Ulil Amri

Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersikap tengah di antara dua kelompok dalam masalah ini:

Kelompok yang menentang pemimpin, mengajak memberontak dan melawannya hanya karena pemimpin tersebut melakukan kezhaliman, dalam sejarah Islam kelompok ini diwakili oleh Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa dan Mu’tazilah yang membolehkan melawan pemimpin di balik kedok amar ma’ruf nahi mungkar.

Kelompok kedua adalah kelompok yang berseberangan dengan kelompok pertama, mendukung segala kebijakan pemimpin tanpa memilah mana yang benar dan mana yang salah, memberikan segala loyalitas dan menutup mata dari kesalahannya, sehingga melupakan atau melalaikan kewajiban nasihat amar ma’ruf dan nahi mungkar.

Sementara Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengambil sikap tengah, mereka meyakini bahwa pemimpin memiliki hak atas rakyat untuk ditaati, dan bahwa menaati pemimpin adalah bagian dari ketaatan kepada Allah dan RasulNya.

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri di antaramu.” (An-Nisa`: 59).

Dengarkan dan taatilah pemimpin sekalipun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil, tetaplah dengarkan dan taatilah.” Diriwayatkan oleh Muslim.

Namun ketaatan kepada pemimpin ini hanya sebatas ketaatan dalam kebaikan dan tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan kepada Allah dan RasulNya.

”Seorang muslim harus mendengar dan menaati dalam suka maupun benci, kecuali bila dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak mendengar dan tidak menaati.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah mendoakan para pemimpin semoga Allah membimbingnya kepada kebaikan, karena pemimpin yang baik membawa kebaikan kepada masyarakat.

Abu al-Hasan Ali bin Khalaf al-Barbahari dalam Syarhus Sunnah berkata, “Bila kamu melihat seseorang mendoakan pemimpin dengan doa tidak baik, maka ketahuilah bahwa ia adalah pengusung hawa nafsu. Bila kamu melihat seseorang mendoakan kebaikan bagi pemimpin, maka ketahuilah bahwa ia adalah pengikut sunnah, insya Allah.”

Al-Fudhail bin Iyadh berkata, “Kalau aku memiliki doa mustajab niscaya aku memberikannya kepada pemimpin.” Seseorang bertanya, “Wahai Abu Ali, jelaskan.” Dia menjawab, “Bila doa itu untuk diriku maka ia hanya untuk diriku, namun bila aku memberikannya kepada pemimpin maka ia menjadi baik dan dengan kebaikannya negara dan masyarakat menjadi baik.”

Dari Aqidah al-Muslim, Dr Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani.