Di antara akidah Ahlus Sunnah adalah kebersihan lisan merekan dari apa yang terjadi di antara mereka dalam bentuk perselishan dan pertikaian, karena Ahlus Sunnah menahan diri dari hal tersebut.

Setelah terbunuhnya Umar bin al-Khattab di kalangan sahabat terjadi perselisihan-perselisihan, ia semakin memuncak di akhir khilafah Usman dan puncaknya adalah terbunuhnya Khalifah Rasyid, menantu Rasulullah saw, suami dari dua orang putri beliau, maka terjadilah di antara mereka apa yang terjadi sampai terjadi peperangan.

Ini adalah persoalan yang masyhur, ia terjadi – tanpa ragu – karena takwil dan ijtihad, masing-masing pihak mengira benar. Tidak mungkin bagi kita berkata: Aisyah az-Zubair bin al-Awwam memerangi Ali sementara mereka sendiri meyakini di atas kebatilan sedangkan Ali di atas kebenaran.

Namun keyakinan mereka bahwa mereka benar tidak berarti bahwa mereka memang benar. Akan tetapi kalau mereka salah dan kita mengetahui bahwa mereka tidak melakukan hal ini kecuali berdasarkan kepada ijtihad, maka Nabi telah menetapkan bahwa, “Jika seorang hakim menetapkan hukum lalu dia berijtihad dan benar maka dia memperoleh dua pahala. Jika dia menetapkan hukum lalu berijtihad dan salah maka dia memperoleh satu pahala.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Kami katakan, mereka adalah orang-orang yang berijtihad dan kalaupun mereka salah maka mereka memperoleh satu pahala. Inilah yang terjadi dan sikap kita kepadanya terlihat dari dua sisi: Pertama, hukum terhadap pelaku dan kedua adalah sikap kita terhadap pelaku.

Yang pertama telah dijelaskan yaitu bahwa apa yang kita yakini di hadapan Allah adalah bahwa apa yang terjadi pada mereka berasal dari hasil ijtihad, pelaku ijtihad yang salah diampuni dan dimaklumi.

Adapun sikap kita kepada pelaku maka kita wajib menahan diri dari apa yang mereka perselisihkan. Mengapa kita jadikan perbuatan mereka sebagai lahan untuk mencaci, mencela dan melecehkan mereka dan hal itu memicu kebencian di antara kita, kalau kita melakukan maka bisa jadi kita salah atau tidak bersalah dan kedua-duanya tidak menguntungkan. Yang wajib bagi kita dalam perkara sepeti ini adalah menahan diri dari apa yang terjadi di antara para sahabat.

Ada beberapa riwayat terkait dengan terjadinya perselisihan di antara para sahabat. Ibnu Taimiyah membagi riwayat-riwayat tentang keburukan para sahabat dalam hal ini menjadi tiga:

Pertama: Dusta murni, tidak terjadi pada mereka. Ini banyak sekali ditemukan dalam riwayat Nawashib tentang Ahli Bait dan riwayat Rafidhah tentang selain Ahli Bait.

Kedua: Riwayat yang memiliki asal usul hanya saja ia telah ditambah atau dikurangi atau dibelokkan dari aslinya demi kepentingan hawa nafsu dan tendensi buruk lainnya. Kedua bagian ini wajib ditolak dan dibuang sejauh-jauhnya.

Ketiga: Riwayat shahih. Ibnu Taimiyah menjelaskannya dengan ucapannya, “Dan mereka harus dimaklumi pada yang shahih darinya karena bisa jadi mereka adalah orang-orang yang berijtihad lalu benar atau orang-orang yang berijtihad lalu salah.”

Apa yang terjadi antara Ali dan Muawiyah berawal dari ijtihad dan takwil. Sekalipun tanpa ragu Ali lebih dekat kepada kebenaran daripada Muawiyah bahkan kita hampir memastikan bahwa Alilah yang benar, hanya saja Muawiyah adalah orang yang berijtihad.

Sabda Nabi ini menunjukkan bahwa Ali lebih dekat kepada kebenaran, “Duhai Ammar, dia dibunuh oleh kelompok pembangkang.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Dan Ammar berada di pihak Ali lalu dia terbunuh oleh teman-teman Muawiyah. Dengan ini merekalah kelompok pembangkang yang memberontak kepada Imam atau pemimpin. Hanya sja mereka melakukan itu karena takwil dan kebenaran berada di pihak Ali dengan yakin minimal dugaan.

Ada bagian keempat yaitu kesalahan-kesalahan yang terjadi dari mereka bukan karena ijtihad dan bukan karena takwil. Penulis menjelaskannya dengan mengatakan, “Meskipun begitu mereka –yakni Ahlus Sunnah- tidak meyakini bahwa setiap sahabat ma’shum dari dosa besar dan kecil.” Mereka tidak meyakini itu karena Nabi bersabda, “]Setiap Bani Adam adalah pelaku kesalahan dan sebaik-baik pelaku kesalahan adalah yang bertaubat.” Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ahmad.

Secara personal dosa besar mungkin terjadi dari mereka sebagaimana yang terjadi pada Hassan bin Tsabit, Misthah bin Utsathah dan Hamnah binti Jahsy pada kisah dusta yang dituduhkan kepada Aisyah akan tetapi mereka telah bersih darinya dengan pelaksanaan had kepada mereka.

Dari Syarah Aqidah Wasithiyah, Syaikh Ibnu Utsaimin.