Nasihat dengan Hikmah

Dari Tamim ad-Dari bahwa Nabi saw bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa ya Rasulullah saw?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitabNya, RasulNya, para pemimpin kaum muslimin dan orang umum mereka.” Diriwayatkan oleh Muslim no. 55.

Ibnu Rajab berkata, “Adapun nasihat kepada para pemimpin kaum muslimin, maka hal itu diwujudkan dengan menyintai kebaikan, keadilan dan kelurusan mereka, menyintai bersatunya kaum muslimin atas mereka, membenci perpecahan umat atas mereka, menaati mereka dan membenci siapa yang hendak memberontak mereka, mendukung mereka dalam ketaatan kepada Allah.” (Jami’ul Ulum wal Hikam 1/222).

Syaikh Ibnu Sa’di berkata, “Adapun nasihat bagi para pemimpin kaum muslimin maka ia dengan meyakini kepemimpinan mereka, mengakui kekuasaan mereka, kewajiban mennati mereka dalam hal-hal yang baik, tidak memberontaha mereka, mendorong masuarakat untuk menaatinya, memegang perintah mereka selama tidak bertentangan dengan perintah Allah, memberikan nasihat kepada mereka sebatas kemampuan, menjelaskan apa yang samar bagi mereka yang mereka butuhkan dalam memimpin rakyat, masing-masing sesuai dengan kemampuannya, mendoakan mereka agar dilimpahi kebaikan dan tauafik, karena kebaikan mereka adalah kebaikan masyarakat, tidak mencaci maki mereka dan menciderai mereka serta membeber aib-aib mereka, karena hal itu mengandung keburukan, mudharat dan kerusakan yang besar.” (Ar-Riyadh an-Nadhirah hal. 38-49).

Ada tiga perkara di mana hati seorang muslim tidak dihinggapi dengki karenanya, mengikhlaskan amal karena Allah, memberi nasihat kepada para pemimpin kaum muslimin dan berpegang teguh bersama jamaah mereka, karena doa mereka meliputi orang-orang yang di belakang mereka.” Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah dari Jubair bin Muth’im, al-Albani dalam Shahih at-Targhib wa Tarhib no. 92, berkata, “Shahih lighairi.”

Nasihat kepada para pemimpin hendaknya disampaikan secara rahasia antara pemberi nasihat dengan yang bersangkutan, dengan lemah lembut, hikmah dan nasihat yang baik serta cara yang sesuai. Membeber nasihat lebih-lebih kesalahan pemimpin di depan umum bukan merupakan nasihat, akan tetapi mempermalukan dan membuat masyarakat berani menentang dan memberontak.

Iyadh bin Ghanam berkata kepada Hisyam bin Hakim, “Apakah kamu tidak mendengar sabda Rasulullah saw, ‘Barangsiapa hendak menasihati penguasa maka jangan menampakkannya secara terbuka, akan tetapi berdua dengannya, bila dia menerima, maka itulah yang diharapkan, bila tidak maka dia telah melaksanakan apa yang mesti dia laksanakan.” Diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Hakim, dishahihkan oleh al-Albani dalam Zhilal al-Jannah fi Takhrij as-Sunnah 2/521.

Usamah bin Zaid memberikan teladan dalam hal ini, saat orang-orang berkata kepadanya, “Mengapa engkau tidak datang kepada Usman untuk menasihatinya.” Maka Usamah menjawab, “Sesungguhnya kalian melihat bahwa aku tidak berbicara kepadanya kecuali aku menyampaikannya kepada kalian, sesungguhnya aku berbicara kepadanya secara rahasia… Dalam riwayat Muslim, “Demi Allah, sesungguhnya aku telah berbicara kepadanya antara diriku dengan dirinya.” …tanpa aku membuka sebuah pintu yang aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membukanya.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 3267 dan Muslim no. 2989.

Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Dalam hadits terdapat anjuran menghormati para pemimpin, beradab kepada mereka, menyampaikan apa yang diinginkan masyarakat kepada mereka, agar mereka bisa menyikapinya dengan baik, menyampaikan dengan baik di mana maksudnya tercapai tanpa menyakiti siapa pun.” (Fathul Bari 13/53).

Imam an-Nawawi berkata, “Yakni mengingkari para umara secara terbuka di depan umum seperti yang terjadi para orang-orang yang membunuh Usman, hadits ini mengadung anjuran adab bersama para umara, bersikap lembut kepada mereka, menasihati mereka secara rahasia.” (Syarah Shahih Muslim 18/329).

Syaikh Allamah Ibnu Baz berkata, “Bukan termasuk manhaj salaf membeber aib para pemimpin di depan publik dan menyinggungnya di mimbar-mibar, karena hal itu menyebabkan pemberontakan, membuat mereka tidak didengarkan dan ditaati dalam kebaikan, membawa kepada pembangkangan yang merugikan.” (Risalah Huquq qr-Ra’i war Raiyyah hal. 27). Wallahu a’lam.