Dasar utama pendorong riya adalah cinta kedudukan dan nama baik, atau dengan kata lain cari muka. Siapa yang hatinya dikuasai oleh hal tersebut maka ambisinya akan terfokus kepada manusia, keinginan utamanya adalah menjaga nama baiknya di depan mereka, kata-kata dan perbuatannya selalu dengan pertimbangan manusia. Padahal inilah asal-usul penyakit dan musibahnya, siapa yang demikian maka dia memerlukan riya dalam melakukan amal ibadah.

Bidang ini adalah bidang yang rumit lagi samar, maka ahli tauhid menamakan bidang ini dengan syirik khafi (syirik yang samar), bila kita mencermati maka seperti yang dipaparkan oleh Ibnu Qudamah kita mendapati bahwa hal ini berpulang kepada tiga sebab utama:

1- Cinta pujian dan sanjungan dan bahwa ia nikmat.
2- Berlari dari celaan.
3- Berharap apa yang ada di tangan manusia.

Ketiga tendensi tersebut dikuatkan oleh hadits Abu Musa al-Asy’ari bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi saw, dia berkata, “Ada seorang laki-laki yang berperang untuk memperlihatkan keberaniannya. Ada yang berperang karena dorongan fanatisme. Ada yang berperang karena riya’. Siapa dari mereka yang termasuk berperang di jalan Allah? Nabi saw menjawab, “Barangsiapa berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi maka dialah yang berperang di jalan Allah.” Muttafaq alaihi diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 2810 dan Muslim no. 1904.

“Untuk memperlihatkan keberaniannya.” Supaya disanjung, dipuji dan diberi terima kasih. “Dorongan fanatisme.” Tidak ingin menaggung malu bila kalah. “Berperang karena riya`.” Yakni agar kedudukannya terlihat, inilah kenikmatan kedudukan dan muka dalam hati pemiliknya.

Terkadang seseorang tidak mencari pujian, tetapi dia takut terhadap celaan, seperti si penakut di antara para pemberani, dia (pura-pura) memperlihatkan keberanian karena takut dicela sebagai penakut. Si kikir berpura-pura menjadi dermawan karena takut dengan cap kikir dari masyarakat. Si bodoh yang memperlihatkan diri berilmu dan memaksakan diri berfatwa, karena takut dijuluki bodoh, dan begitu seterusnya. Ini juga termasuk riya sekalipun dalam poteret yang berbalik. Wallahu a’lam.