Definisi I’tikaf

Secara bahasa, i’tikaf adalah menetapi sesuatu dan mengikat diri kepadanya. Sedang secara syar’i, i’tikaf adalah menetap di masjid dan berdiam di dalamnya dengan niat mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala.

Hikmah Disyari’atkannya I’tikaf

Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan beberapa hikmah i’tikaf berkata, “Kelurusan hati dalam perjalanannya menuju Allah Ta’ala sangat bergantung kepada kuat tidaknya hati itu berkonsentrasi mengingat Allah Ta’ala dan merapikan kekusutan hati serta menghadapkannya secara total kepada Allah Ta’ala. Perlu diketahui bahwa makan dan minum yang berlebihan, kepenatan jiwa dalam berinteraksi sosial, terlalu banyak berbicara dan tidur akan menambah kekusutan hati bahkan dapat menceraiberaikannya dan menghambat perjalanannya menuju Allah Ta’ala atau melemahkan langkahnya. Maka sebagai konsekuensi rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengasih terhadap hamba-hamba-Nya, Allah Ta’ala mensyari’atkan ibadah puasa atas mereka untuk menghilangkan kebiasaan makan dan minum secara berlebih-lebihan serta membersihkan hati dari noda-noda syahwat yang menghalangi perjalanannya menuju Allah Ta’ala. Dan Allah Ta’ala mensyari’atkan i’tikaf yang inti dan tujuannya adalah menambat hati untuk senantiasa mengingat Allah Ta’ala, menyendiri mengingat-Nya, menghentikan segala kesibukan yang berhubungan dengan makhluk, dan memfokuskan diri kepada Allah Ta’ala semata. Sehingga kegundahan dan goresan-goresan hati dapat diisi dan dipenuhi dengan dzikrullah (mengingat Allah Subhaanahu Wata’aala), mencintai dan menghadap kepada-Nya.”

I’tikaf juga merupakan sarana pembinaan jiwa dan melatihnya dalam mengerjakan ketaatan.

Hukum I’tikaf

I’tikaf merupakan bentuk pendekatan diri dan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala, dan merupakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan sangat dianjurkan untuk dilakukan pada bulan Ramadhan terlebih lagi pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan.

Dan hukumnya menjadi wajib jika dinadzarkan, berikut beberapa dalil tentang I’tikaf :

  • Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa beri’tikaf selama sepuluh hari pada setiap bulan Ramadhan dan pada tahun di mana beliau wafat, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Al-Bukhari)

  • Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, hal itu beliau lakukan hingga beliau wafat, kemudian para istri-istri beliau juga melakukannya sepeninggal beliau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

  • Dalil wajibnya i’tikaf jika dinadzarkan adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ” Barang siapa bernadzar untuk mentaati Allah, maka hendaklah ia mentaati-Nya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim), dan juga dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, ia menceritakan bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Pada masa jahiliyah aku pernah bernadzar beri’tikaf semalam di Masjidil Haram.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tunaikanlah nadzarmu”, lalu Umar pun beri’tikaf semalaman. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Syarat-Syarat I’tikaf

Syarat-syarat i’tikaf adalah: 1) Islam, 2) Berakal, 3) Baligh, 4) Niat, 5) Di dalam masjid, 6) Suci dari janabah, haidh dan nifas.

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah orang yang beri’tikaf harus dalam keadaan puasa? Pendapat yang paling tepat adalah tidak disyaratkan harus berpuasa dan tidak ada pembatasan waktu. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.

Dan juga telah terjadi perbedaan pendapat antara ulama tentang masjid tempat i’tikaf, apakah i’tikaf hanya boleh di tiga masjid yaitu al-Masjid al-Haram, Masjid an-Nabawi, dan al-Masjid al-Aqsha atau di masjid manapun?

  • Jumhurul ‘ulama dari Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali bahwa I’tikaf dapat dilakukan di masjid mana pun tidak hanya di Masjdil Haram, Masjid Nabawi, dan Masjid Al-Aqsha, walaupun di antara mereka ada perbedaan pendapat, apakah boleh dilakukan di masjid yang tidak dilaksanakan shalat Jum’at? Dan pendapat yang lebih kuat adalah boleh dilakukan di setiap masjid yang dilakukan shalat jama’ah di dalamnya, berdasarkan keumuman firman Allah subhanahu wata’ala, artinya, “Dan janganlah mencampuri mereka (istri-istri kamu) sedangkan kamu dalam keadaan i’tikaf di dalam masjid-masjid…” (QS. Al-Baqarah: 187)

  • Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu – seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam- dan Sa’id bin al-Musayyib radhiyallahu ‘anhu mengatakan tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid berdasarkan hadits Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi ” Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid: al-Masjid al-Haram, Masjid an-Nabawi, dan al-Masjid al-Aqsha.” Al-Haitsami mengatakan Hadits Hudzaifah diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam kitabnya Al-Kabir dan perawi-perawinya adalah perawi hadits shahih.

Syaikh Muihammad bin Shaleh al-Utsaimin rahimahullah suatu ketika ditanya, “Apakah boleh beri’tikaf di selain tiga masjid?”. Beliau menjawab, “Beri’tikaf di selain tiga masjid boleh” dalilnya adalah keumuman firman Allah subhanahu wata’ala, artinya, “Dan janganlah mencampuri mereka (istri-istri kamu) sedangkan kamu dalam keadaan i’tikaf di dalam masjid-masjid”. (QS. Al-Baqarah: 187). Ayat ini adalah untuk semua kaum Muslimin, dan sekiranya yang dimaksud dalam ayat tersebut hanya tiga masjid, maka mayoritas kaum Muslimin tidak terkena dengan ayat ini, karena kebanyakan mereka berada di luar Makkah, Madinah dan Al-Quds.

Berdasarkan hal tersebut, maka boleh beri’tikaf di seluruh masjid, dan jika hadits “Tidak ada i’tikaf kecuali di tiga masjid” itu shahih, maka hadits tersebut mengandung pengertian “i’tikaf yang paling utama dan paling sempurna (hanyalah di tiga masjid) dan tidak diragukan bahwa i’tikaf di tiga masjid tersebut adalah lebih utama dari selainnya, sebagaimana shalat di tiga masjid tersebut lebih utama dari shalat di masjid selainnya.” (Lihat, Fatawa Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 1/548-549, Darul ‘Alamil Kutub cet. IV)

Amalan-amalan Sunnah bagi yang Beri’tikaf

  • Memperbanyak ibadah seperti shalat, membaca Al-Qur’an, membaca buku-buku ahli ilmu dan lain-lain.

  • Menjauhkan diri dari ucapan sia-sia seperti berdebat,mencela, memaki dan lain-lain.

  • Berdiam di tempat i’tikaf dalam masjid. Nafi’ berkata, “Abdullah bin Umar menunjukkan kepadaku tempat yang dipakai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf di dalam masjid.” (HR. Muslim)

Hal-hal yang Dibolehkan bagi yang Beri’tikaf

  • Keluar dari tempat i’tikaf untuk suatu keperluan yang mendesak.

  • Boleh makan, minum, dan tidur di dalam masjid dengan tetap menjaga kebersihan.

  • Berbicara yang dibolehkan dengan orang lain untuk suatu keperluan.

  • Merapikan rambut, memotong kuku, membersihkan badan, mengenakan pakaian bagus dan memakai minyak wangi. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang i’tikaf di dalam masjid, beliau mengeluarkan kepalanya dari sela-sela kamar kemudian aku mencuci kepalanya.” Dalam riwayat lain, “Kemudian aku merapikan rambutnya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

  • Melepas kepulangan keluarga yang menjenguknya.

Perkara-Perkara yang Dimakruhkan Bagi yang Beri’tikaf

  • Berbicara yang mendatangkan dosa.

  • Diam dan tidak berbicara sama sekali, jika ia menyakininya sebagai ibadah.

Perkara yang Membatalkan I’tikaf

  • Keluar dari masjid dengan sengaja tanpa keperluan sekalipun hanya sekali.

  • Bersetubuh.

  • Gila dan mabuk.

  • Haidh dan nifas bagi kaum wanita, disebabkan hilangnya syarat suci.

  • Murtad. Semoga Allah subhanahu wata’ala menghindarkan kita darinya.

Waktu Memasuki Tempat I’tikaf dan Waktu Keluar Darinya

I’tikaf boleh dilakukan kapan saja siang ataupun malam, sehari, seminggu ataupun sebulan, lama ataupun sebentar. Maka bila seseorang memasuki masjid dan berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala, maka ia telah terhitung beri’tikaf hingga keluar dari masjid.

Apabila ia meniatkan beri’tikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, maka ia memasuki tempat i’tikaf sebelum matahari terbenam (menjelang malam ke dua puluh satu), dan meninggalkan tempat i’tikafnya pada hari terkahir bulan Ramadhan setelah matahari terbenam (malam hari raya Idul Fithri).

Barangsiapa bernadzar untuk beri’tikaf pada waktu tertentu, maka dia memasuki tempat i’tikafnya di masjid pada malam pertama sebelum terbenamnya matahari dan keluar setelah terbenamnya matahari pada hari terakhir.

Catatan Penting

Bagi yang membatalkan i’tikaf sunnah yang tengah dilakukan, hendaknya menggantinya pada hari yang lain, berdasarkan amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengganti i’tikaf bulan Ramadhan pada bulan Syawal. Sebagaimana yang telah disebutkan pada hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata , “Hingga beliau juga beri’tikaf pada sepuluh terakhir di bulan Syawal.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sedangkan bagi orang yang membatalkan nadzar i’tikaf yang telah dilakukannya, maka ia wajib menggantinya.

Wahai saudaraku, segeralah menghidupkan sunnah Nabi ini dan memasyarakatkannya di tengah-tengah keluarga, kerabat dekat, dan masyarakatmu. Semoga Allah subhanahu wata’ala menuliskan pahala bagimu dan pahala seperti orang- orang yang mengamalkannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Bilal bin Harits radhiyallahu ‘anhu, “Ketahuilah!” Ia bertanya, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, apa yang harus kuketahui?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menghidupkan salah satu sunnahku yang telah diabaikan, maka ia akan memperoleh pahala seperti orang yang mengerjakannya tanpa dikurangi dari pahala mereka sedikitpun”. (At-Tirmidzi dan dinyatakan hasan olehnya).

Oleh :Ahmad Farhan, Lc

Dinukil dari buku: “Kiat-kiat Menghidupkan Ramadhan” penyusun Abdullah Ash-Shalih.