Jawaban Atas Syubhat Pertama

Tidak mungkin memposisikan para aparat keamanan sebagai penyamun dalam kondisi ini. Hal ini berdasarkan beberapa alasan, di antaranya yang paling penting:

  • 1. Para aparat keamanan tersebut tidak menyengaja untuk membunuh orang yang akan ditangkap, sedangkan penyamun memang ingin membunuh orang yang akan dirampok, karena itu, boleh si korban penyamunan membela dirinya sehingga si penyamun itu tidak berhasil membunuhnya menurut sebagian ulama. Sementara sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa si korban penyamunan tidak wajib membela dirinya sekalipun si penyamun membunuhnya. Mengenai hal ini, Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah –ketika berbicara tentang apa yang diinginkan si penyamun terhadap korbannya, yaitu bisa jadi menginginkan harta, kehormatan ataupun membunuh dan terhadap hal terakhir ini (keinginan untuk membunuh)–, beliau berkata, “Adapun bila tujuannya adalah untuk membunuh, maka ia (si korban) boleh membela dirinya. Apakah hal ini wajib baginya? Terdapat dua pendapat ulama di dalam madzhab Ahmad dan madzhab ulama selainnya.”( Majmû’ al-Fatâwa, Jld.XXVIII, h.318)

  • 2. Bahwa para aparat keamanan tersebut diutus oleh Waliyul Amri untuk menangkap orang yang harus ditangkap. Oleh karena itu, orang yang harus ditangkap tersebut wajib taat terhadap perintah Waliyul Amri sebagai ketaatan terhadap Allah dan RasulNya di mana Allah berfirman, “Taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (an-Nisâ`: 59).

    Dan berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

    عَلَيْكَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فيِ عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ

    “Hendaklah kamu mendengar dan taat (loyal) baik di dalam masa sulitmu, masa mudah, masa bersemangat (fit), masa tidak suka (kurang bergairah) ataupun dalam mengalahkan ego kamu.”( Muslim: 1836)

    Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama berkata, ‘Artinya, wajib menaati para Waliyul Amri terhadap hal yang amat sulit dan dibenci jiwa sekalipun, selama bukan dalam berbuat maksiat… Dan hadits-hadits ini menganjurkan agar loyal dalam seluruh kondisi. Alasannya adalah agar terjadi persatuan di kalangan kaum Muslimin sebab perselisihan dapat menyebabkan rusaknya kondisi mereka baik dalam urusan agama maupun dunia mereka’.”( Syarh an-Nawawi ‘Ala Shahîh Muslim, Jld.VI, h.468)

    Sementara, tidak terdapat kemaksiatan dalam bentuk ketaatan pada kondisi ini sebab ketaatan hanya berlaku pada hal yang ma’ruf dan tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam berbuat maksiat kepada sang Khaliq. Dan tidak ada kemaksiatan di dalam tindakan aparat mencari seseorang untuk diinterogasi sebab ia tidak diperintahkan agar berbuat maksiat kepada Allah.

  • 3. Penilaian terhadap para aparat keamanan yang ingin menangkap seseorang yang dicari untuk diinterogasi (menurut orang yang berpendapat demikian) terombang-ambing antara (penilaian) bahwa tindakan menyamun yang mereka lakukan (para aparat) memang terbukti kuat menurut mereka dan (antara) tidak mungkin menilai aparat tersebut sebagai para penyamun menurut pendapat kebanyakan para ulama. Karena itu, andaikata ada yang mengatakan bahwa perkara ini merupakan hal yang masih samar, maka tentu harus dikatakan kepada mereka; apakah mungkin seorang Muslim dibunuh karena hal yang masih samar? Dan pendapat semacam ini tidak pernah dikatakan oleh siapa pun yang berakal sehat sebab hukum asalnya adalah Barâ`ah adz-Dzimmah (jiwa terbebas dari tanggungan apa pun) sebagaimana hal ini telah menjadi ketetapan para ulama.( Lihat, ar-Risâlah karya Imam asy-Syafi’i) Padahal Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,

    لاَ يَزَالُ اْلمُؤْمِنُ مُعْنِقًا صَالِحًا مَا لَمْ يُصِبْ دَمًا حَرَامًا

    “Seorang Mukmin masih menjadi mu’niq (yang bersegera berbuat ketaatan) yang shalih selama belum menumpahkan darah haram.”( HR. Abu Daud: 4270)

    Dalam sabdanya yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ فيِ الدِّمَاءِ

    “Hal pertama yang diperkarakan di antara sesama manusia pada hari Kiamat adalah dalam masalah darah.”( HR. al-Bukhari: 6533 dan Muslim: 1678)

    Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan diperkerasnya urusan darah dan bahwa ia adalah hal pertama yang diperkarakan di antara sesama manusia pada hari Kiamat. Demikian ini karena masalahnya begitu serius dan banyak bahayanya.”( Syarh an-Nawawi, Op.Cit., h.229)

    Ibn Hajar rahimahullah berkata, “Hadits tersebut menunjukkan betapa seriusnya masalah darah, sebab bada’ah (sesuatu dijadikan sebagai hal pertama) hanya berdasarkan pada hal yang paling penting, sedangkan dosa diperbesar sesuai dengan besarnya kerusakan, hilangnya kemashlahatan dan puncaknya adalah dilenyapkannya sendi-sendi kemanusiaan.”( Fath al-Bâry karya Ibn Hajar, Jld.XI, h.482)

  • 4. Dien al-Islam berlepas diri dari pembunuhan kaum Muslimin, tanpa dosa yang mereka lakukan. Mengenai hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskannya pada saat haji Wada’ dengan sejelas-jelasnya ketika bersabda,

    إِنَّ دِمَاءَ كُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هذَا فيِ شَهْرِكُمْ هذَا فيِ بَلَدِكُمْ هذَا

    “Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kamu adalah haram atas kamu seperti haramnya hari kamu ini, dalam bulan kamu ini, di negeri kamu ini.”( HR. al-Bukhari: 67 dan Muslim: 1679)

    Beliau hanya mengecualikan pelaku zina yang sudah beristeri (muhshan) dan pembunuh bila belum dimaafkan para wali korbannya serta orang yang murtad dari agamanya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

    لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنِّي رَسُوْلُ اللهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ الثَّيِّبُ الزَّانيِ وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِيْنِهِ اْلمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

    “Tidak halal darah seorang Muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan –yang berhak disembah– selain Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah kecuali karena salah satu dari tiga hal: pelaku zina yang sudah beristeri, melayangkan nyawa (membunuh) dan orang yang meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari jama’ah.”( HR. al-Bukhari: 6878 dan Muslim: 1676)

    Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Dan ketahuilah bahwa hadits ini bersifat umum namun dikhususkan darinya penyamun dan semisalnya di mana boleh membunuhnya bila untuk membela diri.”( Syarh an-Nawawi, Op.Cit., h.228)

    Jadi, hanya Waliyyul Amri (penguasa) kaum Muslimin saja, bukan orang selainnya yang boleh memberikan sanksi bagi orang yang melakukan pelanggaran-pelanggaran ini sedangkan terhadap penyamun, para ulama memberikan beberapa persyaratan, di antaranya yang paling penting ( Musqithât al-‘Uqûbah al-Haddiyyah karya Muhammad Muhammad Ibrahim, h.162; lihat juga, al-Asybâh Wa an-Nazhâ`ir karya as-Suyûthi, h.87 ) adalah:

    • a) Memang ia seorang penyamun, bukan hanya sekedar dugaan saja, sebab bila setiap orang yang membunuh orang lain diklaim sebagai penyamun, merasa atau memprediksi ia akan menyamunnya, maka tentu banyak sekali darah kaum Muslimin dan non Muslim yang tertumpahkan padahal Islam tidak pernah membawa ajaran seperti ini. Oleh karena itulah, sebagian ulama mengatakan bahwa disyaratkan penyamun tersebut memang mengancam akan melakukan sesuatu yang berbahaya lagi tidak disyariatkan serta bahaya ini terjadi ketika itu juga atau hampir terjadi.

    • b) Melawannya dengan segala yang dimungkinkan tanpa harus membunuh. Dan ini diungkapkan oleh para ulama dengan ucapan mereka, “Hendaknya pembelaan diri tersebut sesuai dengan tingkat penganiayaan.”

    • c) Penyamun tersebut memang berkeinginan untuk membunuh korbannya atau menginginkan harta atau kehormatannya.

    • d) Penyamun tersebut sendiri yang menginginkan pembunuhan, kehormatan atau harta. Sedangkan bila ada seorang utusan dari Waliyyul Amri untuk menangkap seseorang atau beberapa orang, maka tidak mungkin menganggapnya sebagai penyamun.

  • 5. Bahwa mengangkat senjata terhadap kaum Muslimin merupakan hal yang diharamkan. Bila ada seseorang mengangkat senjata terhadap kaum Muslimin, maka ia berdosa walaupun tidak ada seorang pun yang dibunuh atau disakiti dengan senjata tersebut. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

    مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلاَحَ فَلَيْسَ مِنَّا

    “Barangsiapa yang mengangkat senjata terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami.”( HR. al-Bukhari: 7071 dan Muslim: 163)

    Ibn al-Mulaqqin rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan keharaman memerangi kaum Muslimin dan diperkerasnya masalah tersebut. Demikian juga haram mengangkat senjata tanpa adanya kemashlahatan menurut syariat. Allah Ta’ala telah melarang pedang di-biarkan terhunus dan memerintahkan agar menahan dari menarik busur, melarang mengacungkan dengan besi dan semisalnya. Hal ini semua karena khawatir setan mencabut senjata itu dari tangannya untuk ditujukan kepada saudaranya sesama Muslim. Dan semua itu merupakan bukti kehormatan seorang Muslim dan tidak mencari-cari faktor-faktor yang dapat menyebabkan ia disakiti karena begitu terhormatnya ia di sisinya (sesama Muslim) dan juga guna memperkenalkan kedudukannya.( Al-I’lâm karya Ibn al-Mulaqqin, Jld.X, h. 378)

  • 6. Sebagaimana yang dimaklumi bahwa orang-orang yang melakukan pembunuhan terhadap para aparat keamanan telah melakukan pembunuhan terhadap jiwa mereka sendiri –lâ haula wa lâ quwwata illa billâh-; apakah orang yang membunuh dirinya sendiri dapat dikatakan membela diri terhadap penyamun? Sebab orang yang membunuh dirinya dengan meledakkannya itu sendiri adalah orang yang membawa kematian bagi dirinya dan bukan membela dirinya. Nah, bagaimana mungkin dapat dikatakan ini sama dengan membela diri dari penyamun?