Sebuah tradisi yang mengakar kuat, kebiasaan warisan leluhur yang mendarah daging dan adat yang dipegang layaknya sebuah agama bahkan mengalahkan agama, ngalap berkah atau berharap berkah yang dalam bahasa Arab dikenal dengan tabarruk. Biasanya tradisi ini bergeliat dan mengemuka dalam momen-momen tertentu misalnya menjelang hadirnya bulan Ramadhan. Maka kita menyaksikan beberapa kalangan kaum muslimin mengadakan kegiatan-kegiatan dan ritual-ritual tertentu dengan maksud meraih berkah darinya. Sebagian dari mereka ada yang mendatangi tempat pemandian atau danau atau sungai di tempat tertentu, di sana mereka mandi dengan campuran kembang-kembang dalam rangka bersih diri demi menghadapi bulan puasa. Sebagian dari mereka membuat sesajen dalam bentuk makanan tertentu yang ditata dengan cara tertentu lalu dibawa ke tempat keramat, misalnya kuburan leluhur, setelah acara selesai maka makanan tersebut diperebutkan, yang memperebutkannya meyakini adanya berkah pada makanan tersebut. Sebagian dari mereka ada yang berkeliling sungkem atau sowan (menghadap) kepada orang-orang yang diyakini baik dan mulia untuk mengambil berkahnya demi kesempurnaan ibadah puasa. Dan masih banyak lagi tradisi-tradisi yang dilakukan oleh kaum muslimin dalam rangka meraih berkah.

Pelurusan

Berkah atau barokah adalah kebaikan yang terkumpul pada sesuatu, perkataan atau perbuatan. Kebaikan pada sesuatu yang diharapkan bisa didapatkan harus dipastikan terlebih dahulu keberadaannya, jika kita berharap barokah dari sesuatu artinya kita berharap kebaikan darinya, pertanyaan yang patut disodorkan adalah, apakah kebaikan yang kita harapkan dari sesuatu itu memang benar-benar ada? Ataukah ia hanya berdasarkan kata Zaid dan Amru? Tidak semua yang kita yakini merupakan kebenaran, apakah tidak sia-sia jika berkah yang kita harapkan dari sesuatu ternyata hanya isapan jempol belaka?

Pertanyaan selanjutnya adalah siapakah yang berhak menetapkan keberadan barokah pada sesuatu? Jika jawabannya adalah kita, maka hal ini tidak memiliki dasar yang bisa dipegang, sebab bisa saja Zaid meyakini keberadaan berkah pada sesuatu dan tidak dengan Amru, lalu keyakinan siapa yang lebih berhak dan lebih layak? Dari sini maka perkara ini harus diserahkan kepada penentu kebaikan dan ketidakbaikan pada sesuatu, dalam hal ini kita sebagai muslim, adalah Allah dan rasulNya. Apa yang dinyatakan oleh Allah dan rasulNya sebagai kebaikan dan mengandung kebaikan maka perkaranya memang demikian. Sebaliknya apa yang tidak dinyatakan oleh Allah dan rasulNya sebagai kebaikan dan mengandung kebaikan maka memang demikian. Dengan ini kita sebagai muslim berpegang kepada kaidah yang pasti dan kokoh.

Berpijak kepada dasar dan pertimbangan ini maka apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dalam bentuk kegiatan dan aktifitas tertentu yang biasa mereka lakukan menjelang puasa seperti yang dijelaskan di atas termasuk ke dalam usaha berharap berkah atau barokah dari sesuatu yang tidak berdasar kecuali hanya sebatas keyakinan atau katanya yang tidak berpijak kepada dalil pasti dari peletak dan penetap kebaikan yaitu Allah dan rasulNya. Dicari di sudut mana pun dalam Islam, dibuka dari sisi mana pun dalam Islam tidak akan ditemukan dan tidak akan didapatkan dasar yang melegalkan secara syar’i perbuatan-perbuatan tersebut. Tidak ada ayat al-Qur`an, tidak ada sunnah Rasulullah saw baik fi’liyah maupun qauliyah, tidak pula ada teladan dari para sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini yang menetapkan dan menganjurkan ritual-ritual mandi, membuat makanan sesaji dan sowan ke orang-orang yang dianggap sepuh atau shalih menjelang bulan puasa, alih-alih hal itu diyakini memberikan kebaikan dan pengampunan dosa. Dari mana?

Apa yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin seperti perkara-perkara di atas tidaklah berbeda dengan apa yang pernah terjadi pada zaman Rasulullah saw dan beliau mengingkarinya serta meluruskannya.

Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Waqid al-Laitsi berkata, suatu kali kami berangkat ke Hunain bersama Rasulullah saw, sementara kami baru saja lepas dari kekufuran, pada saat itu orang-orang musyrik mempunyai sebuah pohon bidara yang bernama Dzatu Anwath, mereka mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata mereka padanya, pada saat kami melewatinya kami berkata kepada Rasulullah saw, ‘Ya Rasulullah saw buatkan Dzatu Anwath seperti mereka mempunyai Dzatu Anwath.” Maka Rasulullah saw bersabda, “Allahu Akbar, itu adalah terdisi orang-orang sebelum kamu, demi dzat yang jiwaku berada di tanganNya, kamu telah berkata suatu perkataan seperti perkataan yang dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, ‘Buatkanlah sesembahan untuk kami sebagaimana mereka mempunyai sesembahan-sesembahan’ Musa menjawab, ‘Sungguh kamu adalah kaum yang tidak mengerti.’ Pasti kamu akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu.” At-Tirmidzi menshahihkannya.

Kita lihat sebuah pohon yang diyakini membawa berkah sehingga mereka menggantungkan senjata-senjata mereka padanya, padahal ia tidak demikian, maka ketika para sahabat meminta pohon yang sama kepada Nabi saw beliau mengingkarinya dengan keras. Walaupun sesuatu yang diharapkan berkahnya oleh sebagain kaum muslimin tidak harus berwujud pohon, akan tetapi apalah arti sesuatu itu jika ia diyakini seperti itu, bisa pohon, bisa hewan, bisa makanan, bisa pemandian dan bisa yang lain, intinya adalah berharap kebaikan dari sesuatu padahal Allah dan rasulNya tidak menyatakannya membawa kebaikan. Bukankah perbuatan seperti ini pantas masuk ke dalam firman Allah, “Amilatun nashibah.” (Al-Ghasyiyah: 3). Lelah beramal berharap kebaikan darinya akan tetapi karena ia keliru maka yang didapatkan hanyalah kelelahan.

Perhatikanlah apa yang dilakukan oleh Umar bin al-Khatthab ini, Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abis bin Rabi’ah berkata, aku melihat Umar bin al-Khattab mencium Hajar Aswad, dia berkata, “Sesungguhnya aku mengetahui bahwa kamu adalah batu, tidak mendatangkan manfaat dan mudharat, kalau aku tidak melihat Rasulullah saw menciummu maka aku tidak akan menciummu.”

Perhatikan juga bahwa tidak seorang pun dari para sahabat Nabi saw yang menelusuri tempat-tempat yang tercatat dalam sejarah hidup Rasulullah saw seperti gua Tsur, gua Hira`, jalan hijrah dari Makkah ke Madinah, padang Badar dan sebagainya lalu mereka melakukan ibadah-ibadah atau amalan-amalan tertentu di sana pada saat-saat tertentu, padahal jika semua itu memang membawa berkah niscaya mereka akan melakukannya, bagaimanapun, jika ia memang berkah ia lebih layak daripada selainnya, dan para sahabat akan berlomba-lomba melakukannya, jika ia tidak maka selainnya lebih tidak. Adakah yang sadar?