Allah swt mengutus Nabi saw kepada manusia untuk menjelaskan kepada mereka bagaimana beribadah kepadaNya sesuai dengan apa yang Allah kehendaki. Beliau menjelaskan hal itu dengan lisan dan perbuatan serta ketetapan, yang selanjutnya dikenal sebagai sunnah beliau. Sunnah berarti jalan hidup, sunnah Rasulullah saw berarti jalan hidup Rasulullah saw. Ini satu sisi. Sisi yang lain, bahwa jalan hidup beliau dalam kapasitas beliau sebagai seorang rasul merupakan jalan hidup terbaik dan terunggul, karenanya ia layak dan patut dijadikan sebagai uswah, qudwah dan teladan bagi setiap muslim yang berharap Allah dan Hari Akhirat.

Rasulullah saw sendiri telah menekankan dan menegaskan kepada umatnya agar berpegang kepada sunnahnya dan sunnah para khulafa` rasyidin sesudahnya, “Berpeganglah kepada sunnahku dan sunnah khulafa` rasyidin yang diberi petunjuk, gigitlah ia dengan gigi geraham… (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Di bulan-bulan ini kaum muslimin dari penjuru bumi berdatangan ke Makkah menjawab seruan dan panggilan Ibrahim untuk menunaikan syiar Islam yang agung, rukun Islam yang besar yaitu ibadah haji. Seperti ibadah-ibadah yang lain, Rasulullah saw telah menjelaskan tata cara pelaksanaannya dengan baik dan sempurna melalui perkataan dan perbuatan beliau. Beliau melaksanakan ibadah haji, haji wada’ yang diikuti dan disaksikan oleh puluhan ribu sahabat, apa yang beliau kerjakan dan ucapkan dalam haji ini dinukil oleh para sahabat untuk selanjutnya tercatat sempurna dalam kitab-kitab sunnah. Di samping itu beliau menekankan dengan sabdanya, “Ambillah manasik kalian dariku.”

Ada satu catatan dari jamaah haji Indonesia terkait dengan tata cara pelaksanaan haji mereka, hal ini penulis dengar dari beberapa jamaah haji kenalan penulis, catatan ini adalah bahwa jamaah haji Indonesia tidak melaksanakan salah satu tuntunan atau sunnah Rasulullah saw dalam haji yaitu Tarwiyah. Yang mengherankan penulis adalah adanya pihak-pihak yang terkesan ngotot meninggalkan sunnah haji yang satu ini dan tidak berkenan jika diajak atau diseru untuk menerapkannya dengan berbagai dalih. Penulis mengatakan, ‘dalih’ bukan ‘dalil’ karena ia sangat lemah layaknya rumah laba-laba.

Ada beberapa dalih yang penulis dengar dari orang-orang yang menolak tarwiyah. Di antaranya, bahwa haji tanpa tarwiyah merupakan paket dari Depag sebagai pihak yang berwenang menyelenggarakan ibadah haji dan hal ini bukan tanpa sepengetahuan dari ulama-ulama Indonesia dan mereka mendiamkan. Di antara dalih mereka, bahwa tarwiyah hanya sebatas sunnah yang tidak mempengaruhi sahnya haji jika ditinggalkan. Dua dalih ini yang penulis dengar dari beberapa orang yang bersikukuh menolak melakasanakan tarwiyah.

Kepada dalih pertama penulis berkata, ini hanya sebatas dalih, sekedar pembenaran. Dengan asumsi haji tanpa tarwiyah merupakan program Depag, namun Depag tidak menghalangi jamaah haji yang bertekad melaksanakan sunnah Rasulullah saw yang satu ini. Upaya dan usaha untuk menerapkan sunnah ini bisa ditempuh dan hasilnya tidak sedikit kawan-kawan penulis yang telah berangkat ke tanah suci bisa menerapkan sunnah ini. Justru yang terkadang mengherankan adalah adanya sikap kurang kooperatif dari sebagian petugas Indonesia di lapangan. Ini penulis dengar dari sebagian jamaah yang telah berangkat dan bisa melaksanakan tarwiyah. Penulis berharap kalaupun Depag tetap tidak memasukkan tarwiyah ke dalam agenda hajinya, paling tidak mendukung dan membantu dengan menyediakan perangkat untuk itu, kalaupun ini juga tidak, minimal petugas lapangan tidak bermuka masam dan bermulut cemberut pada saat ada sebagian jamaah haji yang berniat untuk bertarwiyah.

Adapun diamnya para ulama Indonesia terkait ditinggalkannya tarwiyah maka hal tersebut bukan merupakan pijakan dan sandaran yang shahih untuk meninggalkan sunnah yang satu ini, sebab bagi seorang muslim timbangan yang valid adalah apa yang difirmankan oleh Allah dan disabdakan atau dikerjakan oleh Rasulullah saw, bukan kata si anu dan si ini. Diamnya ulama-ulama Indonesia bukan merupakan hujjah syar’i yang dengannya sunnah yang shahih patut untuk dikesampingkan. Diamnya ulama-ulama Indonesia bukan merupakan ijma’ umat yang terjaga dari kesalahan. Penulis menangkap kesan dari diamnya mereka hanya karena tarwiyah merupakan sunnah yang tidak mempengaruhi sahnya ibadah haji, sehingga mereka tidak memandang perlu meributkannya.

Kepada dalih kedua penulis berkata, tidak keliru dan tidak salah bahwa haji tanpa tarwiyah tetap sah. Namun alangkah bijaknya jika dalam perkara ini kita tidak terkotak dan terpatok dengan sah atau tidak sah, sebab jika kita terpatok dengannya maka hanya kadar minimal yang kita peroleh, alangkah meruginya jika kita hanya meraih kadar minimal padahal semestinya kita meraih kadar maksimal. Sangat bijak jika kita melihat bagaimana Rasulullah saw berhaji, apa yang beliau kerjakan kita kerjakan, apa yang beliau tinggalkan kita tinggalkan. Penulis berkata, tidak setiap muslim bisa berhaji, yang bisa berhaji belum tentu bisa mengulangi, kebanyakan dari kaum muslimin hanya mampu untuk berhaji sekali seumur hidup. Apakah dengan ibadah sekali seumur hidup dan dengan biaya yang tidak murah, lalu kita hanya puas sebatas, “Pokoknya atau yang penting sah?” Kalau hanya sebatas ini tekad kita dalam berhaji maka betapa zuhudnya kita kepada apa yang ada di sisi Allah. Penulis mencium aroma sikap meremehkan dan menyepelekan dalam hal ini dan itu bisa merembet kepada yang lebih besar.

Kepada orang-orang yang menolak bertarwiyah dan menyodorkan dalih kepada kawan-kawan yang bertarwiyah bahwa itu hanya sebatas sunnah, penulis berkata, jika bertarwiyah hanya sebatas sunnah, lalu tidak bertarwiyah itu apa? Bukankah ia meninggalkan sunnah? Lalu mana yang lebih utama, kalian yang tidak bertarwiyah atau mereka? Jika kawan-kawan yang bertarwiyah hadir di Mina pada hari delapan bulan Dzul Hijjah demi menegakkan salah satu sunnah Rasulullah saw yang shahih dari beliau, lalu kalian tidak bertarwiyah sehingga kalian pada hari itu sudah nongkrong di Arafah, hadir dan diamnya kalian di Arafah pada hari tersebut berpijak dan berdasar kepada sunnah siapa? Apakah kalian tidak mengetahui bahwa Rasulullah saw baru berangkat dari Mina ke Arafah setelah matahari terbit di hari sembilan dan beliau tiba di lembah Arafah setelah matahari tergelincir? Silakan Anda membuka shahih Muslim tentang sifat haji Nabi saw dalam hadits Jabir bin Abdullah yang panjang. Penulis menghadirkan penggalannya berikut ini yang menetapkan bahwa Rasulullah saw bertarwiyah dan sebaik-sebaik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah saw.

Dalam hadits Jabir yang panjang tentang haji Nabi saw yang diriwayatkan oleh Muslim, Jabir berkata, “…Maka semua manusia bertahallul dan memotong rambut kecuali Nabi saw dan orang-orang yang membawa hadyu, ketika hari Tarwiyah tiba, orang-orang berangkat ke Mina, mereka berihlal dengan haji, Rasulullah saw berkendara (ke Mina), di sana beliau shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya` dan Shubuh, kemudian beliau berdiam sejenak sampai terbit matahari…”

Terakhir semoga Allah membuka hidayahNya kepada kaum muslimin sehingga mereka menyintai dan menerapkan sunnah NabiNya saw secara umum, membimbing jamaah haji Indonesia untuk meneladani tuntunan Rasulullah saw dalam pelaksanaan ibadah haji karena ia sebaik-baik tuntutan. Allahumma amiin.