Virus mengerikan telah menjalar ke seluruh tubuh ummat islam, ada kalanya hal tersebut mampu mendatangkan kebaikan dan yang pasti adalah akan membawa dampak buruk yang sangat berbahaya bagi kaum muslimin. Virus tersebut menyebar melalui salah satu makhluk yang sangat kecil, yakni lidah yang tak bertulang. Melalui makhluk kecil mungil ini seseorang akan menjadi tinggi dan mulia derajatnya atau menjadi hina dan rendah serendah-rendahnya. Dengan sebab itu pulalah seseorang akan menjadi celaka atau selamat, ahli hikmah menyebutkan : “keselamatan seorang insan adalah tergantung bagaimana ia menjaga lisannya”.

Di sebagian tempat-tempat berkumpul, majlis-majlis ta`lim,halaqoh-halaqoh ataupun di warung-warung kopi terkadang mudah sekali mereka mempergunakan lisan untuk hal-hal yang sangat buruk dan sesuatu yang diharamkan. Bahkan sampai-sampai kepada ucapan-ucapan yang mengakibatkan pelakunya terjerumus dalam kekufuran seperti ghibah, berdusta, memfitnah, menafsirkan ayat-ayat Allah subhanahu wata’aala ataupun hadits-hadits nabi shallallahu ‘alahi wasallam dengan tanpa didasari oleh ilmu yang benar dan tidak hanya itu, saja sampai-sampai kepada “istihzaa`” atau menghina, mencela dan merendahkan Allah subhanahu wata’aala, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya tidak lain itu semua berangkat dari niat yang jahat, hati yang sakit dan lemahnya agama yang dimiliki. Allah subhanahu wata’aala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan).” (QS. al-Hujurat : 11). Makna ‘as-Sukhriyyah’ dalam ayat tersebut adalah menghina, merendahkan dan memberitahukan aib dan kekurangan-kekurangannya, terkadang dengan meniru atau mempraktekan melalui perbuatan dan ucapan, terkadang dengan isyarat atau gaya yang betujuan menghinanya.

Dan diantara bentuk ‘istihzaa’ atau penghinaan yang paling dahsyat dan sangat berbahaya adalah: menghina agama dan pelakunya. Hal tersebut merupakan perkara yang sangat berbahaya, sehingga para Ulama telah bersepakat bahwa “istihzaa` (menghina) Allah subhanahu wata’aala, agama-Nya dan Rasul-Nya merupakan sebuah kekufuran yang nyata dan yang menyebabkan pelakunya keluar dari islam secara menyeluruh”. Syaikhul Islam Ibn Taimiyah berkata: “Sesungguhnya menghina Allah subhanahu wata’aala, ayat-ayat, dan rasul-Nya adalah kekufuran yang pelakunya menjadi kafir setelah ia beriman”.

Ironinya penyakit ‘istihzaa` dan sukhriyyah’ ini telah menjadi ‘seni’ bagi mereka, sehingga kita dapati berbagai macam bentuk istihza`yang mereka lakukan. Diantara mereka ada yang menghina jilbab/hijab (dengan mengatakan ini adalah adat istiadat Arab kuno/tempo dulu).Juga ada yang mencela bahwa pelaksanaan hukum syar`i (sudah tidak relevan lagi). Dan bagi mereka yang menyerukan amar ma`ruf dan nahi mungkar tidak lepas dari hinaan dan celaan dari ‘lisan ganas’ mereka. Celaan juga mereka lakukan terhadap sunnah-sunnah rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam seperti jenggot yang dipanjangkan, celana yang dipendekkan ataupun yang lainnya.

Dalam hal ini “al-Lajnah ad-Da`imah” berfatwa menjawab pertanyaan seputar orang yang berkata kepada saudaranya: “Wahai Jenggot” dengan maksud menghina, maka dijawab: “Sesungguhnya istihzaa` (mengina) jenggot merupakan sebuah kemungkaran yang besar. Ucapan ‘wahai jenggot’ dengan maksud merendahkan dan menghina adalah kufur, dan apabila hanya bermaksud sebagai pengenal maka bukanlah kekufuran. Hanya saja panggilan seperti itu tidaklah sepatutnya untuk dilakukan.

Ketahuilah bahwa istihzaa` adalah sesuatu yang sangat membahayakan bagi agama seseorang, firman Allah subhanahu wata’aala : “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab: ‘Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja’. Katakanlah: ‘apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’. Tidak usah kamu minta maaf karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan daripada (kamu lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. at-Taubah : 65-66).

Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang munafiq yang berkata (tentang Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam dan para sahabatnya), ia berkata: “tidaklah kami melihat para Qurra` (ahli membaca al-qur`an) kita, kecuali mereka adalah orang-orang yang buncit perutnya, pendusta, dan pengecut”. Kemudian hal itu di sampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, lalu orang munafik tersebut datang kepada rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, ketika itu beliau telah menaiki untanya lalu melanjutkan perjalanan. Sambil berlari-lari orang tersebut memanggil-manggil Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam sesungguhnya kami hanya bermain-main dan bersenda gurau, lalu rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, (dengan membaca ayat) yang artinya: “Apakah dengan Allah , ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman…” (QS. at-Taubah: 65-66). Sampai-sampai kedua kaki orang tersebut tersandung-sandung batu dan tidak sedikitpun Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam menghiraukannya sedangkan orang itu bergelanyutan di tali pelana unta rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam.

Sudah sangat maklum dalam sirah Rasul bahwa beliau adalah orang yang paling sayang kepada umatnya. Sangat mudah menerima udzur (alasan) apabila mereka salah dan minta dimaafkan. Kendatipun demikian, beliau tidak menerima permintaan maaf dari orang-orang yang menghina Allah subhanahu wata’aala, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya, demikianlah… alangkah besarnya dosa istihzaa` tersebut sampai-sampai Allah subhanahu wata’aala berfirman: “Kamu telah kafir sesudah beriman”. Naudzubillah mindzalik.

Ibnul-Jauzi berkata dalam ‘Zaadul- Masiir’: “Hal ini menunjukkan bahwa ‘sungguh-sungguh dan bermain-main’ dalam menampakkan kata-kata kekufuran adalah sama.”

Dan Syaikh as-Sa`di berkata: “Sesungguhnya menghina Allah subhanahu wata’aala dan rasul-Nya adalah sebuah kekufuran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama islam (menjadi kafir) karena dasar pokok agama ini dibangun diatas pengagungan kepada Allah subhanahu wata’aala, agama Islam dan Rasul-Nya. Dan istihzaa` terhadap hal tersebut berarti ia telah meghapus dan membatalkan dasar pokok agama tersebut”.

Demikian pula Syaikh Muhammad Bin Ibrahim berkata: “Sebagian orang ada yang kerjaannya mencari-cari kesalahan para Ahli Ilmu apakah ia pernah bertemu ataupun belum pernah bertemu mereka, seperti ucapannya: ”si fulan itu begini dan begitu (kelompok dakwah itu begini dan begitu)”. Hal-hal seperti ini dikhawatirkan pelakunya akan menjadi murtad. Dan tidaklah ia mencela mereka kecuali karena mereka adalah orang-orang yang taat”.

Allah subhanahu wata’aala berfirman yang artinya, ” Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia dari pada mereka dihari kiamat. Dan Allah memberi rezki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. al-Baqarah: 212).

Dan sebagian dari mereka ada yang memungkiri ketika dikatakan kepadanya: “ucapanmu adalah termasuk istihzaa` (menghina) agama”, lalu ia mengatakan, “kami tidaklah bermaksud menghina agama, tidak pula kepada pribadi seseorang, akan tetapi kami hanyalah bercanda dan bergurau”. Dan dia tidak faham akibat dari gurauan dan candaan semacam itu. Sungguh hal itu adalah sebuah kehinaan, dan kebinasaan di dunia, bencana dan adzab yang pedih di akhirat. Allah subhanahu wata’aala berfirman, artinya, “Tinggallah dengan hina didalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku. Sesunguhnya ada segolongan dari hamba-hamba-Ku berdoa (di dunia) ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkau adalah Pemberi rahmat yang paling baik. Lalu kamu menjadikan mereka buah ejekan, sehingga (kesibukan) kamu mengejek mereka, menjadikan kamu lupa mengingat Aku, dan adalah kamu selalu mentertawakan mereka, sesungguhnya Aku membei balasan kepada mereka di hari ini, karena kesabaran mereka; sesung-guhnya mereka itulah orang-orang yang menang.”(QS. al-Mukminun: 108-111).

Ejekan dan hinaan kepada orang biasa (orang pada umumnya) adalah sebuah perbuatan yang menyakitkan dan permusuhan. Lebih-lebih jika hal itu di tujukan kepada orang-orang yang beriman, kepada orang-orang yang ‘iltizam’ (selalu menghidupkan sunnah-sunnah Rasul). Dalam hal ini Allah subhanahu wata’aala berfirman: “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. al-Ahzab: 58).

Saudaraku berhati-hatilah, jauhilah oleh kalian duduk-duduk di tempat-tempat yang didalamnya terdapat maksiat kepada Allah subhanahu wata’aala, janganlah bergabung bersama mereka. Janganlah dekat-dekat dengan mereka. Maksiat adalah bak penyakit kronis, virus yang ganas yang mudah sekali menular. Lebih-lebih jika engkau tidak memiliki kekebalan tubuh untuk menghalau dan membentenginya yaitu iman dan ilmu yang kokoh. Allah subhanahu wata’aala berfirman: “Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam.” (QS. an-Nisa`: 140).

Maka sebuah kewajiban bagi kita untuk mengingkari perbuatan maksiat yang kita temui sekuat tenaga dan kemampuan kita, menjauh dan mengelak dari perbuatan-perbuatan dosa tersebut. Ingat bahwa Allah subhanahu wata’aala senantiasa mengawasi gerak-gerik kita dan para malaikat selalu siap mencatat segala ucapan dan perbuatan kita. Berupayalah untuk selalu menjaga lisan karena lisan tidak bertulang, mudah terpleset dan jatuh kedalam kebinasaan dan kecelakaan. Mudah-mudahan Allah subhanahu wata’aala senantiasa membersihkan dan mensucikan lisan dan pendengaran kita dari segala noda dan keburukan. Wallahul Musta`an.

Sumber: Disadur dari risalah “Falaa Taq`uduu Ma`ahum”, Abdul Malik al-Qosim. Oleh: Andri Abdul Halim Abu Thalhah