Setiap orang tua pasti menginginkan anak mereka sukses dalam studi, sehingga do’a pun tidak pernah henti-hentinya mereka panjatkan kepada Allah subhanahu wata`ala demi kesuksesan tersebut, di samping itu, mereka menyiapkan semua kebutuhan dan fasilitas yang mendukung kesuksesan tersebut. Bahkan mengiming-iminginya dengan hadiah-hadiah apabila sukses dalam ujian.

Begitu besar perhatian para orang tua terhadap studi, masa depan, dan urusan-urasan dunia anak-anak mereka. Mereka benar-benar merasa bertanggung jawab akan hal tersebut. Tapi sayangnya mereka tidak memiliki perhatian dan rasa tanggung jawab atas akhirat anak-anak mereka sebesar perhatian dan rasa tanggung jawab atas dunia anak mereka. Begitu pula dengan perhatian mereka terhadap nasib anak-anak mereka setelah kematiannya, boleh jadi tidak seperti perhatian mereka akan ketentraman dan kebahagian mereka di saat hidup di dunia.

Tanggung jawab para orang tua terhadap anak-anak mereka seakan hanya terbatas pada perkara dunia yang fana, dan terkesan mereka mengabaikan perkara ukhrawi yang abadi.

Terbukti bahwa sebagian besar para orang tua memiliki cita-cita dan harapan agar anak mereka dapat menjadi seorang dokter, insinyur, pilot, tentara, dan lain-lain. Intinya adalah harapan duniawi belaka. Mereka beranggapan dengan semua itulah anak-anak mereka dapat hidup dan meraih kebahagian.

Dan terbukti pula dari rasa kecewa yang sangat seandainya anak mereka terlambat mengikuti ujian, sehingga mereka harus rela tidak tidur agar anaknya tidak terlambat dan tertinggal pada saat ujian sekali lagi demi sebuah kesuksesan dan masa depan sang anak. Tetapi jarang di antara para orang tua yang menyesal dan kecewa saat anak mereka terlambat shalat Subuh seperti penyesalan dan rasa kecewa mereka tatkala anak mereka tertinggal ujiannya atau gagal dalam ujian. Bahkan para orang tua selalu bertanya setiap hari kepada anak-anaknya tentang ujiannya. Apa yang mereka kerjakan, bagaimana mereka menjawab, dan semoga jawabannya benar? Apakah mereka pernah bertanya kepada anak mereka setiap harinya tentang perkara agamanya? Sudah shalat belum? Dengan siapa berteman? Dan apakah pernah bertanya kepada anak-anak mereka saat mereka tidak ada di rumah seharian, di mana mereka?

Para orang tua merasa begitu terpukul dan merasa gundah gulana ketika mereka tahu bahwa anak-anak mereka bermalas-malasan dalam ujian, tetapi tidak bersedih dan tertuntut ketika anak-anak mereka bermalas-malasan dalam menjalankan sunnah dan kewajiban agama mereka. Mereka berikan dan penuhi semua yang diinginkan anak-anak mereka, dan mereka melarangnya sementara dari hiburan-hiburan, seperti menonton video, televisi, koran, majalah supaya tidak melalaikan mereka dari menghafal dan menyiapkan ujian.

Sedikit sekali di antara para orang tua yang memikirkan untuk anak-anak mereka tentang ujian yang tidak memiliki gelombang kedua. Tidak dapat diulang jika gagal, atau ‘diher’ jika ada materi-materi yang tidak mencapai target. Pilihan yang ada hanyalah lulus atau gagal. Gagal berarti dimasukkan dan menetap di dalam Neraka. Ini juga artinya adalah kerugian yang nyata dan siksa yang hina. Apakah mungkin ijazah, sertifikat prestasi, piagam penghargaan, kedudukan dan kekayaan dapat menyelamatkan mereka dari adzab Allah Ta`ala. Atau memberi syafa’at ketika mereka menerima kitab catatan amal mereka dengan tangan kiri mereka? Kemudian berteriak dengan sekencang-kencangnya, sebagaiman firman Allah Ta`ala, artinya,“Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku.Telah hilang kekuasaan dariku”. (QS. al-Haqqah: 27-29).

Semua ini bukan berarti para orang tua meremehkan atau menelantarkan anak-anak mereka. Tetapi semata-mata untuk mengingatkan bahwa akhirat anak-anak mereka lebih utama untuk diperhatikan dan diusahakan, serta lebih berhak untuk diamalkan.

Teramat langka rasanya kalau ada Orang tua yang bersungguh-sungguh mencarikan seorang guru privat atau ustadz untuk mengajari anak-anak mereka al-Qur’an dan sunnah. Yang ada para orang tua saat ini dalam mengekspresikan rasa cinta dan kasih sayang mereka kepada anak mereka berupa menyediakan pembantu, supir, mobil yang siap melayani mereka setiap saat. Bahkan menyiapkan untuk mereka rumah yang penuh dengan hiburan-hiburan yang diharamkan dan melalaikan mereka dari mengingat Allah Azza Wa Jalla dan ta’at kepada-Nya. Mungkin seribu satu dari para orang tua yang memberikan hadiah/ penghargaan saat anak mereka menghafal beberapa juz dari al-Qur’an atau belajar hadits-hadits Nabi shallallahu `alaihi wasallam.

Sebagian orang tua menjanjikan anak-anak mereka berlibur keliling dunia, mengunjungi pantai-pantai dan tempat-tempat rekreasi lainnya di seluruh dunia atau membelikan mereka mobil mewah apabila mereka lulus. Tetapi tidak pernah sekalipun menjanjikan anak-anak mereka, apabila sukses menghafal al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu `alaihi wasallam, sukses melaksanakan haji dan lain-lain. Walhasil, seperti apa yang kita lihat, al-Qur’an mereka ganti dengan majalah dan koran. Shalat diganti dengan menonton konser musik. Majlis ta’lim diganti dengan tempat-tempat hiburan, dan hasilnya muncullah generasi seperti binatang, sebagaimana firman Allah Ta`ala, artinya, “Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Meraka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. al-A’raf: 179)

Maka hendaklah kita sebagai orang tua benar-benar memperhatikan kehidupan akhirat anak kita. Adapun langkah-langkah yang harus kita lakukan dalam hal ini di antaranya :

  • Memperbaiki diri kita sendiri, sehingga kita benar-benar menjadi orang tua yang shalih dan patut untuk diteladani. Karena pada keshalihan kita dan dengannya pula, anak-anak kita akan istiqomah dan senantiasa dijaga oleh Allah subhanahu wata`ala. Allah Ta`ala berfirman, artinya, “Sedang ayahnya adalah seorang yang shalih“(QS. al-Kahfi: 82).

  • Menjadikan Tarbiyah Islamiyah (pendidikan Islam) sebagai tujuan utama dan orientasi kita dalam mendidik anak-anak kita dan bukan berarti melarang mereka untuk belajar ilmu-ilmu tehnik keduniaan, hanya saja porsi yang diberikan tidak sebesar perhatian kita kepada akhirat mereka. Allah subhanahu wata`ala berfirman, artinya, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi.” (QS. al-Qashash: 77)

  • Hendaklah kita bertaqwa kepada Allah Azza wa Jalla dalam menjaga kemashlahatan mereka baik di dunia maupun di akhirat, karena anak-anak kita adalah amanah yang akan Allah Ta`ala pinta pertaggung-jawabannya. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seorang hamba diberikan kepemimpinan oleh Allah Ta`ala ia mati sedangkan pada saat matinya ia berbuat curang terhadap rakyatnya (yang dipimpin), melainkan Allah akan mengharamkan surga baginya.” (Muttafaq ‘Alaih)

    Hendaklah para orang tua memperhatikan kisah Luqman yang diabadikan Allah tabaraka wa ta`ala dalam al-Qur’an tentang wasiat yang ia sampaikan kepada anaknya tercinta. Betapa Luqman menyeru anaknya kepada sesuatu yang membuatnya dapat meraih kebahagian hidup yang hakiki serta menyelamatkannya dari adzab yang pedih, yakni melarang anaknya dari menyekutukan Allah Ta`ala, artinya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya kesyirikan merupakan kezhaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13). Ia menunjukkan kepadanya bahwa yang dapat menyelamatkan dari adzab Allah subhanahu wata`ala adalah dengan menjauhkan syirik dan bersegera mengerjakan ibadah kepada Allah Ta`ala dengan mendirikan shalat, memerintahkan pada kebaikan, mencegah kemungkaran sebagaimana firman Allah Ta`ala artinya, “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar.” (QS. Luqman:17), Serta menyuruhnya untuk berakhlak yang baik, yang dengannya dirinya akan menjadi mulia dan tinggi kedudukannya, dan melarangnya bersikap sombong terhadap manusia dan merendahkan mereka, sebagaimana firman Allah Ta`ala, artinya, “Dan janganlah memalingkan muka dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. 31:18). Dan berjalan di bumi Allah Ta`ala dengan rendah hati dan lembut dalam berbicara, sebagaimana firman Allah Ta`ala, artinya, “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman: 19)

  • Hendaklah orang tua mengetahui dan mengajarkan anaknya bahwa dunia ini adalah fana dan dia bak fatamorgana yang mengelabui mata. Dan bahwa kusuksesan yang hakiki adalah membatasi diri dan keinginan hanya pada sesuatu yang diridhai Allah ta`ala, bertakwa dan ta’at kepada-Nya.

  • Hendaklah para orang tua bersungguh-sungguh dalam mendidik dan menjaga mereka dari hal-hal yang merusak serta tidak menyia-nyiakan mereka sebelum datang penyesalan yang tidak ada arti dan sebelum kehinaan menimpa mereka pada hari yang tidak ada gunanya lagi semua yang disesali. Wallahu Ta’ala a’lam.

Oleh: Abu Nabiel Muhammad Ruliyandi

Sumber: Disadur dari artikel yang berjudul “Risalah Ila Ba’dhi al-Abaa’,” Daar al-Qasim, Riyadh Muraji’: Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin,