Kaum muslimin mengenal imam yang empat: Abu Hanifah, Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad sebagai imam-imam di bidang fikih, mereka adalah pendiri empat madzhab fikih yang dewasa ini dianut oleh mayoritas kaum muslimin di dunia, kepada mereka madzhab yang empat dinisbatkan, kemasyhuran imam yang empat dalam fikih sudah kesohor di seantero jagad, akan tetapi tidak banyak kaum muslimin yang mengenal dan mengetahui dengan baik manhaj akidah mereka, hal ini membuat kaum muslimin hanya sebatas meneladani mereka dalam fikih tetapi tidak dalam bidang akidah, sehingga sebagian dari mereka merasa cukup dengan mengembel-embeli namanya dengan, misalnya, fulan asy-Syafi’i, atau fulan al-Hanafi dan seterusnya, sementara akidahnya bertolak belakang dengan akidah Imamnya. Memang benar para imam tersebut lebih menonjol dan lebih cenderung kepada sisi fikih, akan tetapi hal ini tidak berarti mereka melupakan sisi akidah yang lebih penting daripada sisi fikih, tidak berarti kalau para imam tersebut lebih memperhatikan sisi fikih lalu akidah mereka compang-camping dan amburadul, jauh dari akidah yang benar.

Banyak orang tidak mengetahui atau tidak mau mengetahui atau melupakan kenyataan dan fakta bahwa Imam yang empat berakidah lurus dan bersih yaitu akidah salaf shalih, Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tidak sedikit bukti yang memperkuat kesimpulan ini. Berikut penulis paparkan sebagian darinya.

Imam Abu Hanifah, dalam kitab Mukhtashar al-Uluw, adz-Dzahabi, di sebutkan, Imam Abu Hanifah ditanya tentang seseorang yang berkata, “Aku tidak mengetahui Tuhanku, apakah Dia di langit atau di bumi?” Imam Abu Hanifah menjawab, “Dia kafir, karena Allah berfirman, ‘Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.’(Thaha: 5), dan ArsyNya di atas langitNya.” Imam Abu Hanifah ditanya lagi, dia berkata, “Aku berkata, Allah bersemayam di atas Arsy, tetapi aku tidak mengetahui apakah Arsy di langit atau di bumi?” Imam Abu Hanifah menjawab, “Jika dia mengingkari bahwa ia di langit maka dia kafir.”

Kita melihat di sini Imam Abu Hanifah menetapkan sifat istiwa` bagi Allah, bahwa Allah bersemayam di atas ArsyNya, di atas langitNya, beliau menetapkan kekufuran orang yang mengingkari hal ini.

Menetapkan sifat istiwa` bagi Allah sesuai dengan keagunganNya tanpa takyif, tanpa tamtsil dan tanpa tahrif merupakan akidah salaf shalih di bidang Asma` dan Sifat Allah, Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah bersemayam di atas Arsy, bahwa Allah di langit sesuai dengan kebesaranNya.

Dalam kitab Shuwar min Hayat at-Tabiin, Abdurrahman Basya, tentang biografi Imam Abu Hanifah di sebutkan kedatangan pemimpin Jahmiyah, Jahm bin Shafwan, yang berkeyakinan bahwa Iman cukup hanya dengan pengakuan semata, menurutnya seseorang telah dihukumi mukmin sejati hanya dengan pengakuannya tanpa perlu berkata dan berbuat.

Lalu Imam Abu Hanifah mendebat Jahm dengan memaparkan dalil-dalil dari al-Qur`an dan sunnah yang mementahkan syubhatnya sehingga Jahm beranjak dari hadapannya tanpa kembali.

Imam Malik, dalam kitab Lum’ah al-I’tiqad, Ibnu Qudamah, disebutkan bahwa Imam Malik ditanya tentang firman Allah, “Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy.” (Thaha: 5), bagaimana Allah bersemayam?” Imam Malik menjawab, “Bersemayam diketahui (maknanya), bagaimananya tidak masuk akal, beriman kepadanya wajib dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.” Lalu Imam meminta orang tersebut agar diusir.

Ucapan ini diriwayatkan secara shahih dari Imam Malik, ia menetapkan akidah salaf di bidang Asma` wa Sifat, bahwa apa yang Allah tetapkan untuk diriNya diketahui maknanya dari sisi bahasa, tidak dijangkau oleh akal dari sisi bagaimananya, karena ia termasuk perkara ghaib, dan beriman kepadanya adalah wajib karena ia ditetapkan oleh Allah, serta bertanya tentang bagaimananya adalah bid’ah karena para sahabat tidak mempersoalkannya kepada Nabi saw.

Inilah akidah salaf shalih Ahlus Sunnah wal Jamaah di bidang Asma` wa Sifat, yaitu mengimani apa yang Allah dan RasulNya tetapkan tanpa bertanya bagaiamana karena hal itu tidak terjangkau oleh akal.

Imam asy-Syafi’i, dalam kitab Itsbat Shifat al-Uluw, Ibnu Qudamah, disebutkan bahwa Imam asy-Syafi’i berkata, “Allah Taala memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang dihadirkan oleh kitabNya, diberitakan oleh Nabi saw kepada umatnya, tidak seorang pun makhluk Allah di mana hujjah telah tegak atasnya patut untuk menolaknya karena al-Qur`an turun dengannya, dan pengucapannya dari Rasulullah adalah shahih melalui periwayatan rawi-rawi yang adil, jika dia menyelisihi setelah itu, setelah tegaknya hujjah atasnya maka dia kafir. Adapun sebelum tegaknya hujjah atasnya maka dia dimaklumi karena tidak tahu, sebab ilmu tentang hal ini bukan melalui akal, bukan pula melalui perenungan, hati dan pemikiran. Kami tidak mengkafirkan seseorang dengannya karena dia tidak tahu kecuali setelah sampainya berita kepadanya. Dan kami menetapkan sifat-sifat ini, kami menafikan tasybih darinya sebagaimana kami menafikan tasybih dariNya firmanNya, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (Asy-Syura: 11).

Kita bisa membaca dari ucapan Imam asy-Syafi’i bahwa beliau menetapkan nama-nama dan sifat-sifat bagi Allah sebagaimana yang ditetapkan oleh al-Qur`an dan sunnah yang shahih.

Imam asy-Syafi’i juga menolak pemahaman agama ala ahli kalam dan filsafat, dalam kitab Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah disebutkan bahwa Imam asy-Syafi’i berkata, “Ketetapanku terhadap ahli kalam adalah hendaknya mereka dipukul dengan pelepah kurma dan sandal, diarak keliling kampung seraya dikatakan, ‘inilah balasan orang yang berpaling dari kitab Allah dan Sunnah rasul dan menerjuni ilmu kalam.”
Hal ini dikatakan oleh Imam asy-Syafi’i karena beliau melihat bahwa beragama ala ahli kalam dan filsafat menyimpang dari manhaj beragama yang benar, manhaj salaf shalih, dan itu bisa membawa orang kepada penyimpangan dari akidah yang lurus.

Imam Ahmad, akidah Imam yang satu ini tidak ada keraguan dan kesamaran padanya, beliau adalah imam sunnah dan pemegang panji Ahlus Sunnah wal Jamaah di masanya, salah satu pengakuan datang dari Imam Abul Hasan al-Asy’ari, beliau ini berkata dalam al-Ibanah an Ushul ad-Diyanah, “Pendapat yang kami katakan dan keyakinan yang kami pegang teguh adalah berpegang kepada kitab Tuhan kami Azza wa Jalla dan sunnah nabi kami saw, serta apa yang diriwayatkan dari para sahabat, tabiin dan para imam hadits, kami berpegang kepada semua itu, dan kami berkata seperti apa yang dikatakan oleh Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, semoga Allah memuliakan wajahnya, mengangkat derajatya dan memberinya balasan besar, kami menyelisihi apa yang menyelisihi perkataannya, karena beliau adalah seorang imam yang mulia dan pemimpin yang sempurna, dengannya Allah menjelaskan kebenaran dan dengannya Allah menolak kesesatan orang-orang yang ragu, semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepada seorang imam mulia, besar, agung, dihormati, dihargai dan terdepan.”

Sikap Imam Ahmad dalam perkara fitnah khalq al-Qur`an merupakan bukti kuat keteguhan Imam ini di atas akidah salaf dan pembelaannya terhadapnya, walaupun karena itu beliau menjadi pelanggan penjara dan cambuk, akan tetapi beliau tetap teguh di atas kebenaran sampai Allah mendatangkan kemudahan dan memenangkan kebenaran. “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap, sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.”

Inilah sebagian bukti yang berbicara jujur tentang kelurusan dan kebersihan akidah para Imam yang empat, semoga orang-orang yang menisbatkan diri kepada salah satu dari mereka di bidang fikih meneladani mereka juga dalam bidang akidah dan tidak sebatas bidang fikih semata, karena ternyata para imam tersebut di atas petunjuk yang lurus. Wallahu a’lam.