Allah subhanahu wata’ala terhadap mereka berdua), “Sungguh Allah merasa heran/kagum dengan perbuatan kalian berdua terhadap tamu kalian).”(Muttafaqun ‘alaih)

Subhanallah wa maa sya’allah, mungkin kalimat inilah yang pertama kali pantas diucapkan. Bukan hanya Allah subhanahu wata’ala yang kagum melihat peristiwa semacam ini tentunya, tapi siapa pun yang membaca dan mendengar kisah ini juga akan turut terkagum-kagum. Ya, memang sangat pantas kalau mereka diistimewakan oleh Allah subhanahu wata’ala. Kita pasti sadar dan mengakui tidak semua orang mampu melakukan perbuatan tersebut. Terlebih lagi di tengah himpitan ekonomi yang membuat hati kehilangan rasa belas kasihan terhadap orang yang boleh jadi jauh lebih sulit dan susah hidupnya, karena merasa “toh saya juga susah”. Dia lupa atau mungkin tidak tahu kalau hidup ini sebuah ujian Allah, dunia adalah tempat berinvestasi kebaikan dan pahala. Atau mungkin dia lupa bahwa surga diperuntukkan bagi orang-orang yang bukan saja mampu menyedekahkan hartanya saat dia memiliki kelapangan rizki, tapi juga mampu memberikannya kepada orang lain saat ia juga sangat membutuhkan.
Allah subhanahu wata’ala berfirman bahwa perbuatan di atas merupakan bagian dari ciri-ciri atau sifa-sifat orang yang bertakwa atau penghuni surga,
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit.”
(QS. Ali Imron: 134).

Sifat inilah yang dikenal dengan ‘al-Itsar’, di mana para ulama mendefinisi kannya (di antaranya Syaikh Ibnu Utsaimin) adalah mengutamakan kepentingan orang lain atas kepentingan pribadi. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah subhanahu wata’ala tentang sifat atau perbuatan yang terpuji ini, yang dimiliki oleh para shahabat Anshar, artinya,
“Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”(QS. al-Hasyr: 9)

Hukum Seputar Al-Itsar

Tidak semua yang baik akan selamanya menjadi baik, misalnya ketika diletakkan pada tempat yang tidak baik atau tidak sebagaimana mestinya. Apalagi kalau hal itu dikaitkan dengan hukum-hukum syar’i atau ditinjau dari perspektif hukum Islam. Seperti perkataan hak yang tidak diucapkan pada tempat yang hak, maka ia tidak dikatakan dengan “al-Qoul as-Sadid” (ucapan yang benar), karena dampaknya bukan suatu yang mendatangkan maslahat dan kebaikan, justru sebaliknya yang ada hanya fitnah dan madharat baik bagi orang yang mengucapkannya atau bagi orang yang mendengarkannya. Begitu juga dengan “al-Itsar”, tidak semua mengutamakan orang lain atas diri kita itu menjadi kebaikan atau ternilai ibadah, tatkala mengutamakan di sini justru bertentangan dengan ketentuan-ketentuan agama yang ada. Maka dari hal ini Syaikh Ibnu Utsaimin membagi al-Itsar menjadi 3 macam hukumnya:

Yang pertama; Haram.

Kapan sifat atau perbuatan yang pada asalnya adalah terpuji ini, justru dihukumi haram ketika dilakukan. Yakni ketika seseorang mengutamakan orang lain atas dirinya dalam perkara-perkara yang diwajibkan Allah subhanahu wata’ala atas dirinya. Contoh: seorang yang belum berwudhu dan hanya memiliki air yang cukup untuk dirinya sendiri, sementara ada orang lain yang juga belum berwudhu dan tidak memiliki air. Dalam hal ini haram baginya memberikan air tersebut untuk saudaranya. Karena kewajiban orang yang memiliki air saat masuk waktu sholat adalah berwudhu dengan air tersebut, sedangkan saudaranya, maka gugurlah kewajiban nya untuk berwudhu dengan air, karena ketidakadaannya. Dan dalam hal ini ia bertayammum dengan debu sabagai ganti air.

Yang ke dua; Makruh atau Mubah

Yakni mengutamakan orang lain atas dirinya dalam perkara-perkara yang mustahab atau sunnah. Di mana para ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Sebagian menghukumi makruh dan sebagian lain menghukumi mubah, tetapi meninggalkan nya adalah lebih utama kecuali di dalamnya ada maslahat. Contoh: seorang yang mempersilahkan orang lain pada tempatnya di shaf yang pertama dalam shalat. Maka perbuatan seperti ini dianggap makruh oleh sebagian ahlul ilmi. Alasannya karena orang tersebut berarti tidak mencintai kebaikan, sedang tidak cinta kepada kebaikan adalah perbuatan yang makruh. Sebagian lain berpendapat mubah tetapi meninggalkannya (al-itsar dalam perkara yang mustahab) adalah lebih utama (aula) kecuali ada maslahatnya. Contoh: seorang yang mempersilahkan bapaknya pada tempatnya di shaf pertama, karena khawatir tersinggung dan lain sebagainya (menimbulkan fitnah), maka dalam hal ini dibolehkan.

Yang ke tiga; Mubah

Yakni mengutamakan orang lain atas dirinya dalam perkara-perkara yang bukan ibadah. Dan terkadang hukumnya menjadi mustahab (sangat dianjurkan dan terpuji). Contoh seorang yang memiliki makanan dan ia dalam keadaan lapar, sementara saat itu ada saudaranya yang juga lapar, maka jika seorang tersebut mengutamakan saudaranya atas dirinya padahal ia juga dalam keadaan yang sama (lapar) tentunya hal ini perbuatan yang sangat terpuji (mahmud), sebagaimana telah disebutkan di atas dalam surat al-Hasyr ayat: 9, bagaimana Allah subhanahu wata’ala memuji para sahabat Anshar yang memiliki sifat al-Itsar tersebut. Dan juga seperti perbuatan seorang sahabat anshar dalam hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam di atas yang diriwayatkan secara Muttafaq ‘alaih.
Semoga kita semua dapat mengambil manfaat dari uraian di atas dan juga bisa meneladani sifat-sifat atau perbuatan-perbuatan terpuji yang dimiliki Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan para sahabat beliau sehingga bisa menjadi salah satu sebab kita dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala dan dimasukkan ke dalam surga Nya. Amin. (Abu Nabiel)

Sumber:
– Tafsir Ibnu Katsir, surat al-Hasyr ayat: 9
– Riyadhush Shalihin, syarah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.