Tanya :

Bagaimanakah hukum menyelenggarakan perayaan, seperti perayaan hari ibu umpamanya?

Jawab :

Setiap perayaan yang bertentangan dengan syari’at, semuanya adalah perayaan bid’ah yang bersifat baru, yang tidak dikenal pada masa orang-orang salaf yang shalih. Boleh jadi sumbernya dari orang-orang yang non-Muslim. Maka disamping keberadaannya sebagai bid’ah, perayaan itu juga merupakan penyerupaan dengan musuh-musuh Allah. Perayaan menurut syari’at yang sudah dikenal adalah Idul-Fithr dan ‘Idul-Adhha serta ‘Idul-Usbu’, yakni hari jum’at. Dalam Islam tidak ada perayaan lain selain tiga ‘id ini. Setiap perayaan yang diselenggarakan selain tiga ‘id itu adalah tertolak dan batil menurut syari’at Allah, yang didasarkan kepada perkataan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: “Barang siapa menciptakan sesuatu yang baru dalam urusan kami ini yang tidak termasuk bagian darinya, maka ia tertolak.” (HR.Bukhari dan Abu Dawud) Maksud tertolak disini adalah tidak diterima disisi Allah. Dalam lafadz lain disebutkan: “Barang siapa melakukan amal yang padanya tidak ada urusan/contoh kami, maka ia adalah tertolak.” (HR.Bukhari) Kalau begitu keadaannya, berarti perayaan seperti yang disebutkan dalam pertanyaan tidak boleh. Apa yang dinamakan hari ibu, adalah tidak boleh. Apabila yang disertai ciri-ciri perayaan , seperti bergembira ria, memberikan hadiah dan lain-lainnya. Yang wajib orang muslim ialah membanggakan agamanya dan membatasi diri pada apa yang telah ditetapkan Allah dan RasulNya dalam agama yang lurus ini, yang telah diridhai Allah bagi hamba-hambaNya, tidak perlu ditambah dan dikurangi. Tidak seharusnya bagi seorang muslim untuk ikut-ikutan mengekor dibelakang setiap orang yang berceloteh. Dia harus membentuk karakter sesuai syari’at Allah, sehingga dia menjadi orang yang diikuti dan bukan orang yang mengikuti., menjadi panutan dan bukan orang yang mengekor. Sebab syari’at Allah sudah komplit dari segala sisinya sebagaimana firmanNya : “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al-Maidah:3) Sumber : Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatisy- Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.