Bid’ah mempunyai sebab-sebab yang memicunya, di antaranya adalah:

Kebodohan, dalam agama dan ini adalah sebuah penyakit berbahaya, karena kebodohan, pelaku bid’ah mengira bahwa apa yang dilakukannya baik, maka tidak jarang di antara mereka ada yang berkata, “Ini kan baik. Apa salahnya kita melakukan ini dan ini?” Maklum kebodohan, sehingga setan menjadikan yang buruk sebagai yang baik dan sebaliknya.

Dari Abdullah bin Amru bin al-Ash berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dari manusia secara langsung, akan tetapi mencabutnya dengan mewafatkan para ulama, sehingga ilmu pun terangkat bersama mereka, akhirnya yang tersisa adalah para pemimpin jahil (bodoh), mereka berfatwa tanpa ilmu, akibatnya mereka sesat dan menyesatkan.” Muttafaq alaihi, al-Bukhari no. 7307 dan Muslim no. 2673.

Hawa nafsu yang dinomorsatukan dan dikedepankan, ini adalah salah satu sebab berbahaya sekaligus kuat yang menyeret seseorang ke dalam kubangan bid’ah. “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Al-Qashash: 50). “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmuNya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (Al-Jatsiyah: 23).

Syubhat, ini yang sering dijadikan pegangan oleh para pelaku bid’ah dalam memunculkan bid’ah atau menggemukkannya, mereka memahami syubhat-syubhat tersebut dengan cara mereka sendiri sehingga lahirlah bid’ah yang mereka pegang erat-erat, mereka adalah orang-orang yang Allah Ta’ala namakan dengan orang-orang yang di dalam hati mereka terdapat zaigh (condong kepada kebatilan), yaitu orang-orang yang mengikuti mutasyabihat demi mencari fitnah dan takwil batil.

Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat darinya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya.” (Ali Imran: 7).

Berpegang kepada akal murni, padahal akal tidak bisa secara independen mengetahui rincian syariat, maka siapa yang berpijak hanya kepada akal semata dan mengesampingkan syara’, dia pasti terjerumus ke dalam bid’ah dan penyimpangan.

Dari sini agar seorang muslim selamat dari bid’ah, dia kudu mendahulukan wahyu, mengedepankan syara’ di atas akal, karena yang menurunkan wahyu dan membuat syariat adalah yang membaut akal, mana mungkin akal yang buatan Allah itu bisa mengungguli pembuatnya?

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (Al-Ahzab: 36).

Taashshub, fanatik kepada leluhur, nenek moyang, tradisi, adat, madzhab dan para syaikh dalam perkara yang sudah jelas menyelisihi syariat. Bila dikatakan kepada salah seorang dari mereka, “Sunnah dalam masalah anu adalah begini. Yang shahih dalam masalah anu adalah pendapat ini berdasarkan dalil yang shahih ini dan ini.” Maka dia akan menyanggah, “Tidak, karena tradisi kami tidak demikian, karena syaikh kami berkata sebaliknya, karena madzhab kami tidak begitu…” Dan sanggahan-sanggahan yang sepertinya.

Keadaan mereka sebagaimana keadaan orang-orang yang disinggung Allah Ta’ala dalam firmanNya, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.’ Mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ Apakah mereka akan mengikuti juga walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqarah: 170) dan firmanNya, “Bahkan mereka berkata, “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” (Az-Zukhruf: 22).

Bergaul dengan ahli bid’ah, karena pergaulan saling memberi dan menerima, saling mempengaruhi, siapa yang berkawan dengan ahli bid’ah, tidak dijamin selamat dari bid’ahnya, sebagaimana orang yang berkawan dengan pandai besi, tidak dijamin selamat minimal dari asap yang bau sangit. Seseorang di atas ajaran rekannya, sialakan Anda melihat siapa rekan Anda?

Janganlah Anda menjadi orang yang menyesal di hari Kemudian dengan menggigit jari penyesalan, gara-gara Anda berkawan dengan orang-orang yang lalai yang menyesatkan Anda dari jalan yang benar.

Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zhalim menggigit dua tangannya seraya berkata, ‘Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku, kiranya aku (dulu) tidak menjadikan fulan itu teman akrab. Sesungguhnya dia telah menyesatkanku dari al-Quran ketika ia telah datang kepadaku. Dan setan itu tidak mau menolong manusia.” (Al-Furqan: 27-29).

Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikanmu lupa terhadap larangan ini, maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat terhadap larangan itu.” (Al-An’am: 68). Wallahu a’lam.