Salah satu nikmat yang diberikan oleh Allah Subhanahu wata،¦ala subhanahu wata،¦ala adalah nikmat lisan. Ia, meskipun kecil bentuknya, namun sangat besar pengaruhnya bagi kabaikan dan keburukan seseorang. Dengan lisan seseorang dapat megungkapkan apa yang dia inginkan, dengannya manusia dapat saling berkomunikasi, manusia dapat saling memberikan kebaikan dan manfaat kepada sesama. Tetapi di balik itu semua, lisan juga dapat menjadi sumber bencana.

Berbicara adalah sesuatu yang gampang-gampang susah. Jika yang dimaksudkan hanya sekedar mengeluar kan suara, kata-kata ataupun bunyi maka itu merupakan hal yang mudah bagi setiap orang yang memiliki lisan normal. Tetapi kalau yang dimaksudkan adalah mengucapkan kata-kata yang baik, bermanfaat, membawa maslahat maka tidak setiap orang bisa melakukannya dalam setiap kalimat yang dia ucapkan. Oleh karena itu, Islam membimbing kita dalam hal ucapan ini, seperti; “Ucapkanlah perkataan yang mulia, ucapkanlah perkataan yang baik, ucapkankanlah perkataan yang mudah,” dan selainnya. Juga banyak memperingat kan kita dari ucapan yang buruk seperti; Lahwal hadits (ucapan sia-sia), qauluz zuur (ucapan kedustaan dan palsu), lahwun wa la’ibun (kesia-sian dan main-main), qiila wa qala (menyebarkan gosip), laghwun atau lagha, ghibah, namimah dan selainnya.

Maka merupakan kekeliruan jika seseorang berkeyakinan bahwa ucapan itu tidak mempunyai konsekuensi apa-apa. Sebab kalau demikian, maka tidak ada bedanya antara ucapan manusia dengan suara selain manusia. Dan juga tidak ada bedanya antara ucapan yang baik dan yang buruk, perkataan kufur dengan keimanan, jujur dengan dusta, benar dengan nifaq dan seterusnya. Sehingga orang yang mengucapkan perkataan baik tidak mendapat pahala apa-apa dan yang berbicara buruk juga tidak akan mendapatkan dosa.

Padahal Allah Subhanahu wata،¦ala berfirman dalam surat Qaaf: 18, artinya,
،§Tiada suatu ucapan pun yang diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.،¨

Nabi shallallahu،¦alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah Subhanahu wata،¦ala akan melewatkan dari ummatku (tidak menyiksa) terhadap apa-apa yang terlintas dalam benak atau yang dikatakan oleh jiwanya (hatinya) selagi dia tidak mengerjakan atau mengucap kannya.” (HR. al-Bukhari).

Dalam sabda beliau yang lain dari Muadz bin Jabal radhiyallahu،¦anhu disebutkan, “Sesungguhnya engkau senantiasa dalam keselamatan selagi engkau diam, apabila engkau telah berbicara, maka ditulislah (pahala) untukmu atau (dosa) atasmu.” (HR. Ibnu Abi ad-Dunya dengan sanad jayyid). Oleh karenanya seorang bijak mengatakan,”Kata-kata yang belum kauucapkan maka engkaulah yang mengendalikannya, sedangkan kata-kata yang telah kauucapkan maka dialah yang mengendalikanmu.”

Lisan seseorang adalah merupakan cerminan dari baik dan buruknya orang tersebut, bahkan merupakan salah satu penentu baik buruknya kualitas iman seseorang. Nabi shallallahu،¦alaihi wasallam bersabda, “Tidak akan lurus iman seorang hamba sehingga lurus hatinya, dan tidak akan lurus hatinya, sehingga lurus lisannya. Dan seseorang tidak akan masuk surga apabila tetangganya tidak merasa aman dari kejahatan lisannya.” (HR. Imam Ahmad dan selainnya)

Kedudukan Ucapan yang Baik

Allah Subhanahu wata،¦alaƒnmengaitkan perintah berkata yang benar dan baik dengan perintah taqwa, dan Dia juga menjelaskan bahwa keduanya (takwa dan ucapan yang benar) akan menjadi sebab seseorang berperilaku baik dan mendapatkan ampunan. Allah Subhanahu wata،¦alaƒnberfirman, artinya,
،§Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah Subhanahu wata،¦ala dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah Subhanahu wata،¦ala memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mena’ati Allah Subhanahu wata،¦ala dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.،¨ (QS. al-Ahzab: 70-71).
Ayat ini menunjukkan tentang kemuliaan dan kedudukan perkataan yang benar dan baik.

Ucapan yang Baik Lebih Baik daripada Sedekah yang Diikuti Ucapan Buruk.

Tidak ada yang menyangkal bahwa sedekah adalah merupakan amal yang sangat mulia dan baik. Tetapi itu tidak memiliki makna apa-apa jika orang yang bersedekah tadi mengiringi sedekahnya dengan ucapan yang buruk, menyakitkan atau mengungkit-ungkitnya. Di sisi Allah Subhanahu wata،¦ala ia tidak mendatangkan pahala, layaknya orang yang berbuat riya’ dan tidak beriman kepada Allah Subhanahu wata،¦alaƒndan hari Akhir. Allah Subhanahu wata،¦ala berfirman, artinya,
“Perkataan yang baik dan pemberian ma’af lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakit kan (perasaan sipenerima). Allah Subhanahu wata،¦ala Maha Kaya lagi Maha Penyantun. (QS. al-Baqarah:263)

Rasulullah shallallahu،¦alaihi wasallam sendiri telah menjelaskan, bahwa kalimat yang baik adalah termasuk shadaqah, karena keberadaannya yang dapat membahagia kan orang lain, sebagaimana sedekah yang akan membuat bahagia orang yang disedekahi.

Ucapan yang Baik Merupakan Salah Satu Sarana Terbesar untuk Masuk Surga

Rasulullah shallallahu،¦alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang dapat menjamin untukku apa yang ada di antara dua dagunya (lisan) dan apa yang ada di antara kedua kakinya (kemaluan) maka aku menjamin untuknya surga.” (HR. al-Bukhari).

Ucapan yang Baik Mendatangkan Keridhaan Allah Subhanahu wata،¦ala

Rasulullah shallallahu،¦alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang mengucapkan perkataan yang diridhai Allah Subhanahu wata،¦ala yang mana dia tidak pernah menyangka perkataannya itu akan menyebabkan dampak yang baik, yang karenanya Allah Subhanahu wata،¦ala akan menulis keridhaan-Nya baginya sampai pada hari dia menemui-Nya.،¨ (HR. Malik, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Ucapan yang Baik Merupakan Indikator Kebaikan Seorang Mukmin

Rasulullah shallallahu،¦alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik kualitas keislaman kaum mukminin adalah orang yang kaum muslimin merasa aman dari (kejahatan) lisan dan tangannya. Sebaik-baik (kualitas) keimanan kaum mukminin adalah yang paling baik akhlaqnya.،¨ (HR. ath-Thabrani dan Ibnu Nashar)

Ucapan yang Baik Merupakan Salah Satu Tanda Keimanan

Rasulullah shallallahu،¦alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah Subhanahu wata،¦ala dan hari Akhir maka hendaklah dia berkata yang baik atau diam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Teladan dari Nabi shallallahu،¦alaihi wasallam

Orang yang mencermati pribadi Rasulullah shallallahu،¦alaihi wasallam maka akan medapati keteladanan yang luar biasa sempurna pada diri beliau, termasuk dalam mengendalikan perkataan. Satu kesimpulan tertinggi yang mungkin dapat mengungkapkan kehebatan beliau dalam mengolah lisan yakni bahwa diam beliau adalah emas dan ucapan yang keluar dari lisan beliau yang mulia adalah mutiara-mutiara nan berkilau. Tatkala beliau mengatakan dalam sabdanya, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah Subhanahu wata،¦ala dan hari Akhir maka hendaklah dia berkata yang baik atau diam, ” maka beliau adalah orang yang paling pertama memberikan contoh.”

Beliau tidaklah berkata-kata kecuali sesuatu yang sudah jelas kebaikan dan mashlahatnya. Apabila sedang marah maka beliau memilih diam, dan para shahabat mengetahui dari rona wajah beliau yang berubah. Beliau apabila ditanya tentang kebaikan maka sering memberikan jawaban lebih dari sekedar yang ditanyakan, supaya si penanya puas dan mendapatkan gambaran yang utuh tentang apa yang ditanyakan. Suatu ketika Muadz bin Jabal pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu،¦alaihi wasallam, “Wahai Rasulullah shallallahu،¦alaihi wasallam beritahukanlah kepadaku tentang suatu amal yang dapat memasukkanku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka?” Maka beliau menjawab,“Sesungguhnya engkau telah bertanya tentang sesuatu hal yang sangat besar, dan sesungguhnya itu adalah mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah Subhanahu wata،¦ala Ta’ala atasnya. Engkau menyembah Allah Subhanahu wata،¦ala dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan berhaji ke Baitullah.” Kemudian beliau berkata, “Maukah engkau kuberitahu tentang pintu-pintu kebaikan?” Puasa adalah perisai, sedekah memadamkan kesalahan-kesalahan sebagaimana air memadam kan api, dan shalatnya seorang laki-laki di tengah malam. Kemudian beliau membaca firman Allah Subhanahu wata،¦ala,
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sampai firman-Nya, “Apa yang telah mereka kerjakan.” Kemudian beliau bersabda, “Maukah aku beritahukan kepadamu pokok-pokok urusan, tiang-tiangnya, dan puncaknya? Aku menjawab, “Tentu wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Pokok urusan adalah Islam, tiang-tiangnya adalah shalat dan puncaknya adalah jihad.” Kemudian beliau bersabda, “Maukah kuberitahu kan kepadamu tentang pengendali (kunci) seluruh perkara itu? Aku menjawab, “Tentu wahai Rasulullah.” Maka beliau memegang lisannya seraya bersabda, “Tahanlah olehmu ini.” (HR. at-Tirmidzi, beliau berkata hadist hasan shahih). Wallahu Subhanahu wata،¦ala a،¦lam bish shawab.

Sumber:
– Manajemen Lisan, Pustaka Darul Haq Jakarta, cet 1 Th 2004
– Al-Arbai’in an-Nawawiyah