A. Adab Undangan Pertamuan.

  • Hendaknya untuk pertamuan ini, ia mengundang orang-orang yang bertakwa, bukan orang-orang yang fasik dan suka berbuat maksiat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jangan kamu bersahabat kecuali dengan orang yang beriman, dan janganlah memakan makananmu kecuali orang yang bertakwa.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan al-Hakim, dengan sanad shahih)

  • Janganlah ia mengundang orang-orang kaya secara khusus dengan mengabaikan orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seburuk-buruk makanan adalah makanan (jamuan) pesta pernikahan, yang diundang hanya orang-orang kaya dengan mengabaikan orang-orang fakir.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

  • Janganlah ia berniat/ bermaksud dari pertamuannya tersebut untuk bermewah-mewahan dan berbangga-bangga, akan tetapi semata-mata untuk mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para nabi sebelumnya, seperti Nabi Ibrahim yang dijuluki dengan “Abu adh-Dhifan” (orang yang suka mengundang tamu), dan juga berniat untuk membahagiakan orang-orang mukmin dan menebar rasa gembira dan senang di hati saudara-saudara seiman.

  • Janganlah ia mengundang orang-orang yang sudah diketahui sulit hadir atau orang-orang yang merasa terganggu dengan saudara-saudara yang hadir lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari perbuatan menyakiti orang mukmin yang jelas-jelas diharamkan.

B. Adab Memenuhi Undangan.

  • Hendaklah seorang Muslim memenuhi undangan, tidak melalaikannya kecuali ada udzur (alasan syar’i), seperti karena khawatir (jika hadir) terdapat bahaya yang mengancam keselamatan agama atau fisiknya. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa diundang hendaklah ia memenuhinya.” (HR. Muslim). Dan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang lainnya, “Kalau sekiranya aku diundang untuk makan tulang betis kambing, niscaya aku akan memenuhinya, dan sekiranya dihadiahkan kepadaku lengan kambing, niscaya aku terima.” (HR. al-Bukhari).

  • Hendaknya ia tidak membeda-bedakan dalam memenuhi undangan tersebut antara si miskin dan si kaya. Karena ketika ia tidak memenuhi undangan si miskin, tentu ini akan membuatnya kecewa, di samping hal tersebut termasuk bagian dari sikap sombong. Padahal sombong itu merupakan sifat yang sangat tercela dan dibenci. Di antara riwayat tentang memenuhi undangan orang-orang miskin adalah bahwasannya al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhu pernah berjalan melewati orang-orang miskin, sedangkan saat itu mereka menggelar makanan di atas tanah dan mereka pun memakannya. Maka mereka berkata kepada al-Hasan, “Mari makan siang bersama kami wahai anak putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” Lalu ia pun menjawab, “Ya, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.” Ia pun turun dari baghalnya (peranakan kuda dengan keledai) kemudian makan bersama mereka.

  • Hendaklah ia tidak membeda-bedakan dalam memenuhi undangan tersebut antara yang jauh dengan yang dekat jaraknya. Dan jika ia mendapatkan dua undangan (pada hari dan waktu yang sama, pent.), maka hendaklah ia memenuhi undangan yang pertama dan meminta maaf kepada pengundang yang belakangan.

  • Hendaknya ia jangan terlambat (dalam memenuhi undangan) karena alasan berpuasa, tetapi hendaklah segera hadir. Dan jika pengundang tersebut merasa senang jika ia makan jamuannya, maka hendaklah ia berbuka. Sebab membahagiakan hati seorang mukmin bagian dari ibadah/ taqarrub kepada Allah Ta’ala. Dan jika tidak, maka hendakah ia mendoakan kebaikan baginya (si pengundang/ tuan rumah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian diundang, maka hendaklah ia memenuhinya. Jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia mendoakannya, dan jika tidak berpuasa, maka hendaklah ia makan.” (HR. Muslim). Dan sebagaimana sabda beliau yang lain, “Saudaramu telah bersusah payah untukmu, lalu apakah kamu rela mengatakan, “Sesungguhnya aku sedang berpuasa.”

  • Hendaklah ia ketika memenuhi undangan tersebut berniat untuk memuliakan/ menghormati saudaranya yang muslim agar ia mendapatkan pahala atasnya. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya seseorang itu akan mendapat (pahala atau tidak) sesuai dengan niatnya.” (HR. al-Bukhari). Dengan niat yang baik, perbuatan yang mubah dapat berubah menjadi suatu ibadah yang berpahala.

C. Adab Menghadiri Undangan.

  • Hendaklah seorang tamu (yang diundang) tidak membuat si pengundang menunggu lama sehingga membuatnya menjadi cemas dan gelisah. Dan tidak pula ia tergesa-gesa untuk hadir, sehingga dapat membuat mereka kaget/ terkejut karena belum siap. Dan hal itu tentu dapat mengganggu mereka.

  • Apabila ia masuk (ke suatu majlis), maka janganlah ia duduk di bagian muka majlis, akan tetapi hendaknya ia bersikap tawadhu’ (rendah hati). Dan apabila tuan rumah mempersilahkannya duduk di suatu tempat, maka hendaklah ia duduk di tempat tersebut dan jangan meninggalkannya.

  • Hendaknya tuan rumah segera menghidangkan makanan untuk tamunya, karena hal tersebut merupakan penghormatan baginya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan kita untuk senantiasa menghormati tamu, sebagaimana sabdanya, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir (Kiamat), maka hendaklah ia menghormati tamunya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

  • Hendaklah tuan rumah tidak segera mengangkat makanan sebelum para tamunya benar-benar telah mengangkat tangan dari makanan tersebut (tidak mengambilnya lagi), dan sampai mereka benar-benar selesai makan.

  • Hendaknya tuan rumah menghidangkan makanan untuk tamunya secukupnya, karena jika makanan yang dihidangkan sedikit (tidak mencukupi) ini akan menodai/ mengurangi wibawanya. Dan jika berlebih-lebihan, adalah sikap kepura-puraan dan terdapat unsur pamernya. Dan keduanya merupakan sikap/ perbuatan yang tercela.

  • Apabila seorang menginap di rumah seseorang sebagai tamu, maka hendaklah jangan lebih dari tiga hari, kecuali jika tuan rumahnya memaksanya untuk tinggal lebih dari itu. Dan apabila ia hendak pulang, hendaklah ia meminta izin (pamit) kepadanya.

  • Hendaklah tuan rumah mengantarkan tamunya sampai keluar dari rumah, sebagaimana perbuatan para as-Salaf ash-Shalih. Dan karena hal itu termasuk bentuk penghormatan terhadap tamu yang jelas disyari’atkan.

  • Hendaknya seorang tamu pulang dengan lega/ hati yang tenang. Meskipun ada haknya yang terlalaikan/ tak terpenuhi, karena yang demikian itu di antara ciri akhlak yang baik, yang dengannya seseorang dapat mencapai derajat orang yang berpuasa dan selalu shalat malam.

  • Hendaknya seorang Muslim memiliki tiga ruang tidur. Yang satu untuk dirinya, yang kedua untuk keluarganya, dan yang ketiga untuk tamu. Lebih dari itu dilarang sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Satu tempat tidur untuk suami, satu tempat tidur untuk istri, dan satu lagi untuk tamu, sedangkan yang keempat adalah untuk syetan.” (HR. Muslim).