Idul Fitri, salah satu Hari Raya umat Islam, kesempatan untuk merayakannya dengan kegembiraan dan kebahagiaan, menikmati apa yang Allah halalkan kepada kita dalam bentuk makanan dan pakaian tanpa berlebih-lebihan. Di Indonesia, Hari Raya ini telah menjelma menjadi sebuah momentum dengan akar yang sangat kuat dan diliputi oleh tradisi dan kebiasaan yang telah menjadi pemandangan umum di masyarakat walaupun dari sisi syar’i hal itu perlu ditimbang dan ditelaah kembali.

1- Dengan berakhirnya Ramadhan berakhir pula ibadah.

Anggapan seperti ini terbaca dari keadaan sebagian kaum muslimin, ke mana orang-orang yang meramaikan masjid di Bulan Ramadhan setelah Ramadhan? Kita tidak lagi melihat batang hidung mereka, masjid yang ramai selama Ramadhan kembali sepi begitu Ramadhan selesai, seolah-olah beribadah hanya berlaku untuk Ramadhan, padahal perkaranya tidak seperti yang mereka yakini. Memang puasa wajib berakhir dengan berakhirnya Ramadhan, akan tetapi di selain Ramadhan pun masih banyak ibadah sejenis dengannya, puasa enam hari bulan Syawwal, puasa tiga hari setiap bulan, puasa Arafah, puasa Senin-Kamis dan lain-lain. Memang di selain Ramadhan tidak ada tarawih berjamaah di masjid, akan tetapi ada yang lebih penting dari itu yaitu shalat lima waktu dengan berjamaah di masjid yang tidak hanya berlaku di Ramadhan saja. Intinya beribadah itu tidak mengenal kata henti atau istirahat atau musim. “Wa’bud Rabbaka hatta ya`tiyakal yaqin.” Sembahlah Tuhanmu sampai kematian menjemputmu. (Al-Hijr: 99)

2- Dengan Idul Fitri manusia kembali kepada fitrah.

Sebagian orang meyakini demikian dengan beberapa alasan, pertama: Idul Fitri terjadi setelah berpuasa sebulan penuh, selama itu dosa-dosa dilebur, begitu Idul Fitri tiba maka manusia dalam keadaan fitri alias suci alis fitrah. Kedua, adanya saling maaf memaafkan di Hari Idul Fitri. Ketiga, kata “Fitri” dalam Idul Fitri berarti fitrah, Idul fitri berarti kembali kepada fitrah.

Anggapan di atas perlu pelurusan. Pertama: Walaupun Idul Fitri jatuh setelah berpuasa, di mana salah satu keutamaannya adalah melebur dosa, tidak berarti bahwa manusia secara otomatis menjadi bersih, sebab ampunan dosa yang dijanjikan di bulan puasa kembali kepada kualitas puasa seseorang, tidak semua orang yang berpuasa dosa-dosanya di ampuni, sebagaimana tidak sedikit orang yang hanya mendapatkan haus dan lapar dari puasanya. Orang-orang seperti ini dan alangkah banyaknya mereka, beranikah kita mengklaim dosa-dosanya di ampuni?

Kedua: Walaupun di Hari Raya Idul Fitri manusia saling bermaaf-maafan, namun hal ini hanya menunaikan setengah kewajiban, yaitu hablum minan nas, kewajiban yang berkaitan dengan sesama, belum hablum minallah, dan yang sering terjadi, orang-orang yang giat bermaaf-maafan, justru melupakan kewajiban kepada Allah, meminta maaf kepada manusia tetapi dia tidak meminta maaf kepada Allah sehingga dia tetap beristiqomah untuk tidak mendirikan shalat, atau bermaaf-bermaafan dengan cara yang melanggar batasan Allah. Kesalahannya kepada manusia termaafkan dengan memikul kesalahan baru kepada Allah.

Ketiga: Memaknai Idul Fitri dengan kembali kepada fitrah adalah keliru, karena ‘Fitri’ di sini bukan dari asal kata fitrah, akan tetapi dari ‘fitru’ yang berarti berbuka, di baca fitri dengan kasrah karena ia sebagai mudhaf ilahi, Idul Fitri disebut demikian karena hari itu adalah hari berbuka setelah sebelumnya berpuasa.

3- Membatasi silaturrahim dan bermaaf-maafan hanya pada Idul Fitri.

Silaturrahim termasuk perkara yang sangat didorong dalam Islam, akan tetapi tanpa harus dibatasi dengan waktu, karena dorongan bersilaturrahim bersifat umum, berbeda dengan keyakinan sebagaian orang, bahwa silaturrahim hanya ada di Idul Fitri, maka kita melihat orang seperti ini tidak melakukan tuntunan baik ini di selain Idul Fitri, ini tidak tepat, yang benar adalah membiarkan masalah silaturrahim ini bersifat umum tanpa dibatasi, benar kata orang, “Apakah untuk bersilaturrahim harus menunggu lebaran?” Ini tidak berarti bersilaturrahim di Hari Raya Idul Fitri dilarang, tidak demikian, persoalannya hanya pada keyakinan pengkhususannya. Kalimat yang sama berlaku untuk bermaaf-maafan.

4- Mengadakan acara halal bi halal.

Ada beberapa sorotan terhadap kegiatan ini, pertama: Dasar anjurannya, maksud penulis adakah dalil yang mendasari kegiatan ini? Ternyata kalau kita kaji lebih jauh hal ini tidak pernah dilakukan dan dianjurkan oleh Rasulullah saw dan tidak pula ada pada zaman salafus shalih, seandainya hal ini merupakan kebaikan niscaya mereka lebih dahulu mengadakannya daripada kita. Kedua: Perkara-perkara yang mengiringinya tidak lepas dari penyimpangan terhadap batasan-batasan agama, misalnya ikhtilath antara laki-laki dan perempuan, berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan tanpa mahram, lagu-lagu plus musiknya ditambah dengan acara bergoyang atau berdansa atau yang semacamnya. Semua ini adalah penyimpangan. Tidak patut bagi seorang muslim merayakan Idul Fitri dengan melakukan penyimpangan kepada Allah.

5- Membuat makanan tertentu karena diyakini membawa berkah.

Sebatas pengetahuan penulis tidak ada anjuran membuat makanan tertentu di Idul Fitri dan tidak pula ada larangan, misalnya seseorang membuat makanan yang lebih nikmat dari biasanya hanya sekedar untuk merayakan Idul Fitri tanpa meyakini bahwa makanan tersebut bisa membawa berkah, misalnya bisa menggampangkan rizki atau menambah umur atau menolak bala` atau lainnya maka hal ini tidak masalah. Yang menjadi masalah adalah apa yang dilakukan oleh sebagian orang dengan membuat misalnya tumpeng atau gunungan atau makanan lainnya lalu makanan ini diarak atau dibawa ke tempat tertentu, setelah dibacakan doa maka hadirin memperebutkannya, mereka meyakini bahwa siapa yang bisa mendapatkannya maka akan dilancarkan rizkinya, usahanya akan maju, panennya akan berhasil dan sebagainya. Semua ini adalah khurafat, tidak berdasar kepada ajaran Rasulullah saw. Wallahu a’lam.