Tasyabbuh dengan orang-orang kafir dan penganut agama lain dan bertaklid kepada mereka. Ini termasuk sebab pemicu bid’ah di kalangan kaum muslimin. Sehingga di antara kaum muslimin saat dia mencari pembenaran dalam perayaan mulid Nabi saw, ada yang berkata, “Orang-orang anu saja memiliki peringatan kelahiran nabi mereka, masak kita kaum muslimin tidak punya. Kita jangan kalah dengan mereka.” Ada yang berkata, “Orang-orang anu punya hari raya ini dan ini, masak kaum muslimin harus tertinggal.” Akibatnya, lahirlah bid’ah-bid’ah hasil dari mengekor dan membuntut kepada pengikut agama lain.

Seorang muslim harus memiliki identitas independen sebagai seorang muslim, berbangga dengan ciri khas keislamannya yang bersih, tidak hanyut oleh gemerlap dan tipuan milik pengikut agama lain, karena bila tidak maka dia akan terseret arus kesesatan yang kuat yang akan menghempaskannya ke kursi bid’ah.

Meniru apa yang diperbuat oleh pengkiut agama lain ini pernah terjadi pada sebagian sahabat yang baru masuk Islam, saat itu mereka berkata kepada Nabi saw dalam perjalanan ke lembah Hunain, “Jadikanlah untuk kami pohon Dzatu Anwath, sebagaimana mereka memiliki pohon Dzatu Anwath.” Pohon ini adalah pohon keberkahan milik orang-orang kafir di mana mereka menggantungkan senajata-senjata mereka padanya. Maka Rasulullah saw menjawab, “Allahu Akbar, kalian telah berkata demi dzat yang jiwaku ada di tanganNya sebagaimana yang dikatakan oleh Bani Israil kepada Musa, ‘Jadikanlah Tuhan bagi kami sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan.’ Kalian akan mengikuti jalan hidup orang-orang sebelum kalian.” Diriwayatkan oleh Abu Ashim dalam Kitab as-Sunnah no. 76 dan dihasankan oleh al-Albani dalam Zhilal al-Jannah.

Hadits di atas mengandung petunjuk yang jelas bahwa tasyabbuh kepada orang-orang kafir yang membuat Bani Israil meminta kepada Musa apa yang mereka minta, hal sama terjadi pada sebagian sahabat saat mereka meminta sebuah pohon keramat.

Begitulah keadaan orang-orang awam dari kaum muslimin, mereka meniru orang-orang kafir dalam menghidupkan bid’ah-bid’ah dan kesyirikan-kesyirikan seperti bid’ah-bid’ah kematian, kuburan dan sebagainya, dan tidak disangsikan bahwa mengikuti jalan hidp agama lain termasuk pintu lebar bagi hawa nafsu dan bid’ah.

Hadits lemah dan palsu, yakni berpegang kepadanya. Hal ini bisa kita saksikan, tidak sedikit bid’ah yang bersandar kepada hadits-hadits palsu atau dhaif, dusta atas Nabi saw Rasulullah saw, di mana ulama ahli hadits telah menolak hadits-hadits tersebut, lalu datang sekelompok orang dari penggemar bid’ah dan memungutnya selanjutnya mengamalkannya, padahal ia lemah atau palsu, akibatnya lahir sebuah bid’ah hasil dari sebuah hadits yang lemah atau palsu.

Ghuluw, sikap berlebih-lebihan terhadap orang-orang shalih dan tempat-tempat tertentu. Ini termasuk sebab bid’ah bahkan sebab syirik pertama di muka bumi, yaitu sikap memuja orang-orang shalih melebihi batas wajar, sebagaimana hal ini terjadi pada orang-orang di zaman Nuh.

Ghuluw ini bisa terhadap personal seperti menyucikan para imam, para wali dan mengangkat derajat mereka melebihi derajat ubudiyah dengan memberikan sebagian dari ciri khas rububiyah kepada mereka yang akhirnya berujung kepada penyembahan kepada mereka. Sebagaimana sikap ghuluw ini bisa terjadi pada agama, hal ini dengan menambah dari apa yang telah disyariatkan oleh Allah atau dengan bersikap ekstrim keras.

Karena ghuluw ini bisa menyeret kepada bid’ah dan syirik, maka syariat Islam hadir melarangnya, Allah Ta’ala berfirman, “Hai ahli kitab, janganlah kalian bersikap ghuluw dalam aagama kalian.” (An-Nisa`: 171).

Rasulullah saw bersabda, “Jauhilah sikap ghuluw, karena yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah sikap ghuluw.” Diriwayatkan oleh an-Nasa`i 5/268 dari Ibnu Abbas.

Bahkan terhadap diri Rasulullah saw, beliau melarang umat untuk mengambil sikap ini. “Jangan memujiku berlebihan sebagaimana orang-orang Nasrani melakukannya terhadap al-Masih putra Maryam, karena aku hanyalah seorang hamba, maka ucapkanlah, ‘Hamba dan utusan Allah.” Diriwayatkan al-Bukhari no. 3445.