Dewasa ini kaum muslimin mengenal empat madzhab fikih yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, empat madzhab ini pada hari ini dianut oleh mayoritas kaum muslimin di dunia, empat madzhab ini memiliki kitab-kitab induk yang menjadi rujukan dan pegangan dalam bermadzhab, empat madzhab ini memiliki ulama-ulama yang berkhidmat mendekatkan dan menjelaskan madzhab kepada masyarakat dan empat madzhab ini memiliki pengikut-pengikut dari kalangan kaum muslimin.

Apa itu madzhab fikih?
Mengapa dalam fikih ada empat madzhab? Mengapa tidak kurang atau lebih dari itu?
Wajibkah seorang muslim mengikuti salah satu dari empat madzhab? Atau dia berlepas diri dari semua madzhab?
Mengapa empat madzhab ini tidak disatukan saja sehingga tidak terlihat perbedaan di antara kaum muslimin dalam masalah amaliyah fiqhiyah?

Pertanyaan-pertanyaan di atas sering bergelayut di dalam benak pemikiran seorang muslim terkait dengan masalah madzhab fikih dalam Islam. Inilah yang mendorong penulis untuk mengangkat tema ini dan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan dasar obyektifitas tanpa ta’asshub dan fanatisme.

Apa itu madzhab fikih?

Madzhab fikih adalah metode ijtihad dalam masalah-masalah furu’ syari’at Islam yang bertujuan mendekatkan hukum-hukumnya dan membuka jalan kepada hukum tersebut bagi kaum muslimin.

Madzhab-madzhab fikih ini lahir dan tumbuh sebagai madrasah fiqhiyah untuk merespon kebutuhan kaum muslimin terhadap pengetahuan tentang hukum-hukum agama mereka dan menyiapkan hukum-hukum tersebut sebagai langkah antisipasi terhadap hadirnya masalah-masalah baru dalam kehidupan.
Kebutuhan kepada fikih ini selalu tegak di setiap waktu dan tempat untuk mengatur hubungan ubudiyah seorang muslim dengan penciptanya dan demi menata hubungan-hubungan sosial kemasyarakatan melalui pengetahuan seorang muslim terhadap hak dan kewajibannya. Madzhab fikih ini berfungsi layaknya payung sebelum hujan, menjawab persoalan-persoalan hidup yang terus berkembang dan melangkah maju tiada kenal henti dihadapan nash-nash yang tidak bertambah.

Mengapa empat madzhab?

Pada abad kedua hijriyah sampai pertengahan abad keempat yang merupakan masa emas ijtihad, dunia Islam melahirkan mujtahid-mujtahid dalam jumlah besar, pendapat mereka diikuti dan ijtihad-ijtihad mereka dibukukan, sebut saja Sufyan bin Uyainah di Makkah, Malik bin Anas di Madinah, al-Hasan al-Bashri di Bashrah, Abu Hanifah dan Sufyan ats-Tsauri di Kufah, al-Auza’i di Syam, asy-Syafi’i dan al-Laits bin Saad di Mesir, Dawud azh-Zhahiri, Ibnu Jarir, Abu Tsaur dan Ahmad bin Hanbal di Baghdad, Ishaq bin Rahawaih di Naisabur.

Setelah itu seleksi alam berlaku, kebanyakan dari madzhab-madzhab ini hanya tersisa di dalam perut buku-buku sementara para pengikutnya gugur satu demi satu tanpa tumbuh pengganti, sehingga yang tersisa dari mereka adalah empat madzhab ini. Salah satu sebab yang membuat empat madzhab ini eksis berkibar di dunia fikih Islam karena para imam dari empat madzhab ini memiliki murid-murid yang setia menulis hasil ijtihad dan pemikiran imam-imam mereka dan seterusnya diwariskan kepada generasi sesudahnya sampai kepada kita. Berbeda dengan imam-imam lain selain imam yang empat ini, hasil dari ijtihad mereka ini terserak di sana-sini karena murid-murid mereka kurang memberi perhatian terhadapnya dengan menulis dan membukukannya, padahal dari segi kapasitas ilmu dan kemampuan berijtihad, para ulama selain imam yang empat ini tidak lebih rendah dan tidak di bawah imam yang empat, sebut saja al-Laits bin Saad, Imam asy-Syafi’i berkata tentangnya, “al-Laits lebih fakih daripada Malik hanya saja murid-muridnya tidak melayaninya.”

Wajibkah mengikuti salah satu dari empat madzhab?

Ada pihak yang berlebih-lebihan dan ada pihak yang meremehkan, yang pertama mewajibkan setiap muslim mengikuti salah satu dari empat madzhab tanpa keluar darinya walaupun hanya sejengkal, mengambil segala sesuatu yang ada di dalam madzhab tersebut tanpa menawarnya, berpegang kepada rukhshah dan azimahnya, sampai-sampai ada yang berkata, “Man qallada aliman laqiyallah saliman.” (barangsiapa bertaklid kepada seorang alim, dia bertemu Allah dalam keadaan selamat). Tidak diragukan bahwa ini berarti mewajibkan tanpa dasar, karena pada dasarnya seorang muslim hanya boleh bersikap demikian kepada Rasulullah saw.

Pihak kedua mengajak setiap muslim, baik ulama maupun orang jahil, baik penuntut ilmu maupun orang awam agar mengambil dari al-Qur`an dan sunnah secara langsung tanpa perlu menengok kepada para imam dan ulama ahli ijtihad, katanya, tidak perlu membaca dan memperhatikan ucapan ulama fulan atau ulama hayyan, karena mereka mengambil dari al-Qur`an dan sunnah dan kita pun mengambil dari al-Qur`an dan sunnah, sampai-sampai ada yang mencomot ucapan Imam Abu Hanifah, “ Fahum rijal wa nahnu rijal.”(mereka laki-laki dan kita pun laki-laki). Tidak diragukan, walaupun memang pada dasarnya demikian yakni al-Qur`an dan sunnah, akan tetapi untuk bisa ke sana memerlukan bekal ilmu yang memadahi dan tidak semua orang memiliki, kalau semua orang hatta para juhala`dan orang-orang awam kita wajibkan mengambil langsung dari al-Qur`an dan sunnah tanpa menoleh ucapan dan bimbingan para ulama maka hasil yang akan dipetik adalah faudho(amburadul dan jumpalitan), akan lahir ulama-ulama karbitan yang mengaku ulama padahal dia adalah orang paling jahil.

Pada dasarnya seorang muslim beragama kepada Allah dengan menimba dari al-Qur`an dan sunnah, akan tetapi di dalam al-Qur`an dan sunnah terdapat titik yang samar yang tidak diketahui oleh orang sembarangan, ia memerlukan syarah dan penjelasan dan ini adalah peran para ulama.

Dari sini kita bisa tarik benang merah bahwa berpegang kepada al-Qur`an dan sunnah tidak berarti menendang para ulama dan meminggirkan mereka, kita tetap memerlukan bantuan para ulama demi memahami keduanya. Pada saat yang sama kita menyadari bahwa tidak ada manusia setelah Rasulullah saw yang terbebas dari salah, siapa pun dia. Oleh karena itu penulis mengatakan, silakan Anda bermadzhab. Bermadzhab ini telah dilakukan oleh ulama-ulama besar sebut saja sebagai contoh Imam an-Nawawi yang bermadzhab Syafi’i atau Ibnu Taimiyah yang bermadzhab Hanbali dan masih banyak lagi. Akan tetapi satu hal yang perlu diperhatikan adalah jangan menjadikan bermadzhab sebagai tujuan akan tetapi sebagai sarana, karena jika yang pertama maka Anda akan terjerumus ke dalam kubangan ta’asshub di mana dalam pikiran Anda tertanam, “Apa pun yang ada dalam madzhab saya adalah benar”, meskipun terbukti apa yang ada dalam madzhab tersebut jelas-jelas bertentangan dengan dalil yang shahih. Kewajiban seorang muslim adalah mengikuti Rasulullah saw dan bermadzhab hanya sebagai sarana memahami Rasulullah saw.

Mengapa empat madzhab tidak disatukan?

Sebelum pertanyaan ini dijawab, ada pertanyaan sebelumnya yaitu mungkinkah empat madzhab ini disatukan? Penulis teringat perbedaan yang terjadi dikalangan para sahabat Nabi saw terkait perintah beliau agar tidak ada seorang pun dari mereka shalat Asar kecuali di Bani Quraizhah, sebagian sahabat melihat perintah ini apa adanya, kata orang, tekstual, sehingga mereka shalat Asar di Bani Quraizhah walaupun waktu Asar telah habis, sebagian lain melihat secara kontekstual, maksud beliau adalah agar kita bersegera berangkat ke Bani Quraizhah, maka yang memahami ini, dia shalat Asar di jalan sebelum tiba di Bani Quraizhah. Perbedaan ini diakui oleh Rasulullah saw.

Di samping itu tidak semua dalil bersifat qath’iyyu tsubut dan qath’iyyu dalalah, di mana ia tidak membuka ruang perbedaan dalam memahaminya, ada dalil yang bersifat zhanniyu dalalah yang memberi ruang perbedaan dalam memahaminya, ditambah dengan kemampuan dan daya pikir dan nalar manusia yang berbeda-beda sehingga hal itu memberi celah perbedaan pemahaman dan inilah yang terjadi pada sahabat seperti dalam kasus di atas.

Jadi mustahil menyatukan empat madzhab menjadi satu, ibarat menggarami laut atau melempar batu ke gunung. Yang penting, selama perbedaan tersebut memungkinkan, di mana dalilnya memungkinkan untuk berbeda maka kita menghormati dan menghargai perbedaan, sebaliknya jika perbedaan tersebut jauh dari dalil maka yang dekat harus diambil tanpa mempedulikan yang jauh tersebut. Wallahu a’lam.