• Disunnahkan berjabat tangan.

    Terdapat beberapa atsar yang menyatakan bahwa berjabat tangan menghilangkan permusuhan, dan merupakan sebab diampuninya dosa-dosa.

    Rasulallah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Tidaklah dua orang muslim yang saling bertemu kemudian berjabat tangan, melainkan diampuni dosa atas keduanya sebelum berpisah.” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah. Dan dishahihkan oleh al-Albani)

    Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam selalu menganjurkan untuk berjabat tangan, dan para sahabatpun telah mengamalkannya. Qotadah berkata, “Saya berkata kepada Anas, “Apakah para shahabat Rasulullah selalu berjabat tangan ?” Anas berkata, “Ya.” (HR. al-Bukhari).

    Dalam cerita Ka’ab, ketika Allah subhanahu wata’aala menerima taubatnya, ia berkata, “Saya masuk masjid, ternyata Rasulallah shallallahu ‘alahi wasallam berada di dalamnya, Thalhah bin ‘Ubaidillah menghampiriku dengan perlahan-lahan hingga menjabat tanganku dan mengucapkan selamat kepadaku (Al-Bukhari menyebutkan dengan ta’liq dalam kitab al-Isti’dzan bab al-Mushafahah, hadits tersebut mausul menurut al-Bukhari dari cerita Ka’ab dalam kitab al-Maghozi (4418), pen.)

    Dan dalam hadits Anas bin Malik ketika orang-orang Yaman datang, Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Orang-orang Yaman telah datang, hati-hati mereka lebih lembut dibanding kalian. Mereka adalah yang pertama datang dengan berjabat tangan”. (HR. Ahmad)

    Dari al-Baraa’ bin ‘Azib berkata, “Termasuk keutamaan salam, kamu menjabat tangan saudaramu.” (HR. al-Bukhari)

  • Diharamkan berjabat tangan kepada perempuan ajnabi (yang bukan mahramnya).

    Al-Bukhari dalam shahihnya meriwayatkan hadits dari ‘Aisyah perihal perempuan-perempuan muhajirin yang berbai’at, ‘Aisyah berkata, “Rasulullah jika memutuskan akan hal itu dari ucapan mereka, Rasulullah mengatakan kepada meraka, “Pergilah kalian semua Saya telah membai’atmu.” Demi Allah tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan perempuan sama sekali. Beliau membai’at mereka dengan ucapan. Demi Allah! Rasulullah tidak memutuskan kepada perempuan-perempuan itu kecuali apa yang diperintahkan Allah subhanahu wata’aala. Rasulallah shallallahu ‘alahi wasallam mengatakan jika memutuskan sesuatu kepada mereka, “saya telah membai`atmu dalam bentuk ucapan”.

    Ucapannya, “Saya telah membai’atmu dalam bentuk ucapan” , yaitu Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam mengatakan hal itu hanya dalam bentuk ucapan saja, pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Hajar. (lihat: Fath al-Bary, 8/505).

    Dan sabda Rasulallah shallallahu ‘alahi wasallam, “Saya tidak berjabat tangan dengan perempuan-perempuan, ucapan saya kepada seratus perempuan sama seperti ucapan saya kepada seorang perempuan, atau seperti ucapan saya kepada satu orang perempuan.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Malik dalam kitabnya Almuwaththa’).

    Sedang fenomena yang terjadi di masyarakat adalah berjabat tangan setelah selesai dari shalat-shalat wajib. Hal ini tidak disyariatkan, tidak pernah terdapat dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, dan juga para al-Khulafa’ ar-Rasyidun, dan juga seluruh para sahabatnya yang mulia. Mengamalkan hal itu merupakan mengada-ada sesuatu yang baru dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah subhanahu wata’aala.

    Al-Lajnah ad-Da’imah dalam salah satu fatwanya mengatakan, “Jika dia tidak sempat menyalaminya ketika bertemu sebelum shalat, hendaknya dia menyalaminya setelah salam, baik dalam shalat wajib maupun sunnah, sebelah kanannya ataupun sebelah kirinya. Adapun para ma’mum yang berjabat tangan dengan imamnya ataupun dengan ma’mum lainnya setelah selesai shalat, kami tidak mengetahui adanya dalil khusus dalam masalah ini.” (Fatwa nomor (3866) (7/122))

  • Termasuk sunnah tidak menarik tangan ketika berjabat tangan sampai yang lain memulainya.

    Sebagaimana diriwayatkan Anas bin Malik, Ia berkata, “Jika seorang lelaki menemui Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam dan menjabat tangannya, Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam tidak menarik tangannya dari tangan dia sampai lelaki itu menariknya.” (HR Tirmidzi (2490) dan Ibnu Majah (3716). Hadits ini dishahihkan al-Albani)

    Dalam hadits ini disunnahkannya berjabat tangan dan memperpanjangnya selama tidak menyusahkan.

  • Apakah seorang lelaki mencium lelaki lainnya ketika bertemu?

    Bukan termasuk kebiasan ulama’ Salaf dari kalangan sahabat dan generasi setelahnya mencium satu sama lainnya ketika bertemu, sebagaimana yang terjadi pada masa ini. Sedang atsar-atsar yang menyebutkan ciuman ketika bertemu tidak kuat untuk menolak hadits yang sangat jelas melarang ciuman ketika bertemu, Syaikh Al-Albani membantah hadits-hadits tersebut dari dua sisi. Pertama, Bahwa hadits tersebut mempunyai illah (cacat) yang tidak bisa dijadikan dalil. Kedua, Hadits tersebut tidak memungkinkan untuk menolak hadits yang lebih shahih. (Lihat al-silsilah as-shahihah (160) (1/251). Hadits tersebut diriwayatkan oleh Anas bin Malik seraya berkata, “Seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam salah seorang di antara kita bertemu temannya, apakah menundukkan badannya kepadanya?” Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Tidak.” Lelaki itu berkata, “Apakah dia menciumnya?” Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda , “Tidak.” Lelaki itu berkata, “Apakah menjabat tangannya?” Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Ya, jika dia mau.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya. Dan dikeluarkan al-Albani dalam kitab al-Silsilah as-Shahihah (160) (1/247)).

    Hadits ini sangat jelas melarang merunduk dan mencium ketika bertemu, tetapi tidak dilarang untuk saling berpelukan ketika bertemu seseorang yang datang dari bepergian atau lama tidak bertemu.

    Dari Jabir bin Abdillah bahwa telah sampai kepadanya hadits dari seorang lelaki kalangan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam. Ia berkata, “Saya membeli seekor keledai kemudian saya melakukan perjalanan dengannya selama sebulan, sehingga saya sampai ke negara Syam, ternyata disana terdapat Abdullah bin Anis kemudian saya menghampirinya, bahwa Jabir berada di pintu, utusan itu kembali dan mengatakan, “Apakah itu Jabir bin Abdillah?” Saya mengatakan, “Ya.” kemudian dia keluar dan memeluknya. (HR. al- Bukhari)

    Seorang bapak yang mencium anaknya merupakan bentuk kasih sayang. Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam mencium anaknya, dan mencium Hasan dan Husain, sebagaimana Abu Bakar mencium Fatimah, hal ini merupakan berita yang sudah masyhur.

  • Diharamkan untuk menunduk atau bersujud ketika mengucapkan salam.

    Hal ini disebutkan dalam hadits Anas bin Malik di atas yang menjelaskan larangan menunduk ketika berjabat tangan, karena hal itu tidak diperuntukkan kecuali kepada Yang Maha Pencipta, Allah subhanahu wata’aala, sedang sujud lebih utama pelarangannya.

    Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun merunduk ketika mengucapkan salam dilarang, sebagaimana dalam riwayat Tirmidzi dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bahwa mereka bertanya tentang seorang lelaki yang bertemu saudaranya apakah diperbolehkan untuk merunduk kepadanya?” Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Tidak, Karena ruku’ dan sujud tidak diperbolehkan untuk dilakukan kecuali kepada Allah subhanahu wata’aala.” (Majmu’ Al-Fatawa (1/377))

    Adapun sujud tidak diragukan lagi bahwa hal itu hanya diperuntukkan bagi Allah subhanahu wata’aala bukan yang lainnya. Dan dalam menunduk juga terdapat di dalamnya unsur ibadah. Dalam hadits Ibnu Abbas bahwa Rasulallah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Adapun sujud perbanyaklah doa karena posisi itu layak untuk dikabulkan atas kalian.” (HR Muslim, Ahmad, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Al-Darimi).

    Dalil hal itu adalah ketika Mu’adz datang dari Negara Syam dan ia sujud kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, kemudian Rasulallah shallallahu ‘alahi wasallam berkata, “Apa ini wahai Mu’adz?” Mu’adz berkata, “Saya datang ke negara Syam, kemudian saya mendapatkan mereka lagi sujud kepada pembesar-pembesar mereka, maka saya berkeinginan dalam diri saya untuk melakukan hal itu kepadamu.” Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Janganlah kalian lakukan, seandainya saya diperbolehkan untuk memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Allah, sungguh saya akan perintahkan seorang perempuan untuk sujud kepada suaminya. Demi jiwa Muhammad di tangannya, seorang perempuan tidak akan melaksanakan hak Rabnya sampai dia melaksanakan hak suaminya. Seandainya seorang suami meminta diri istrinya, sedang dia berada di atas pelana onta, maka dia tidak boleh menolaknya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah dan lafadz darinya. Al-Albani berkata, “Hasan Shahih.”).

(Oleh : Nizar Jabal)