Salah satu buntut problem yang ditimbulkan oleh perbuatan haram ini adalah kehamilan yang tidak diinginkan, jika pelaku tipis iman maka jalan aborsi biasanya ditempuh, jika iman pelaku masih mendingan maka keduanya menikah dan anak diizinkan hidup. Pertaanyaan, apakah nasab anak dari hubungan haram ini terinduk kepada bapak biologisnya? Atau dengan kata lain, apakah zina bisa menetapkan nasab seseorang? Ada tiga pendapat dalam masalah ini:

Pendapat pertama, anak hasil zina tidak dinasabkan kepada pelaku. Ini adalah pendapat jumhur, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.

Ibnu Abdul Bar berkata, “… Ini merupakan ijma’ dari para ulama kaum muslimin, bahwa anak zina tidak dinasabkan kepada pelaku, dia mengakuinya atau mengingkarinya. Mereka berkata, sabda Nabi saw, ‘Dan untuk pezina adalah batu.’ sama dengan ucapan mereka, ‘Mulutmu tersumbat batu.’ Yakni kamu tidak mendapatkan apa pun. Mereka berkata, maksud sabdanya, ‘Dan untuk pezina adalah batu.’ bukan rajam, akan tetapi maksudnya adalah penafian terhadap anak walaupun kata itu memungkinkan untuk dua takwil tersebut. Dan Allah adalah pemilik taufik.” (At-Tamhid 8/195-196).

Imam asy-Syafi’i rhm berkata, “Perkaranya sangat jelas dalam hukum-hukum Allah azj bahwa nikmatnya tidak diraih dengan bermaksiat kepadaNya, Dia Ta’ala menghalalkan pernikahan, Dia berfirman, “Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi.” Dia Ta’ala berfirman, “Dan jika kamu takut tidak mampu berbuat adil maka nikahilah seorang saja atau hamba sahaya yang kamu milki.” Dia mengharamkan zina, Dia berfirman, “Dan janganlah kamu mendekati zina.” berikut apa yang Dia sebutkan di dalam kitabNya, maka masuk akal di dalam kitabullah jika anak zina tidak dinasabkan kepada bapaknya pelaku zina dengan ibunya karena apa yang kami katakan di atas bahwa nikmat Allah tidak diraih dengan bermaksiat kepadanya, akan tetapi semestinya diraih dari arah ketaatan kepadaNya, kemudian Dia menjelaskan hal itu melalui lisan nabiNya…Dan Imam ini memaparkan perkataan dalam menjelaskan hal itu. (Ahkam al-Qur`an 2/189).

Abdullah bin Imam Ahmad rma berkata, “Aku bertanya kepada bapakku tentang seorang laki-laki yang mengakui seorang anak pada saat dia sakit dari pelayan istrinya atau anak dari perzinaan, bapakku berkata, ‘Tidak dinasabkan kepadanya berdasarkan sabda Nabi saw, ‘Anak adalah milki ranjang dan pezina mendapatkan batu.” (Masa`il al-Imam Ahmad 2/15).

Ibnu Qudamah berkata, “Anak zina tidak dinasabkan kepada pelaku menurut pendapat jumhur… Dan dalil kami adalah sabda Nabi saw, “Anak adalah milki ranjang dan pezina mendapatkan batu.” Karena anak ini tidak terindukkan nasabnya kepada pelaku jika pelaku tidak mengindukkan, maka ia tidak dinasabkan kepadanya dalam keadaan apa pun, sebagaimana jika ibunya adalah firasy atau sebagaimana jika dia tidak dihukum had menurut pendapat yang mengharuskannya.” (Al-Mughni 7/129).

Pendapat kedua, anak zina tidak dinasabkan kepada pelaku kecuali jika pelaku mengklaimnya dan tidak ada orang lain yang mengklaimnya serta dia tidak berkata bahwa anak ini hasil dari perzinaan. Ini adalah pendapat Hanafiyah.

Nizhamuddin al-Balakhi rhm berkata, “Seandainya seseorang berzina dengan seorang wanita lalu wanita itu hamil kemudian laki-laki itu menikahinya dan wanita itu melahirkan, jika dia melahirkan dalam masa enam bulan ke atas maka anak tersebut dinasabkan kepada laki-laki itu, jika dia melahirkan kurang dari enam bulan maka nasabnya tidak kepada laki-laki itu kecuali jika dia mengklaimnya dan dia tidak mengatakan bahwa anak itu dari zina. Lain halnya jika dia mengatakan bahwa anak itu berasal darinya dari zina maka nasabnya tidak ditetapkan kepadanya dan tidak pula mewarisinya, demikian yang tercantum dalam al-Yanabi’.” (Al-Fatawa al-Hindiyah 1/540).

Pendapat ketiga, jika pezina mengindukkan nasab anaknya dari zina kepada dirinya dan pemilik ranjang tidak menggugatnya maka nasabnya terinduk kepadanya. Ini adalah pendapat al-Hasan al-Bashri, Urwah bin az-Zubair, Sulaiman bin Yasar dan Ishaq bin Rahawaih. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim menyatakan bahwa pendapat ini rajih.

Ibnu Qudamah berkata, “Al-Hasan dan Ibnu Sirin berkata, ‘Dinasabkan kepada pelaku jika dia sudah dihukum had dan dia mewarisinya.’ Ibrahim berkata, ‘Dinasabkan kepadanya jika dia telah dihukum had atau dia memiliki wanita yang dia gauli dalam perzinahan tersebut.’ Ishaq berkata, ‘Dinasabkan kepadanya.’ Dan disebutkan perkataan senada dari Urwah dan Sulaiman bin Yasar.” (Al-Mughni, 7/12).

Dalil-Dalil Jumhur

Dari Aisyah istri Nabi saw bahwa dia berkata, Utbah bin Abu Waqqash telah berpesan kepada saudaranya Saad bin Abu Waqqash, “Bahwa anak hamba sahaya Zam’ah berasal dariku, maka ambillah dia.” Pada saat Fathu Makkah, Saad mengambil anak itu, dia berkata, “Dia adalah anak saudaraku, dia telah menitipkannya kepadaku.” Maka Abd bin Zam’ah berdiri, dia berkata, “Tidak, dia adalah saudaraku, dia anak hamba sahaya bapakku, lahir di atas ranjang bapakku.” Lalu keduanya mengadu kepada Nabi saw. Saad berkata, “Ya Rasulullah, ini adalah keponakanku, bapaknya telah berpesan kepadaku agar aku merawatnya.” Maka Abd bin Zam’ah berkata, “Dia saudaraku, dia anak hamba sahaya bapakku, dia lahir si atas ranjangnya.” Maka Nabi saw bersabda, “Dia untukku wahai Abd bin Zam’ah.” Kemudian Nabi saw melanjutkan, “Anak milki ranjang dan pezina mendapatkan batu.” Lalu Nabi saw bersabda kepada Saudah, “Berhijablah darinya.” Karena beliau melihat kemiripan anak itu dengan Utbah, maka anak tersebut tidak melihat Saudah sampai mati. Diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 7182 dan Muslim no. 1457.

Dari Amru bin Syuaib dari bapaknya dari kakeknya berkata, seorang laki-laki berdiri, dia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya fulan adalah anakku, aku telah berzina dengan ibunya pada zaman jahiliyah.” Maka Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada klaim dalam Islam, perkara jahiliyah telah pupus, anak milik ranjang dan pezina mendapatkan batu.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2274, Ahmad 2/207, 179, sanad hadits ini dihasankan kepada Amru bin Syuaib oleh Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 12/34. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 7493.

Dalil Hanafiyah

Pendapat ini berpijak kepada ditetapkannya iqrar (pengakuan) sebagai salah satu bukti yang menetapkan hak atas seseorang, karena laki-laki ini telah mengakui anak itu sebagai anaknya, tidak ada orang lain selainnya yang mengakuinya dan dia tidak mengaku bahwa anak ini berasal dari zina, maka pengakuannya berlaku atasnya, sehingga anak itu dinasabkan kepadanya.

Dalil Pendapat Ketiga

Ibnul Qayyim berkata, “Madzhab ini seperti Anda lihat kuat dan jelas, sementara jumhur tidak lebih dari berpegang kepada, “Anak adalah milik ranjang.” Pemilik madzhab ini adalah orang pertama yang mengatakannya, qiyas yang shahih menuntut demikian karena bapak adalah satu dari dua pezina, jika anak itu diindukkan dan dinasabkan kepada ibunya, anak itu mewarisi ibunya dan ibunya mewarisinya, nasab anak itu ditetapkan antara dirinya dengan kerabat ibunya walaupun ibu itu berzina dengan bapaknya, lalu anak itu ada dari air keduanya, keduanya berserikat padanya, bersepakat bahwa dia adalah anak mereka, lalu apa yang menjadi penghalang untuk menasabkan anak kepada bapaknya jika tidak ada orang lain yang mengakuinya? Ini adalah qiyas itu sendiri. Juraij berkata kepada anak yang lahir dari ibu yang berzina dengan seorang pengembala, “Wahai bocah, siapa bapakmu?” Maka anak itu menjawab, “Fulan si pengembala.” Allah Ta’ala menjadikan anak ini berbicara, tidak mungkin dusta.” (Zadul Ma’ad 5/364).

Pertimbangan

Pendapat Hanafiyah beda tipis dengan pendapat jumhur, pada prinsipnya Hanafiyah sepakat dengan jumhur bahwa anak hasil zina tidak dinasabkan kepada pezina, hanya saja Hanafiyah menambahkan seperti yang telah dipaparkan. Bagaimanapun pendapat jumhur adalah pendapat yang rajih, namun pendapat Hanafiyah perlu dipertimbangkan, karena pendapat ini tetap memberikan nasab anak kepada orang yang mengklaimnya atau mengakuinya dan yang mengakuinya tidak mengatakan bahwa anak tersebut adalah anak zina, terlepas benar tidaknya pengakuan yang bersangkutan, hal itu antara dirinya dengan Allah.

Adapun pendapat ketiga, maka maksud hadits Juraij bukan menetapkan nasab, pertanyaan Juraij “Siapa bapakmu wahai bocah?” Lalu anak itu menjawab, “Fulan tukang gembala.” hanya untuk mengungkap siapa bapak biologis bocah itu, bukan bapak syar’i, Juraij hendak membuktikan bahwa dia bukan pelaku. Tentang diindukkannya anak kepada ibu, maka hal itu jelas, tidak seorang pun memungkirinya, berbeda dengan pengindukkannya kepada bapak, nasab adalah nikmat dan nikmat tidak ditetapkan dengan maksiat, begitu kata Imam asy-Syafi’i. Wallahu a’lam.