Edisi Th. XVIII No. 864/ Jum`at I/Rajab 1433 H/ 01 Juni 2012 M.

Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah karena telah berada di bulan Rajab. Adalah penting bagi kita mengetahui beberapa masalah terkait bulan ini. Bukankah jika yang kita ketahui itu termasuk ajaran beliau, maka kita berusaha mengamalkannya untuk meraih pahala Allah. Sebaliknya, jika ternyata bukan ajaran beliau, kita menghindarinya. Bukankah Rasulullah telah bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Dalam lafadz lain riwayat Muslim, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.”

Baiklah saudaraku…Berikut adalah 5 masalah terkait bulan Rajab.

1. Doa khusus di bulan Rajab
Ada sebagian orang membaca doa,

اللهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ، وَشَعْبَانَ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

“Ya Allah, berkahilah kami dalam bulan Rajab dan Sya’ban, lalu sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan.”

Hadits ini dhaif (lemah), diriwayatkan al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra, Ahmad, al-Bazzar dalam Musnad keduanya, Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath, Abu Nu’aim dalam Hilyah dari berbagai jalan dari Zaidah bin Abu Riqad berkata, “Telah menceritakan kepadaku Ziyad an Namiri, dari Anas secara marfu’.”

Imam al-Baihaqi berkata, “Hadits ini hanya diriwayatkan an-Namiri, dan dari dia hanya oleh Zaidah. Al-Bukhari mengatakan, ‘Zaidah, jika meriwayatkan dari Ziyad an-Namiri haditsnya munkar.’ An-Namiri juga orang yang lemah.”

Berhubung hadits ini lemah, maka tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak bisa diamalkan. Sebagai ganti doa yang shahih adalah doa yang diucapkan Rasulullah ketika melihat hilal tanggal satu secara umum untuk setiap bulan hijriyah, beliau berdoa,

اللهُمَّ أَهِلَّهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَالْإِيمَانِ، وَالسَّلامَةِ وَالْإِسْلامِ، رَبِّي وَرَبُّكَ اللهُ

“Ya Allah tampakkanlah bulan tanggal satu itu kepada kami dengan membawa keberkahan dan keimanan, keselamatan dan Islam, Tuhanku dan Tuhanmu (hai bulan sabit) adalah Allah.” (HR. Ahmad, no. 1397)

2. Perang dan Menyembelih Kurban
Mayoritas ulama menganggap bahwa hukum larangan perang dan menyembelih kurban sudah dihapus. Ibnu Rajab berkata dalam kitabnya Lathaif al-Ma’arif, hal. 210, “Tidak diketahui dari seorang sahabat pun bahwa mereka berhenti berperang pada bulan-bulan haram, padahal ada faktor pendorongnya saat itu. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sepakat tentang dihapusnya hukum tersebut.” Begitu juga dengan menyembelih (berkurban).

3. Shalat khusus di bulan Rajab
Tidak ada shalat khusus pada bulan Rajab dan juga tidak ada anjuran shalat Raghaib pada bulan tersebut.
Shalat Raghaib atau shalat Rajab adalah shalat 12 rakaat yang dilakukan antara shalat Maghrib dan Isya pada malam Jum’at pertama bulan Rajab. Pada siang hari sebelumnya dianjurkan berpuasa sunnah. Di setiap rakaat dianjurkan membaca al Fatihah 1x, al-Qadar 3x, al-Ikhlash 12x. Setelah shalat, dianjurkan membaca shalawat kepada Nabi sebanyak 70x.

Di antara keutamaan yang disebutkan adalah bahwa dosa orang yang melakukannya diampuni walaupun sebanyak buih di lautan dan dapat memberi syafaat untuk 700 orang dari kalangan kerabatnya. Namun sayang, hadits yang menerangkan tata cara shalat Raghaib dan keutamaannya adalah hadits maudhu’ (palsu).

Ibnul Jauziy berkata, “Sungguh, orang telah membuat hal baru yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah dengan menunjukkan hadits palsu ini, sehingga menjadi pendorong bagi orang-orang untuk shalat Raghaib dengan berpuasa sebelumnya, padahal siang hari begitu panas, namun ketika berbuka mereka tidak ingin makan banyak karena mereka harus shalat Maghrib, lalu shalat Raghaib. Padahal dalam shalat Raghaib, bacaan tasbih dan sujudnya begitu lama. Sungguh orang-orang terasa susah saat itu. Sungguh aku lihat mereka di bulan Ramadhan dan tatkala mereka shalat Tarawih tidak bersemangat seperti saat melaksanakan shalat Raghaib.Tetapi, shalat ini di kalangan awam begitu penting sehingga orang yang biasa tidak hadir shalat jamaah pun ikut melaksanakannya.” (al-Mawdhu’at li Ibnil Jauziy, 2/125-126)

Al-Imam an-Nawawi berkata, “Shalat yang dikenal orang sebagai Shalat Raghaib, yakni 12 rakaat antara Maghrib dan Isya’ pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab dan Shalat Malam Nishfu Sya’ban 100 raka’at maka kedua shalat ini adalah bid’ah munkarah lagi buruk.” (Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, 4 / 56)

4. Puasa khusus di bulan Rajab
Imam asy-Syaukani menukil perkataan ‘Ali bin Ibrahim al-‘Aththaar, ia berkata dalam risalahnya: “Sesungguhnya riwayat tentang keutamaan puasa Rajab, semuanya adalah palsu dan lemah, tidak ada asalnya (dari Nabi).” (Lihat al-Fawaa-idul Majmu’ah fil Ahaaditsil Maudhu’ah, hal. 381)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun berpuasa khusus pada bulan Rajab, maka hal itu berdasar pada hadits yang seluruhnya lemah (dha’if) bahkan palsu (maudhu’). Para ulama tidak pernah menjadikan hadits-hadits itu sebagai sandaran. Bahkan hadits-hadits yang menjelaskan keutamaannya adalah maudhu’(palsu) dan dusta.Telah dicontohkan para sahabat bahwa mereka melarang berpuasa pada seluruh hari di bulan Rajab karena dikhawatirkan akan sama dengan puasa Ramadhan. Hal ini pernah dicontohkan oleh ‘Umar bin al-Khaththab. Ketika bulan Rajab, ‘Umar pernah memaksa seseorang untuk makan (tidak berpuasa), lalu beliau katakan,

لَا تُشَبِّهُوهُ بِرَمَضَانَ

“Janganlah engkau menyamakan puasa di bulan ini (bulan Rajab) dengan bulan Ramadhan.” (Riwayat ini dibawakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa, 25/290 dan beliau mengatakannya shahih, dan juga al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil)

Adapun perintah Nabi untuk berpuasa di bulan-bulan haram yaitu bulan Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, maka ini adalah perintah untuk berpuasa pada empat bulan tersebut dan beliau tidak mengkhususkan untuk berpuasa pada bulan Rajab saja.” (Majmu’ al-Fatawa, 25/291)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany berkata di kitabnya, Tabyiinul ‘Ajab bi ma Warada fii Fadhli Rajab, “Tidak ada riwayat yang sah yang menerangkan keutamaan bulan Rajab dan tidak pula tentang puasa khusus di bulan Rajab, serta tidak ada pula hadits yang shahih yang dapat dipegang sebagai hujjah tentang shalat malam khusus di bulan Rajab.”

Imam Ahmad mengatakan, “Sebaiknya seseorang tidak berpuasa (pada bulan Rajab) satu atau dua hari.” Imam Asy Syafi’i berkata, “Aku tidak suka jika ada orang yang menyempurnakan puasa sebulan penuh sebagaimana puasa di bulan Ramadhan.” Beliau berdalil dengan hadits ‘Aisyah yang tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh pada bulan-bulan lainnya sebagaimana beliau menyempurnakan puasa sebulan penuh pada bulan Ramadhan. (Latha-if al-Ma’arif , 215)

Kesimpulannya, berpuasa di bulan Rajab itu terlarang jika memenuhi tiga hal berikut ini,
1. Dikhususkan berpuasa penuh pada bulan tersebut, tidak seperti bulan yang lain sehingga orang-orang awam menganggapnya sama dengan puasa Ramadhan.

2. Dianggap bahwa puasa di bulan tersebut adalah puasa yang dikhususkan oleh Nabi sebagaimana sunnah rawatib.

3. Dianggap memiliki keutamaan pahala yang lebih dari puasa di bulan-bulan lainnya.

Adapun berpuasa yang tidak terkait tiga hal tersebut semisal, puasa sunnah Senin-Kamis, puasa Dawud, dll, maka tidak mengapa dilakukan.

5. Perayaan Isra’ Mi’raj
Saudaraku... sebelum kita menilai apakah merayakan Isra’ Mi’raj ada tuntunan dalam agama ini ataukah tidak, perlu kita tinjau terlebih dahulu mengenai kapan terjadinya. Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan terjadinya Isra’ Mi’raj. Ada yang mengatakan pada bulan Rajab. Ada pula yang mengatakan pada bulan Ramadhan.

Abu Syammah seorang ulama asy- Syafi’iyah berkata, “Sebagian orang menceritakan bahwa Isra’ Mi’raj terjadi di bulan Rajab. Namun para pakar Jarh wa Ta’dil (ulama hadits) menyatakan klaim tersebut adalah suatu kedustaan.” (al-Bida’ al-Hawliyah, Abdullah bin Abdul Aziz bin Ahmad at-Tuwaijiri, 274)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan terjadinya Isra’ Mi’raj pada bulan tertentu, 10 hari tertentu atau ditegaskan pada tanggal tertentu. Bahkan sebenarnya para ulama berselisih pendapat tentangnya, tidak ada yang bisa menegaskan waktu pastinya.” (Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim al-Jauziyah,1/54)

Dalam Fathul Bari Kitab Manaqib Bab al-Mi’raj; al-Hafidzh Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Dan sungguh telah berselisih para ulama di dalam menentukan waktu Mi’raj. Ada yang mengatakan sebelum kenabian, pendapat ini ganjil kecuali kalau dianggap terjadi di dalam mimpi. Dan kebanyakan ulama yang lain berpendapat setelah kenabian. Pendapat ini pun terjadi perselisihan, ada yang mengatakan satu tahun sebelum hijrah. Demikian pendapat Ibnu Sa’ad dan yang lainnya, pendapat ini dikuatkan oleh an-Nawawi; …Sesungguhnya terdapat perselisihan yang banyak lebih dari 10 pendapat…”

Jika penetapan hari dan bulan terjadinya Isra’ Mi’raj saja tidak pasti dan diperselisihkan para ulama, maka bagaimanakah kita akan merayakannya?

Karena jika seandainya Isra’ Mi’raj adalah perkara yang penting untuk dirayakan, maka pasti akan ditegaskan oleh Nabi dalam hadits-hadits beliau, sebagai bagian dari kesempurnaan Islam dan semangat beliau dalam menunjukkan kebaikan kepada ummatnya. Juga pasti akan dinukil dari para sahabat tentang penetapan hari terjadinya sebagai sikap amanah me- reka dalam menyampaikan ilmu.

Cukuplah hal ini menjadi bukti nyata yang menunjukkan bahwa Nabi, para sahabat dan para ulama setelah mereka, tidaklah menaruh perhatian besar dalam masalah hari dan perayaan Isra’ Mi’raj. Sedangkan mereka adalah contoh, panutan dan teladan terbaik bagi kita semua di dalam perkara-perkara syariat. Allahu a’lam bish shawab

Semoga Allah memberikan perlindungan kepada kita sehingga kita terjauhkan dari mengamalkan amalan-amalan yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.  (Ustadz Amar Abdullah)

[Sumber: Disarikan dari berbagai sumber]