3. Perjanjian Pemesanan dan Hukum-Hukumnya

Definisi istishna’ (pemesanan)
Istishna’ atau pemesanan secara bahasa artinya: meminta dibuatkan. Menurut terminologi ilmu fiqih artinya: Perjanjian terhadap barang jualan yang berada dalam kepemilikan penjual dengan syarat dibuatkan oleh penjual, atau meminta dibuatkan dengan cara khusus sementara bahan bakunya dari pihak penjual.

Contohnya seseorang pergi ke salah seorang tukang, misalnya tukang kayu, tukang besi, atau tukang jahit. Lalu ia mengatakan: “Tolong buatkan untuk saya barang anu dengan jumlah sekian.” Syarat sahnya perjanjian pemesanan ini adalah bahwa bahan baku harus berasal dari si tukang. Kalau berasal dari pihak pemesan atau pihak lain, tidak disebut pemesanan, tetapi menyewa tukang.

Hukum Pemesanan
Pemesanan barang menurur mayoritas ulama termasuk salah satu aplikasi jual beli as-Salm. Sehingga berlaku baginya seluruh syarat-syarat jual beli as-Salm yang telah disinggung sebe-lumnya. Kemungkinan yang terpenting dan terkuat di antaranya adalah harus didahulukan pembayaran, mengetahui barang yang akan diserahterimakan nanti baik jenis, ukuran maupun waktu penyerahannya.

Menurut kalangan Hanafiyah pemesanan adalah perjanjian tersendiri yang memiliki hukum-hukum tersendiri pula. Mereka berbeda pendapat, apakah bentuk ini merupakan perjanjian atau transaksi biasa. Yang benar menurut mereka bahwa pemesanan adalah perjanjian di mana pembelinya memiliki hak pilih, bukan semacam perjanjian (yang harus ditepati).

Sandaran kalangan Hanafiyah tentang disyariatkannya pe-mesanan barang itu adalah berdasarkan konsep istihsan. Istihsan menurut mereka adalah beralihnya seorang mujtahid dari satu hukum dalam satu perkara yang status hukumnya sama dengan perkara sejenis karena alasan yang lebih kuat yang mengharuskan ia meninggalkan pendapat pertama.

Sedangkan konsekuensi kiyas pada perjanjian ini menetapkan tidak dibolehkannya sistem pemesanan karena sama dengan menjual barang yang tidak/belum ada, namun tidak mengikuti cara jual beli as-Salm. Padahal Nabi telah malarang menjual sesuatu yang tidak dimiliki, namun jual beli as-Salm masuk dalam pengecualian. Namun perjanjian ini pada akhirnya dibolehkan karena terbiasanya umat manusia melakukan jual beli itu tanpa ada ulama yang menyalahkannya di berbagai tempat dan di segala masa, karena umat amat membutuhkannya. Karena ter-kadang seseorang membutuhnya barang dengan kriteria dan bentuk special, baik itu perhiasan, sepatu, perkakas rumah tangga dan sejenisnya. Jarang sekali secara kebetulan kriteria tersebut sudah diproduksi, sehingga membutuhkan pemesanan, sehingga adanya kebutuhan itu menyebabkan cara ini dibolehkan.

Kalangan Hanafiyah menetapkan syarat dibolehkannya peme-sanan itu beberapa persyaratan khusus berikut, selain persyaratan jual beli secara umum:

  • Penjelasan tentang jenis pesanan, macam, ukuran dan kriterianya.
  • Barang pesanan harus merupakan barang yang menurut kebiasaan sudah biasa dipesan, seperti memesan bejana, sepatu, senjata dan sejenisnya. Karena dikecualikannya pemesanan ini dari menjual barang yang tidak ada adalah karena keterbiasaan masyarakat melakukan pemesanan tersebut. Selama masyarakat tidak terbiasa melakukan pemesanan barang tertentu, hukumnya kembali kepada asalnya, yakni dilarang. Karena kebiasaan masya-rakat menjadi dalil dan hujjah akan kebutuhan.
  • Tidak boleh ada penanggalan waktu. Kalau pemesanan itu dengan penanggalan waktu, menjadi jual beli as-Salm menurut Abu Hanifah, sehingga harus memenuhi persyaratan jual beli tersebut, seperti pembayaran dimuka, tidak adanya hak pilih bagi masing-masing pihak, kalau penjual telah menyerahkan barang pesanan sesuai dengan kriterianya. Dan menurut Abu Yusuf dan Muhammad persyaratan ini tidak diberlakukan, pokoknya hanya pemesanan saja.

Kriteria Pemesanan
Pemesanan menurut mayoritas hukumnya adalah seperti jual beli as-Salm, dilihat dari syarat-syarat atau komitmen dari perjanjian:

Adapun menurut kalangan Hanafiyah, penulis ringkaskan sikap mereka dalam persoalan ini sebagai berikut:
1. Pemesanan adalah perjanjian non permanent sebelum kepentingan kedua belah pihak terlaksana, tanpa perlu diperseli-sihkan. Jadi masing-masing di antara kedua belah pihak mem-punyai hak pilih untuk membatalkan perjanjian sebelum itu.
2. Kalaupun si tukang telah selesai mengerjakan barang pesanan, ia tetap memiliki hak pilih sebelum hasil buatannya itu dilihat oleh pemesan. Bahkan ia boleh menjualnya kepada siapa saja yang dia kehendaki.
3. Namun kalau si tukang telah berhasil membuatkan pe-sanan sesuai dengan kriteria yang diminta lalu si pemesan melihatnya, si pembuat sudah tidak memiliki pilihan lain. Hak pilih tinggal dimiliki oleh si pemesan. Kalau ia mau ia bisa mem-belinya, dan kalau tidak, ia bisa membatalkannya. Demikian pen-dapat Abu Hanifah dan Muhammad. Karena kedudukannya seperti menjual barang yang tidak tampak. Menurut Abu Yusuf dalam pemesanan sama sekali tidak ada hak pilih. Karena pemesanan itu adalah menjual barang yang tidak hadir namun dalam kepemilikan, seperti jual beli as-Salm.

KESIMPULAN
Kalau kita mengambil pendapat mayoritas ulama, dalam pemesanan itu harus diterapkan semua syarat-syarat jual beli as-Salm. Hal itu tentu saya memberatkan, karena syarat- syarat jual beli as-Salm, harus memberi bayaran dimuka pada waktu tran-saksi. Sementara dalam realitas pemesanan hal itu jarang sekali dilakukan dalam kehidupan modern sekarang ini.

Kalau kita mengambil pendapat kalangan Hanafiyah, kita melihat pemesanan ini sebagai perjanjian non permanent, sebelum pemesan melihat barang pesanannya. Namun pendapat ini juga tidak menghilangkan kesulitan dan tidak menyelesaikan masalah dalam praktik yang kita lakukan di kehidupan modern terhadap transaksi ini. Terutama terhadap pemesanan yang mencapai jum-lah milyaran bahkan kadang-kadang triliyunan rupiah. Karena hak pilih untuk membatalkan atau melanjutkan perjanjian tetap dimiliki oleh pembuat meskipun ia sudah menyelesaikan pem-buatan barang pesanan tersebut, selama pemesan belum me-lihatnya. Dalam hal ini, yang terkena batunya adalah pemesan yang telah mengorbankan waktu dan mengatur segala urusannya berdasarkan harapan akan mendapatkan barang pesanannya pada waktunya, tetapi ternyata secara tiba-tiba muncul keputusan dari si tukang bahwa ia tidak jadi menjual barang itu kepadanya, dengan alasan bahwa ada pembeli lain yang siap membayar de-ngan harga lebih mahal. Sementara bagi pihak si tukang, bila mengikuti pendapat Hanafiyah, maka tidak lepas dari unsur penipuan. Karena ia telah menjanjikan barang dengan kriteria ter-tentu, bukan sekedar pulasan bibir saja, namun secara tiba-tiba pemesannya memutuskan untuk membatalkan pembelian. Ia ten-tunya akan terpukul dengan keputusan tersebut karena kerugian yang ia derita. Kemungkinan karena kesulitan aplikasi inilah makanya Majalah al-Ahkam al-Adliyah memutuskan -yakni dalam fiqih Hanafiyah- menganggap perjanjian ini tidak permanent dari awalnya. Padahal pendapat itu bertentangan dengan ijma’ madzhab Hanafiyah sendiri, apalagi madzhab-madzhab lainnya.

Oleh sebab itu Doktor Salus berpendapat bahwa hubungan transaksi tersebut termasuk janji, bukan jual beli. Oleh sebab itu, yang diterapkan di sini adalah hukum-hukum janji. Demikian juga kesimpulan Majelis Ulama Fiqih berkenaan dengan janji dan hukum menunaikannya dalam jual beli bersistem fixed price bagi yang meminta barang. Yakni bahwa janji itu menjadi kewajiban pihak yang berjanji menurut ajaran agama, kecuali bagi yang berudzur. Demikian juga pembatalan yang dikaitkan dengan satu sebab, lalu orang berjanji bisa terjerumus dalam kesulitan atau kesusahan bila menepati janjinya tersebut.

Namun pendapat itu meskipun cemerlang, tetap tidak me-nyelesaikan masalah yang selalu muncul dalam kancah praktis, terutama dalam dunia perniagaan yang padat dan bermodal be-sar. Sehingga tidak bisa lagi diberikan hak pilih pembatalan perjanjian bagi masing-masing pihak seperti disebut dalam kasus ini. Oleh sebab itu, Majelis Ulama Fiqih yang terikut dalam pelak-sanaan Mukmatar Islam telah menganggap pemesanan ini sebagai perjanjian permanen apabila memenuhi syarat-syarat dan rukun-nya. Kemudian tidak ada syarat pembayaran di muka, bahkan boleh ditangguhkan pembayarannya seluruhnya atau secara kredit yakni dibayar beberapa kali pada waktu-waktu tertentu. Berarti majelis ini juga menganggap bahwa perjanjian ini adalah bentuk perjanjian tersendiri, bukan termasuk aplikasi perjanjian jual beli as-Salmyang disyaratkan harus ada pembayaran dimuka. Berikut ini teks keputusan mereka:
1. Sesungguhnya transaksi pemesanan adalah perjanjian yang berlaku terhadap usaha dan substansi objek transaksi yang berada dalam kepemilikan, permanent bagi kedua belah pihak bila me-menuhi beberapa rukun dan syaratnya.
2. Berkaitan dengan transaksi pemesanan, disyaratkan se-bagai berikut:

  • Penjelasan jenis, macam, ukuran dan kriteria yang di-minta.
  • Harus dibatasi waktunya.

3. Dalam transaksi pemesanan dibolehkan penangguhan pembayaran seluruhnya atau pembayaran secara kredit dalam beberapa waktu yang ditentukan.
4. Transaksi pemesanan itu boleh memiliki persyaratan khusus sesuai dengan kesepakatan dua pihak transaktor, selama tidak ada kondisi mendesak.

Transaksi pemesanan ini bisa menggantikan berbagai hubungan dagang berbasis riba dalam berbagai bidang pengem-bangan modal Islam.

Pemesanan telah menjadi sarana penting sekali dalam pengembangan dana Islam pada kehidupan modern sekarang ini. Melalui transaksi ini, kaum muslimin bisa banyak memenuhi kebutuhan kehidupan modern yang seringkali menggiring mere-ka melakukan berbagai hubungan perdagangan berbasis riba. Seorang pengelola modal muslim bisa saja membangun kota-kota tinggal dan kota-kota industri sehingga bisa mengeruk keuntungan yang baik pada satu sisi, dan pada sisi lain juga memberikan kemudahan kepada kaum muslimin untuk memperoleh tempat tinggal yang layak, mendirikan rumah industri yang layak dalam bingkai transaksi ini. Pengelola dana muslim akan bisa meng-golongkan bidangnya sebagai pemesan atau sebagai produsen.

Sebagai pemesan, ia bisa bekerjasama dengan para produsen dengan memenuhi kebutuhan mereka terhadap dana cepat atau dana bertahap. Dengan dana itu mereka akan membeli tanah, peralatan industri atau memotong gunung dan lembah. Dengan dana itu mereka bisa mengatasi berbagai kesulitan finansial yang bisa menghalangi proses produksi. Dengan dana itu mereka juga bisa mengatasi kesulitan pemasaran. Karena mereka sudah bisa menjamin adanya pembeli yang akan membeli hasil produksi me-reka. Sementara pengelola modal juga bisa memperoleh hasil produksi dengan harga yang stabil, karena ia telah terlebih dahulu melakukan pemesanan dan telah membayarkan sejumlah uang di muka dan dihitung sebagai bayaran.

Terkadang pengelola modal bisa dilihat sebagai produsen, sehingga melalui transaksi ini ia dapat memasuki dunia industri dan pemborongan yang memiliki jangkauan luas. Semua itu terkadang terjadi dengan sendirinya, terkadang melalui berbagai transaksi lain dari dalam, misalnya dengan cara pemesanan ulang atau yang disebut Pemesanan Berantai.

Banyak alternatif yang menjadi pilihan, bila tekad dalam hati kuat mengadakan perubahan. Namun Allah tidak akan merubah umat manusia, tanpa mereka sendiri mau merubahnya.

4. Sewa Menyewa dan Hukum-Hukumnya

Definisi Ijarah (Menyewakan)
Ijarah atau menyewakan secara bahasa diambil dari kata ajr yang artinya imbalan. Namun dalam terminologi ilmu fiqih arti-nya yaitu: Memindahkan kepemilikan fasilitas dengan imbalan.

Disyariatkannya Sewa Menyewa
Telah terbukti disyariatkannya sewa menyewa menurut Kitabullah, Sunnah, Ijma’ dan logika.

1. Kitabullah
Firman Allah:
Artinya, “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Ya bapakku am-billah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesung-guhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’ Berkatalah dia (Syu’aib), ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu.Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik’.” (Al-Qashash: 26-27).

Indikator pada ayat ini adalah bahwa Nabi Musa telah menyewakan dirinya dalam beberapa waktu untuk mendapatkan makan dan agar dapat memelihara kemaluannya dari yang ha-ram. Itu menunjukkan bahwa transaksi tersebut disyariatkan. Karena syariat umat terdahulu menjadi syariat pula bagi kita selama tidak ada penghapusannya dalam ajaran Islam sekarang.

Sementara firman Allah:
Artinya, “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (Ath-Thalaq: 6).

Ayat tersebut menunjukkan dibolehkannya menyewa pe-nyusuan. Demikian juga selain penyusuan. Karena kalau penye-waan penyusuan itu dibolehkan, padahal jumlah anak susuan berbeda-beda dan jumlah susu pihak wanita yang menyusui juga berbeda-beda, maka penyewaan selain penyusuan lebih diboleh-kan lagi.

2. As-Sunnah:
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Nabi a bersabda:
“Setiap kali Allah mengutus seorang nabi, pasti ia pernah menjadi penggembala kambing.” Para sahabat bertanya, “Apakah engkau juga pernah menggembala?” Beliau menjawab, “Ya. Aku pernah menggembala kambing dengan upah beberapa qirath dari pen-duduk Mekkah.”

Asy-Syaukani menyatakan, “Hadits itu memiliki indikasi terhadap dibolehkannya menyewa orang untuk menggembala kambing. Demikian juga hukum menyewa orang untuk meng-gembala binatang-binatang lainnya.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari hadits Aisyah bahwa Nabi a dan Abu Bakar pernah menyewa seorang lelaki dari Bani ad-Dail sebagai penunjuk jalan yang mahir, yakni ahli dibidang-nya penunjukkan jalan, untuk menunjukkan jalan mereka, yakni ketika mereka sudah diizinkan oleh Allah untuk berhijrah ke Madinah.”

3. Ijma’
Para ulama telah berijma’ di segala jaman dan tempat tentang bolehnya sewa menyewa. Ibnul Mundzir menyatakan, “Di antara ulama yang kami ambil fatwanya, bersepakat membo-lehkan sewa menyewa tersebut.

Macam-macam Penyewaan
Sewa menyewa ada dua:
Pertama: Penyewaan terhadap fasilitas sesuatu. Seperti penyewaan tempat tinggal, tanah garapan atau mobil angkutan.
Kedua: Penyewaan terhadap potensi atau sumber daya manusia. Seperti menyewa seseorang untuk mem-bantu pekerjaan dalam waktu tertentu atau untuk menyelesaikan satu pekerjaan tertentu.

Masing-masing dari dua jenis penyewaan tersebut ada dua bentuk aplikasi:
Aplikasi pertama: Penyewaan substansi objek sewaan, yakni ketika perjanjian itu diberlakukan terhadap pekerjaan seseorang tertentu atau fasilitas dari barang tertentu; seperti menyewa orang untuk melakukan pekerjaan, menyewa rumah tinggal dan seje-nisnya.
Aplikasi kedua: Menyewakan yang berada dalam tanggungan (tenaga). Yakni perjanjian yang dilakukan terhadap satu pekerjaan yang diketahui dan dalam batas kemampuan, atau terhadap fasi-litas tertentu yang telah digambarkan, seperti membangun rumah, pembuatkan kemah tinggal untuk orang-orang yang sedang berumrah atau berhaji dengan berbagai kriteria tertentu, dan sejenisnya.

Rukun-rukun Penyewaan
Sewa menyewa memiliki tiga rukun: (1) Dua transaktor: yakni penyewa dan pemberi sewaan. (2) Objek transaksi: Yakni fasilitas dan uang sewa. (3) Akad: Perjanjian yang menunjukkan akan serah dan terima, baik berupa ucapan atau perbuatan.

Berikut ini ulasan tentang beberapa rukun tersebut dan syarat-syarat yang berkaitan dengannya:
1. Dua Transaktor dan Syarat-syarat yang Berkaitan Dengannya.
Kedua transaktor disyaratkan untuk memiliki kompetensi beraktivitas. Yakni kompetensi yang dihasilkan dengan masa akil balig serta kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk, atau kompetensi optimal. Maka perjanjian ini tidak sah dilakukan orang gila dan anak kecil yang belum mumayyiz berdasarkan kesepakatan ulama, demikian juga dengan orang yang dipaksa menurut pendapat ulama yang benar.

Sementara anak kecil yang sudah nalar (mumayyiz), para ulama fiqih masih berbeda pendapat tentang sah tidaknya transaksi yang dilakukannya. Yang benar, perjanjiannya tetap sah namun tergantung dengan izin dari walinya, sebagaimana diambil oleh kalangan Hanafiyah dan Malikiyah. Itu salah satu dari dua riwayat dari madzhab Hambaliyah. Sebelumnya telah dijelaskan secara rinci ulasan tentang hukum-hukumnya secara umum.

Di antara alasan mereka mensahkan perjanjian anak kecil yang sudah nalar adalah firman Allah:
Artinya, “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (An-Nisa’: 6).

Dalam ayat ini ada indikasi yang menunjukkan diboleh-kannya anak kecil yang belum baligh untuk beraktivitas. Karena tidak mungkin ia bisa melakukan hak pilihnya selain dengan beraktivitas dalam jual beli, sewa menyewa dan lain sebagainya, dengan catatan bahwa segala aktivitasnya itu harus dibawah pantauan walinya.

Bolehkan Seorang Muslim Menjadi Pekerja Kafir?
Para ulama fiqih bersepakat membolehkan seorang mukmin menjadi pekerja seorang kafir dzimmi untuk melakukan berbagai pekerjaan yang boleh dilakukan olehnya, seperti menjahit, mendi-rikan bangunan, membajak sawah dan sejenisnya.

Akan tetapi yang perlu dipertanyakan di sini adalah: Apa hukumnya kalau pekerjaan yang akan dilakukan oleh si muslim tadi adalah pekerjaan yang diharamkan oleh syariat? Jawabannya adalah apabila pekerjaan yang sudah disepakati itu tidak boleh dilakukan oleh seorang muslim seperti memeras anggur untuk dijadikan minuman keras, menggembala babi dan sejenisnya, maka tidak boleh. Penyewaan dirinya juga dianggap batal. Namun kalau ia sudah melakukan pekerjaan tersebut, ia bisa mengambil upahnya dari orang kafir itu dan disedekahkan. Ia tidak boleh mengambil upah itu untuk dirinya sendiri, karena itu adalah hasil usaha yang kotor, berasal dari transaksi yang haram. Tetapi juga jangan dikembalikan kepada si kafir, sehingga memberikan dua keuntungan kepadanya. Ada satu kaidah menunjukkan bahwa uang haram itu tidak harus dikembalikan tetapi juga tidak baik dan tidak halal dimakan.

Kalangan Ahli Fiqih Hambaliyah menetapkan syarat lain dibolehkannya seorang muslim disewa untuk bekerja pada orang kafir, yakni bahwa pekerjaan yang dia lakukan tidak bersifat hina dan rendah bagi si muslim. Kalau pekerjaan itu bersifat demikian, perjanjian tersebut tidak sah menurut salah dari dua pendapat ulama yang ada. Seperti pekerjaan sebagai pelayan pribadi, misal-nya bekerja menghidangkan makanan untuk orang kafir tersebut, untuk berdiri di depannya sebagai pengawal dan sejenisnya, pokoknya segala bentuk pekerjaan hina karena berarti menyekap seorang muslim pada orang kafir untuk dihinakan sebagai pela-yan. Itu tidak dibolehkan. Inilah salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’iyah.

Sementara kalangan Hanafiyah membenarkan perjanjian itu meskipun mereka menganggapnya makruh. Mereka beralasan tentang dimakruhkannya perjanjian itu, dengan alasan yang sama yang dikemukakan oleh golongan sebelumnya, karena bekerja pada mereka berarti menghinakan diri dan menjadi pelayan mere-ka. Seorang muslim tidak boleh merendahkan dirinya, terutama dengan menjadi pelayan orang kafir.

2. Objek Transaksi, Yakni Fasilitas dan Upah.
Masing-masing dari kedua objek tersebut memiliki beberapa persyaratan, penjelasannya adalah sebagai berikut:

Syarat-syarat yang berkaitan dengan fasilitas
Agar perjanjian sewa menyewa dianggap sah, fasilitas objek sewaan harus memenuhi beberapa hal berikut:
1. Hendaknya fasilitasnya mubah.
Setiap pekerjaan yang diharamkan syariat tidak boleh dijadikan objek sewaan dan tidak boleh mengambil upah sebagai imbalannya. Karena itu termasuk mengambil harta orang dengan cara batil, dan juga termasuk bertolong-tolongan dalam dosa dan permusuhan. Keduanya dilarang. Berdasarkan hal itu, tidak boleh menyewa orang untuk membuat minuman keras atau memeras buah untuk dijadikan minuman keras, atau menyewa orang untuk berzina, menari, meratapi orang meninggal, berdukun, meramal dan sejenisnya, karena semua perbuatan itu telah diharamkan Allah bahkan Allah sudah memutus jalan yang menggiring kepada semua perbuatan itu. Sementara dalam kaidah fiqih juga disebutkan bahwa menyewa orang untuk berbuat maksiat adalah haram.

2. Hendaknya fasilitas itu diketahui
Yakni karena keridhaan adalah syarat sahnya perjanjian. Sementara keridhaan itu terorientasikan pada hal-hal yang di-ketahui. Sehingga fasilitas yang menjadi objek sewaan di sini harus diketahui dengan jelas sehingga dapat menghilangkan kesalahpahaman dan menghindarkan terjadi perselisihan. Jalan untuk mengenali fasilitas ada dua: waktu dan pekerjaan. Dalam hal sewa menyewa terhadap sesuatu yang tidak aktif seperti rumah, toko dan sejenisnya. Kapasitas fasilitasnya ditentukan dengan waktu. Misalnya dikatakan, “Saya menyewa rumah ini setahun sekian.” Adapun sesuatu yang aktif seperti manusia dan binatang misalnya, boleh ditentukan kapasitas sumber dayanya dengan dasar pekerjaan atau waktu, sesuai kesepakatan. Dikatakan misalnya, “Saya menyewa Anda untuk bekerja pada saya selama satu tahun, atau untuk menjahit pakaian atau menyelesaikan proyek ini,” misalnya.

3. Objek Transaksi Bisa Diserahterimakan.
Tidak boleh menyewakan sesuai yang fasilitasnya tidak bisa diserahterimakan. Baik ketidakmungkinan itu menurut realitas atau menurut ajaran syariat. Di antara ketidakmungkinan penye-rahannya menurut realitas adalah: menyewakan orang buta untuk melakukan penjagaan dengan menggunakan penglihatan, atau menyewa orang buta huruf untuk mengajarkan membaca, atau menyewakan unta yang hilang. Ini yang berkaitan dengan penye-waan substansi objek sewaan. Yakni yang konsekuensinya menja-lankan tugas sendirian. Adapun dalam penyewaan sesuatu yang dalam kepemilikan, orang yang disewa tidak harus mengerjakan pekerjaan itu sendirian, sehingga ketidakmungkinan pemberian sumber daya itu tidak ada lagi. Kecuali kalau pekerjaan itu me-mang mustahil dilakukan oleh siapun juga, seperti menyewa orang untuk menghidupkan orang mati misalnya. Contoh ketidakmung-kinan menurut ajaran syariat misalnya: Menyewa wanita haid untuk menyapu masjid, atau menyewa orang untuk membunuh orang yang haram dibunuh, atau untuk mengajarkan sihir, meng-ajarkan maksiat dan sejenisnya. Semua pekerjaan itu, meskipun secara realitas bisa dilakukan, namun menurut ajaran syariat tidak bisa atau tidak boleh.

4. Hendaknya Penggunaan Fasilitas Objek Sewaan Tidak Menghabiskan Substansinya.
Tidak boleh menyewa lilin untuk penerangan atau sabun untuk mandi. Karena penggunaan fasilitas pada kasus ini menye-babkan objek sewaan habis. Karena penyewaan hanya berlaku bagi fasilitas barang, bukan materinya.

5. Hendaknya Fasilitas Objek Sewaan itu Mempunyai Nilai.
Hendaknya fasilitas objek sewaan itu memiliki nilai komer-sial sehingga pantas diberikan imbalan. Terkadang fasilitas satu objek sewaan tidak ada, bisa karena sepelenya, misalnya menyewa apel untuk sekedar dicium baunya, atau karena hal itu dilarang syariat, seperti halnya menyewa sesuatu untuk berbuat maksiat dan kemungkaran.

6. Hendaknya Fasilitas Objek Sewaan Kembali Kepada Penyewa.
Karena penyewalah yang mengeluarkan uang untuk men-dapatkan fasilitas tersebut. Kalau fasilitas itu bukan kembali kepadanya, perjanjian penyewaan itu batal. Dengan dasar itu tidak dibolehkan menyewa pekerjaan yang tidak bisa dialihtugaskan, seperti menyewa orang untuk melakukan puasa. Karena sese-orang tidak bisa memetik hasil dari puasa orang lain. Juga tidak boleh menyewa orang untuk melakukan pekerjaan wajib bagi si orang yang melakukannya. Seperti shalat. Karena semua fasilitas pekerjaan itu tidak kembali kepada orang yang menyewa.

Syarat-syarat Khusus Biaya Sewa (Upah)
Upah secara bahasa artinya adalah balasan dari satu peker-jaan. Secara terminologis kalangan Ahli Fiqih artinya adalah kom-pensasi yang diberikan sebagai imbalan satu fasilitas.

Syarat-syarat Upah
Upah dalam perjanjian disyaratkan secara umum harus merupakan harta yang halal dan bersih, diketahui dan berman-faat, bisa diserahterimakan dan merupakan milik penyewa. Semua yang bisa dijadikan pembayaran dalam jual beli, juga boleh dijadikan sebagai upah dalam penyewaan.

Mengetahui Jumlah Upah
Mengetahui jumlah upah merupakan syarat yang disepakati di antara para ulama fiqih seluruhnya agar perjanjian sewa menyewa diangap sah. Tujuannya untuk menghindari terjadinya konflik atau perselisihan, berdasarkan sabda Nabi a:
“Barangsiapa menyewa pekerja, hendaknya ia memberitahukan jumlah upahnya.”

Hanya saja sebagian bentuk aplikasinya masih diper-debatkan di kalangan para ulama, seperti menyewa dengan upah sebagian hasil produksi (dengan sistem prosentase umum hasil produksi) atau dengan prosentase tertentu, karena mereka berbeda pendapat tentang kemungkinan terealisasikan persyaratatan ini atau tidaknya. Kita akan mengulas kedua bentuk aplikasi ini secara ringkas sebagai berikut:

Menyewa dengan Upah Sebagian Hasil Produksi
Para ulama Ahli Fiqih berbeda pendapat tentang menyewa dengan upah sebagian hasil produksi, seperti 1/2 atau 1/3 misalnya.

Kalangan Syafi’iyah dan Hanafiyah menyatakan bahwa sewa menyewa itu batal karena upah tidak diketahui jumlahnya. Karena Rasulullah pernah melarang menggukakan alat timbangan yang bernama Qiffizuth Thahhan. Yakni menumbuk biji gandum dengan bayaran sebagian hasilnya sesudah menjadi tepung. Ini adalah salah satu dari dua pendapat yang diriwayatkan dari madzhab Malikiyah.

Mayoritas kalangan Hambaliyah dan juga sebagian ka-langan Hanafiyah serta kalangan Malikiyah berpendapat bahwa cara ini dibolehkan. Namun kalangan Malikiyah khususnya mem-berikan syarat tidak adanya perbedaan tentang ukuran dan kriteria produksi. Alasan pendapat mereka itu adalah:

Nabi a pernah mempekerjakan orang-orang Khaibar untuk mengerjakan tanah mereka dengan hasil dibagi menjadi dua.

Objek transaksi tersebut dapat berkembang melalui usaha, sehingga bisa dijadikan objek transaksi dengan sistem hasil sibagi dua, dikiyaskan dengan hasil pohon pada musaqah dan hasil lahan dalam muzara’ah.

Tidak diragukan lagi bahwa yang benar adalah yang membolehkan cara penyewaan ini. Apalagi dalil-dalil yang digu-nakan melarangnya semuanya dipertanyakan:

Larangan Rasulullah a terhadap alat Qiffizuth Thahhan tidak terbukti shahih riwayatnya. Hisyam Abu Kilab hanya meriwa-yatkan sendirian, dan riwayat ini dianggap munkar oleh Adz-Dzahabi. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menganggapnya sebagai hadits batil dan palsu.

Jumlah produksi yang tidak diketahui yang diklaim oleh mereka dapat dimaafkan menurut kebiasaan, sehingga tidak me-nyebabkan terjadinya perselisihan.

Para Ahli Fiqih memperbolehkan penyewaan orang untuk memberi makan orang lain, dan mereka tidak memperdulikan ketidak jelasan objek sewaan dalam hal itu.

Penyewaan dengan Upah Jumlah Tertentu dari Hasil Produksi
Para ulama Ahli Fiqih berbeda pendapat tentang menyewa dengan upah sebagian hasil produksi. Misalnya memeras sejum-lah buah zaitun dengan upah sebagian minyak yang dihasilkan buah itu, dan sejenisnya.

Kalangan Syafi’iyah dan Hanafiyah berpendapat bahwa penyewaan semacam itu batal alias tidak sah. Inilah pendapat yang benar menurut kalangan Hambaliyah. Karena ketikakjelasan jumlah minyak yang akan dihasilkan pada satu sisi, dan ketidak-mampuan membayar upah tersebut ketika terjadi transaksi, pada sisi lain.

Namun kalangan Malikiyah berpendapat lain, demikian juga Ibnu Hazm. Mereka cenderung membolehkannya. Ini juga salah satu pendapat kalangan Hambaliyah. Karena upahnya bukan tidak diketahui. Bahkan jelas karena jumlah tertentu dari hasil produksi. Juga tidak bisa dikatakan tidak ada, karena ada proses produksi untuk menghasilkannya.

Tampaknya menurut kami, bahwa pendapat yang benar adalah boleh, untuk merealisasikan kemudahan dalam hubungan bisnis, dan karena lemahnya unsur prediksi objek yang tidak dike-tahui atau adanya penipuan dalam aplikasi.

Syarat Memperoleh Upah
Pekerjaan upahan itu ada dua macam:
Pertama: Pekerja umum. Yakni yang perjanjiannya dilakukan untuk melaksanakan tugas tertentu seperti menjahit pakaian, membangun rumah dan sejenisnya. Disebutkan pekerja umum, karena ia menerima pekerjaan yang biasa dilakukan banyak orang dalam satu waktu, seperti tukang emas dan tukang kayu.

Para ulama fiqih telah bersepakat bahwa syarat pekerja ganda ini dapat menerima upahnya dengan sempurna adalah apabila ia telah menyelesaikan pekerjaannya dan menyerahkan hasilnya kepada tuannya atau pihak pemesan.

Kedua: Pekerja pribadi. Yakni pekerja yang perjanjiannya dalam batas waktu tertentu. Pada masa itu penyewa berhak sepenuhnya terhadap sumber dayanya. Seperti orang yang me-nyewa pekerja pribadi sebagai pelayan atau untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu selama satu hari, satu bulan dan sejenisnya. Disebut pribadi, karena pihak penyewa berhak penuh terhadap sumber dayanya dalam masa sewaan, tidak boleh dipekerjakan oleh orang lain.

Syarat memperoleh upah dalam pekerjaannya adalah apabila penyewa sudah diberi kesempatan menggunakan sumber- dayanya dengan optimal pada masa penyewaan tersebut. Kalau itu sudah dilakukan dan pihak penyewa sendiri yang tidak mengoptimalkan sumberdayanya, pihak pekerja sudah berhak mendapatkan upahnya dengan sempurna.

Dalam kasus penyewaan substansi objek sewaan, pekerja sudah berhak mendapatkan upah dengan hanya sekedar mem-berikan kesempatan kepada penyewa untuk memfungsikan sum-berdaya sewaannya tersebut. Kalau ada halangan sehingga pemungsian sumber daya itu terganggu atau tidak termanfaatkan karena kesenggangan waktu, atau karena penyewa tidak mem-perhatikannya lagi, maka ia tetap wajib menerima upah sempurna. Segala halangan itu tidak menghalanginya untuk memperoleh upah dan pemilik sumber daya itu untuk kembali mengambilnya, kecuali kalau keduanya saling meridhai konsekuensi selain itu.

Karena asalnya, penyewaan di sini adalah perjanjian permanen yang konsekuensinya adalah pemindahan kepemilikan sumberdaya sementara kepada penyewa dan upah bagi pekerja-nya. Kalau pihak penyewa membatalkan penyewaan sebelum berakhirnya masa penyewaan dan tidak lagi memanfaatkan sumber daya pekerja karena pilihan dirinya sendiri, perjanjian tidak menjadi batal. Upah tetap harus diterima pekerja dan kepemilikan terhadap sumberdayanya oleh penyewa juga tetap ada. Sama saja dengan orang yang membeli sesuatu dan mem-bayarnya, lalu membuang barang beliau tersebut.

Ketiga: Pelafalan Perjanjian
Pelafalan itu adalah segala cara yang mengindikasikan keri-dhaan terhadap perjanjian, melalui ijab Kabul.

Pelafalan perjanjian penyewaan ada dua bagian:
1. Pelafalan secara lisan.
Yakni ucapan yang menunjukkan dilaksanakannya perjanjian dan menunjukkan keridhaan terhadap perjanjian tersebut. Pe-nyewaan dianggap sah bila ucapan tegas diucapankan untuk tujuan itu, seperti, “Saya sewakan,” atau “Saya menyewa.” atau berbagai ucapan lain yang menunjukkan ke arah itu. Bisa juga dilakukan dengan bahasa isyarat oleh orang gagu asal bisa dipa-hami, atau dengan tulisan karena tulisan bisa menggantikan ucapan bagi orang bisu.

Dasarnya, bahwa yang digunakan dalam perjanjian itu adalah maksudnya dan tujuannya, bukan sekedar lafazh dan kulit luarnya saja.

2. Pelafalan Perjanjian Melalui Tindakan
Tidakan di sini artinya adalah melakukan sesuatu tanpa ucapan dari kedua belah pihak atau dari salah satunya. mayoritas ulama fiqih menyatakan bahwa perjanjian terhadap banyak objek atau sedikit dianggap sah dengan tindakan tersebut. Karena tujuan perjanjian adalah sebagai indikator keridhaan. Segala se-suatu yang mengindikasikan keridhaan baik berupa ucapan atau perbuatan sah dijadikan sebagai tanda terlaksananya perjanjian. Semua itu dikembalikan kepada kebiasaan umat manusia pada umumnya.

Terlaksananya Perjanjian dengan Tulisan
Seringkali berbagai hubungan bisnis perniagaan modern ini menuntut dilakukannya perjanjian antara dua pihak, masing-masing pihak berada di negaranya terpisahkan oleh jarak yang amat jauh. Apakah mungkin bahwa perjanjian terlaksana melalui tulisan, meskipun ijab dan kabulnya terpisah oleh jarak waktu, yakni jarak waktu yang dihabiskan untuk sampainya surat ke pihak kedua?

Pendapat mayoritas ulama adalah bahwa perjanjian itu sah dilakukan dengan tulisan untuk menggantikan perjanjian dengan ucapan. Perjanjian itu tidak terhalangi oleh adanya jarak waktu antara dikirimnya surat dari salah satu transaktor hingga sampai ke pihak lain. Karena jarak waktu itu -selain tidak adanya pihak transakstor lain- tidaklah dianggap menyimpang dari perjanjian. Akan tetapi mereka mempersyaratkan bahwa penerimaan perjan-jian pada saat pertemuan pembacaan surat agar terealisasikan bersambungnya ijab dan kabul melalui bersatunya ijab dan kabul dalam satu majelis. Kapan saja ada penerimaan atau kabul dari satu pihak ketika sudah datang kepadanya berita ijab kepada, maka perjanjian itu sudah sah.

Pengaruh Perjanjian Penyewaan
Apabila perjanjian sewa menyewa itu telah dilakukan secara sah, maka berlaku pula segala komitmen dan hak-hak antar sesame pihak. Akan kami ringkaskan penjelasan tentang berbagai pengaruhnya sebagai berikut:

Beberapa Komitmen Pihak yang Menyewakan
Komitmen terhadap pihak yang menyewakan terfokus pada pemberian kesempatan pihak penyewa untuk memanfaatkan berbagai fasilitas objek sewaan.

Dalam sewa menyewa substansi objek, pihak yang menye-wakan berkewajiban membersihkan objek sewaan dari berbagai hal yang bisa menghalangi pihak penyewa untuk memanfaatkan fasilitasnya, dan juga memberi kebebasan kepada penyewa untuk menggunakan fasilitas tersebut.

Sementara dalam penyewaan sumber daya manusia, ke-wajiban pihak yang disewa adalah melaksanakan pekerjaan yang disepakati dalam perjanjian sewanya, dengan sebisanya melaku-kan pekerjaan tersebut secara optimal, berdasarkan sabda Nabi:
Artinya, “Sesungguhnya Allah menyukai salah seorang di antaramu yang apabila melakukan pekerjaannya menyelesaikannya secara optimal.”

Hendaknya pekerja yang disewa melaksanakan pekerjaan-nya sendirian kecuali apabila menurut kebiasaan tidak demikian, atau menurut persyaratan tidaklah demikian. Jangan sampai disibukkan oleh hal-hal yang dapat menggiring kepada rusaknya pekerjaan atau menghalanginya melaksanakan pekerjaan itu secara optimal, atau bahkan menghalanginya menunaikan per-janjian kerjanya. Hendaknya ia menaati majikannya dalam batas-batas hukum Allah dan dalam lingkaran kesepakatan di antara mereka dalam perjanjian kerja. Kalau ia pekerja pribadi, ia harus menjaga komitmen terhadap pekerjaan pada setiap waktu yang disepakati, kecuali pekerjaan-pekerjaan yang tidak mungkin tersentuh perjanjian, seperti buang air, menjalankan shalat lima waktu dan sejenisnya.

Di antara yang mempertegas bagaimana para ulama fiqih demikian gigih membicarakan poin persoalan adalah yang dise-butkan sebagian mereka bahwa pekerja sewaan itu apabila menu-naikan shalat lima waktu kemudian ia mengaku bahwa ia melakukan shalat itu tanpa bersuci, ia mengulang shalatnya lagi. Upahnya berkurang karena waktu yang ia gunakan untuk mengulangi shalat!!

Apakah seorang pekerja bertanggung jawab terhadap alat atau barang produksi yang rusak di tangannya?
Para ulama Ahli Fiqih telah sepakat bahwa tangan seorang pekerja pribadi adalah tangan amanah. Maka ia tidak bertang-gungjawab terhadap apapun kecuali akibat keteledorannya atau akibat pelanggaran. Kalau seorang pekerja teledor menjaga alat kerja majikan yang dipegangnya ketika digunakan, maka ia wajib bertanggung jawab terhadapnya. Misalnya barang itu ia tinggal-kan tanpa dirawat sehingga rusak, atau digunakan untuk selain pekerjaannya sebagai pegawai pribadi dan sejenisnya.

Adapun pekerja umum, para ulama berbeda pendapat tentang pertanggungjawaban para pekerja terhadap barang-barang yang diserahkan kepada mereka yang diklaim telah rusak, setelah mereka (para ulama) bersepakat akan tanggung jawab mereka atas keteledoran atau karena pelanggaran, dan bahwa mereka tidak bertanggung jawab bila tidak demikian.

Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa si pekerja bertanggung-jawab bila dilihat dari kemaslahatan, dan karena para Khulafa’ur Rasyidin juga memutuskan demikian. Ini juga merupakan pendapat kalangan Malikiyah.

Ada juga yang berpendapat bahwa mereka tidak ber-tanggung jawab, bila melihat kasus pada pegawai pribadi. Ini pendapat Abu Hanifah dan juga pendapat yang shahih dari kalangan Syafi’iyah dan Hambaliyah dalam satu riwayat yang dinukil dari mereka.

Sebagian ada juga yang membedakan antara kerusakan yang diakibatkan kekuatan yang tidak bisa dielak seperti banjir, kebakaran, bila demikian tidak ada tanggungjawabnya. Adapun kalau barang-barang itu rusak karena faktor yang bisa dicegah, mereka bertanggung jawab, kecuali kalau terbukti mereka tidak teledor dan tidak melakukan pelanggaran. Ini termasuk pendapat Syafi’iyah dan juga satu riwayat dari Hambaliyah. Demikian juga pendapat dari Abu Yusuf dan Muhammad dari kalangan Hanafiyah. Dan tampaknya pendapat terakhir ini ini adalah yang paling tepat dalam persoalan ini.

Beberapa Komitmen bagi Penyewa
Komitmen-komitmen terhadap penyewa itu terfokus pada hal-hal berikut:
1. Membayar upah sewa yang disepakati, berdasarkan sabda Nabi a yang diriwayatkan oleh beliau dari Rabb-nya: “Ada tiga orang yang menjadi musuhku di Hari Kiamat nanti: “Orang yang memberi atas namaku, lalu berbuat curang; orang yang menjual orang merdeka dan memakan hasilnya; dan orang yang menyewa pekerja, pekerja itu sudah menunaikan tugasnya namun ia tidak juga memberikan upahnya. ”
2. Memperlakukan pekerja dengan baik dan tidak mem-bebaninya dengan pekerjaan yang tidak mampu dikerjakannya, berdasarkan saba Nabi:
“Janganlah kalian membebani mereka dengan pekerjaan yang menyusahkan mereka. Kalau kalian tetap membebaninya juga, tolonglah mereka melakukannya.”
Bila hadits ini dalam konteks tugas bagi para budak, bagaimana lagi dengan para pekerja upahan, tentu harus lebih diperlakukan secara baik. Di antaranya dengan menjaga kesela-matan pekerja, menyediakan sarana penjagaan yang dibutuhkan saat bekerja.
3. Memberikan waktu libur sesuai kebiasaan yang ada. Kalau menurut kebiasaan pekerja itu mendapatkan satu hari libur selama satu minggu, maka pihak yang menyewa harus mem-berikan hak itu. Namun para ulama berbeda pendapat tentang hak upah bagi pekerja selama masa liburan. Mayoritas ulama menyatakan bahwa si pekerja tidak lagi berhak mendapatkan upah saat libur, dengan dasar bahwa upah itu adalah imbalan dari sumberdaya yang dia berikan. Kalau sumber daya itu tidak dibe-rikan, maka ia tidak mendapatkan upah. Namun sebagian ulama membolehkan dihitungnya upah seperti ketika bekerja, dengan dasar bahwa kebiasaan yang sudah lazim itu menjadi syarat. Boleh saja mengambil pendapat terakhir ini, karena sudah demikian mapannya tradisi hubungan kerja dengan para pekerja ini.

Biaya Operasional Perawatan Barang dalam Transaksi
Biaya perawatan barang terbagi menjadi dua:
Pertama: Yang berkaitan langsung dengan substansi objek sewaan yang manfaatnya juga kembali kepada pemiliknya. Semua biaya ini dibebankan kepada pihak yang menyewakan. Karena itu adalah kewajibannya untuk memberi kesempatan kepada penyewa memanfaatkan fasilitas objek sewaan. Seperti pengecatan rumah, perbaikan talang air atau bagian-bagian bangunan lainnya, mem-bangun pagar bila runtuh, mengganti kayunya kalau rusak, membuat lantai kamar mandi, membikin pintu dan saluran air. Karena dengan semua itu pihak penyewa dapat memanfaatkan fasilitas objek sewaannya.

Kedua: Biaya yang berkaitan dengan optimalilasi fasilitas yang disewa dan kegunaannya adalah kewajiban penyewa. Yang demikian merupakan tanggungjawab penyewa. Penyewa bertang-gung jawab menghilangkan berbagai bekas pekerjaannya atau akibat dia tinggali, seperti menghilangkan debu, menyapu, mem-buang kotoran dan sampah di saluran air. Sebagaimana hal itu juga wajib dia lakukan sebelum berakhirnya masa sewa yakni sebelum objek sewaan dikembalikan kepada pemiliknya.

Inilah asal dari hukum dalam persoalan ini. Kadang terjadi kebalikannya dalam prakteknya karena perbedaan lingkungan dan kebiasaan.

Apakah Pihak Penyewa Bertanggung jawab Terhadap Kecelaka-an yang Menimpa Orang Sewaannya?
Dalam persoalan ini para ulama Ahli Fiqih membedakan antara pekerja yang sudah tua dengan anak muda. Pekerja yang masih muda yang belum mencapai masa baligh bila disewa untuk melakukan pekerjaan majikan tanpa seizin walinya, menempatkan majikan dalam posisi bertanggungjawab terhadapnya bila dalam pekerjaan atau saat melakukan pekerjaan ia mengalami kecela-kaan. Karena pihak majikan dengan sengaja mempekerjakannya sehingga menyebabkan “anak asuh” orang mengalami kecelakaan tanpa izin walinya, dan walinya otomatis marah. Kalangan Mali-kiyah memberikan catatan, bila pekerjaan itu memang me-ngandung resiko bahaya.

Adapun orang tua atau orang yang sudah baligh sebagai pekerja, tidak ada tanggungjawab penyewa terhadap kecelakaan yang menimpa mereka ketika melakukan pekerjaan, kecuali apa-bila disebabkan oleh pelanggaran majikan atau karena ketele-dorannya. Kalau si majikan tidak melakukan pelanggaran dan tidak bersikap teledor, ia tidak bertanggungjawab.
Dasarnya adalah sabda Nabi a:
“Kerusakan yang ditimbulkan tidak ada ganti rugi, kecelakaan jatuh ke sumur (di tanah pribadi) tidak ada ganti rugi, dan kece-lakaan di saat menggali tambang tidak ada ganti rugi. “

Berdasarkan hadits ini, apabila seseorang menyewa pekerja untuk menggali sumur atau bekerja untuk mencari tambang logam, lalu ia kecelakaan, tidak ada pertanggungjawaban. Semua pekerjaan lain bisa dianalogikan dengan pekerjaan menggali su-mur dan di pertambangan.

Tidak diragukan lagi bahwa inilah pendapat yang benar, tidak ada lagi pendapat lain yang bisa dijadikan acuan. Karena kalau tidak ada keteledoran atau pelanggaran dari pihak penyewa alias majikan, tidak ada alasan meminta pertanggungjawaban darinya. Perjanjian itu tetap sah. Kecelakaan itu bisa saja terjadi selain di saat ia bekerja. Maka dari mana bisa dikatakan bahwa dalam kasus ini harus ada pertanggungjawaban?

Kalau dibantah, bahwa pekerja itu posisinya lemah, se-hingga harus dijaga dan dilindungi, memberikan kepadanya hak mendapatkan kompensasi ketika dalam kondisi lemah total atau lemah sebagian tubuhnya akibat pekerjaan, demi memelihara dirinya dan diri keluarganya yang bisa kehilangan bila ia menga-lami kecelakaan. Kita katakan, bahwa hal itu benar. Namun yang bertanggungjawab di sini adalah Baitul Mal, bukan majikan. Menanggung orang-orang lemah dan memperhatikan kondisi fakir miskin adalah tanggung jawab Negara yang menjadi pemim-pin umat. Sehingga konsekuensi yang dipikul oleh Negara di antaranya adalah memperhatikan orang-orang lemah, menolong mereka yang tertimpa musibah, menanggung kebutuhan orang-orang fakir melalui harta zakat secara umum dan sejenisnya. Kalau undang-undang lokal menetapkan bahwa para pemimpin perusahaan berkewajiban memberikan kompensasi kepada para pekerja yang mengalami kecelakaan, bahkan mereka membuka kesempatan yang seluas-luasnya dalam hal itu, yang demikian itu terjadi karena tidak adanya Baitul Mal yang mengakui hak-hak fakir miskin sebagaimana memang merupakan hakikat ajaran agama yang suci ini.

Bolehkah Penyewa Mengembangkan Objek Sewaannya?
Para ulama Ahli Fiqih berbeda pendapat, apakah boleh seo-rang penyewa mengembangkan objek sewaannya bukan sekedar menggunakan fasilitasnya saja, seperti menyewakannya dengan bayaran lebih banyak dari bayaran sewanya sendiri.

Sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu boleh. Di antara ulama itu adalah Hasan Bashri, Zuhri dan juga pendapat kalangan Syafi’iyah, Hambaliyah dan Malikiyah. Sebagian ulama melarang-nya, seperti Ibnu Sirin, Said bin al-Musayyab dan yang lainnya. Sebagian ulama lain membedakan antara menyewakan langsung objek sewaan sebagaimana adanya, yang hukumnya menurut me-reka tidak boleh, dan mereka membolehkan menyewakan setelah diperbaiki dan dimodifikasi.

Pendapat ini dinukil dari ats-Tsauri, pendapat Abu Hanifah dan riwayat lain dari Ahmad. Pendapat yang membolehkan lebih tepat karena tidak ada dalil yang melarangnya. Itulah pendapat yang diunggulkan oleh Ibnul Mundzir setelah menyebutkan semua pendapat yang ada. Terkecuali, bila ada kesepakatan tegas atau kesepakatan tersirat yang berkebalikan dengan kesim-pulan itu.

Berakhirnya Perjanjian Penyewaan

Perjanjian penyewaan itu berakhir karena beberapa sebab berikut:
1. Canceling/ Pembatalan.
Yakni kesepakatan membatalkan perjanjian. Karena asal dari penyewaan bersifat permanent. Maka salah satu pihak tidak berhak membatalkan perjanjian dengan keinginannya secara pri-badi. Ia juga tidak berhak mengadakan perjanjian itu berdasarkan keinginan pribadinya saja. Namun kalau keduanya bersepakat untuk membatalkan perjanjian dan itu dilakukan secara suka rela, maka hukumnya boleh-boleh saja. Bahkan bisa jadi termasuk dalam perkara yang disunnahkan pada kondisi tertentu, berdasarkan Sabda Nabi a:
“Barangsiapa yang menolong seorang muslim, maka Allah akan menolongnya pada Hari Kiamat nanti.”

2. Tercapainya Target Tertentu dari Perjanjian.
Kalau perjanjian penyewaan dibatasi dengan suatu target, maka perjanjian tersebut bisa berakhir dengan tercapainya target tersebut. Baik target itu berupa masa tertentu yang sudah terpenuhi, atau berupa pekerjaan yang sudah terselesaikan. Kalau masa yang ditentukan atau target pekerjaan tertentu yang disepa-kati ditentukan sudah berhasil diselesaikan, maka secara otomatis perjanjian itu berakhir.

3. Berakhirnya masa tertentu sesuai jumlah upah dalam Perjanjian penyewaan yang tidak dibatasi oleh waktu.
Transaksi yang tidak dibatasi waktunya adalah perjanjian yang tidak dibatasi waktu berakhirnya oleh kedua belah pihak, seperti orang yang mengatakan, “Saya sewakan rumah ini kepada Anda setiap bulannya satu dinar.” Atau, “Saya menyewa Anda untuk satu pekerjaan setiap bulannya seratus dinar,” misalnya. Perjanjian seperti ini berakhir dengan berakhirnya masa yang tertentu yang sudah dibayar sewanya. Masing-masing pihak bisa saja membatalkan dengan keinginannya pribadi kapan saja ia menghendaki. Dan perjanjian itu terperbaharui secara otomatis untuk masa perjanjian berikut, kalau salah seorang di antara kedua belah pihak tidak ada yang menggunakan haknya untuk mem-batalkannya.

Apakah Penyewaan itu Berakhir Karena Alasan Tiba-tiba?
Yang dimaksudkan dengan alasan tiba-tiba di sini adalah ketidakmampuan transaktor untuk melanjutkan perjanjian kecuali kalau ia mau menanggung bahaya besar yang tidak seharusnya diterima karena perjanjian tersebut. Contohnya adalah kematian pengantin dalam praktik penyewaan mengurus pesta pernikahan, atau pembatalan perjanjian penyewaan pekerja karena menyewa rumah untuk ditinggali dan sejenisnya.

Namun para ulama Ahli Fiqih berbeda pendapat tentang wajibnya menunaikan perjanjian sebagai aplikasi dari berbagai nash-nash umum yang mewajibkan ditunaikannya janji atau tran-saksi. Asal dari penyewaan adalah perjanjian permanent. Masing-masing dari transaktor tidak berhak membatalkannya sendirian tanpa kesepakatan pihak transaktor lain. Kecuali karena adanya tuntutan yang membatalkan perjanjian permanent itu, seperti terlihatnya cacat barang sewaan atau fasilitas barang sewaan yang tidak ada lagi, dan sejenisnya.

Kalangan Hanafiyah dan Ibnu Hazm beranggapan bahwa alasan-alasan tersebut bagi pihak penyewa perlu diperhatikan untuk menghindari bahaya yang terpaksa ditanggung karena bila tetap harus menunaikan perjanjian tersebut. Bisa dikiyaskan juga dengan menggagalkan perjanjian karena melihat adanya cacat objek transaksi. Syarat kepermanenan perjanjian tersebut adalah tidak adanya alasan-alasan tiba-tiba semacam ini.

Sementara al-Karkhi juga dari kalangan Hanafiyah ber-pendapat bahwa alasan-alasan semacam itu bisa dimiliki oleh pihak penyewa maupun pekerja yang disewa.

Di antara dalil mereka dalam persoalan itu adalah: Diber-langsungkannya perjanjian tersebut menyebabkan orang yang berhalangan harus menanggung bahaya yang tidak seharusnya diterimanya dengan transaksi tersebut. Pembatalan perjanjian itu pada hakikatnya adalah untuk mencegah terjadinya bahaya ter-sebut, dan dia memilik hak untuk itu.

Mengingkari terjadinya pembatalan perjanjian setelah jelas adanya halangan jelas tidak sesuai dengan ajaran syariat dan logika. Karena konsekuensinya, bila seseorang sakit gigi lalu membayar seseorang untuk mencabut giginya, namun tiba-tiba giginya sembuh, orang tersebut dipaksa juga mencabut giginya. Hal itu tentu saja tidak baik menurut ajaran syariat dan logika.

Apakah dalam kondisi-kondisi demikian perjanjian secara otomatis terbatalkan, atau tergantung kepada kesepakatan atau keputusan hakim? Masih ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Memang tidak diragukan lagi, bila terjadi perse-lisihan, persoalan ini harus dikembalikan kepada pengadilan.

Yang jelas bagi kita, bahwa mengharuskan orang yang berhalangan untuk tetap meneruskan proses transaksi meskipun jelas ada halangan mendadak atau ancaman bahaya tiba-tiba, itu tidak sesuai dengan komplekstisitas ajaran Islam dan pondasi-pondasi ajarannya yang berakar kuat. Orang yang berhalangan boleh saja membatalkan perjanjian, namun dengan syarat, mem-berikan kompensasi yang sesuai untuk pihak yang lain, karena tentu saja ia dirugikan dengan adanya pembatalan tersebut yang secara tiba-tiba. Wallahu a’lam.

Kiat Memfungsikan Akad Sewa Menyewa dalam Manajemen Pengembangan Modal Kolektif
Dalam studi pembahasan ini terdahulu penulis telah mem-perbincangkan soal sewa menyewa dalam bingkai kajian ilmu fiqih sebagaimana yang telah disajikan oleh buku-buku fiqih klasik. Dalam pembahasan ini kami akan mengulas lagi berbagai bentuk aplikasi lain dari perjanjian sewa menyewa ini yang dicip-takan oleh berbagai bank modern, baik itu bank-bank Islam atau bank-bank berbasis riba, untuk melihat sejauh mana perjanjian- perjanjian itu bersesuaian atau bertentangan dengan hukum sya-riat Islam tentang perjanjian penyewaan.

Sebelum penulis mulai mengetengahkan berbagai bentuk aplikasi perjanjian sewa menyewa itu, terlebih dahulu penulis ingin menyebutkan dalam ulasan selayang pandang ini dengan salah satu prinsip dasar hukum sewa menyewa barang, yakni ko-mitmen pihak yang menyewakan untuk memberikan kesempatan pihak yang menyewa untuk menggunakan fasilitas barang yang disewanya sepanjang masa penyewaan. Yang demikian mengha-ruskan dirinya untuk mengeluarkan biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat objek sewaan itu layak digunakan. Kemudian kalau dengan prinsip ini kita beralih kepada kancah praktis di masa modern, kita akan mendapatkan diri kita di hadapan dua sisi dan pertengahan:

Apabila pihak yang menyewakan menjaga komitmen biaya perawatan secara sempurna, maka perjanjian tersebut sudah jelas disepakati oleh para ulama. Kalau pihak yang menyewakan me-nolak mengeluarkan biaya perawatan dan berbagai hal lain yang disepakati secara sempurna, maka perjanjian inipun batal berda-sarkan kesepakatan para ulama pula.

Apabila biaya-biaya tersebut sebagian dibebankan kepada pihak yang menyewakan dan sebagian lagi kepada pihak penye-wa. Bentuk perjanjian sewa menyewa ini masih diperdebatkan oleh para ulama, karena adanya perbedaan kebiasaan dan keti-daksamaan lingkungan yang ada.

Sebagian Metode Penyewaan Finansial

1. Jual Beli Plus Sewa Menyewa
Metode ini bisa menjadi pengganti dari pinjaman berbunga dengan dasar pegadaian. Caranya adalah bila sebuah perusahaan memiliki harta tetap, seperti bangunan, tanah, mobil atau perleng-kapan yang sebenarnya ia butuhkan. Tetapi ia membutuhkan uang, sehingga barang-barang itu dia jual secara kontan kepada perusahaan lain, lalu barang itu dikembalikan kepadanya namun untuk disewa secara langsung pula. Ia bisa menggunakan uang hasil penjualannya secara langsung dan barang-barang itu tetap kembali kepadanya, meski hanya berupa barang sewaan, bukan lagi harta milik.

Apabila proses jual beli dan sewa menyewa telah disele-saikan dengan perjanjian secara terpisah, maka tidak ada salahnya aplikasi semacam itu direalisasikan demi kemaslahatan kedua belah pihak tentunya tanpa bertentangan dengan salah satu dasar syariat yang disepakati dalam perjanjian jual beli atau dalam perjanjian sewa menyea.

Namun sewa menyewa itu hendaknya bersifat sungguhan. Kalau hanya merupakan trik untuk melakukan peminjaman berbunga. Karena cara demikian dapat merubah sewa menyewa yang disyariatkan menjadi riba yang diharamkan.

Karena bisa saja pihak penjual mengadukan kesepakatan dengan pihak pembeli agar barang-barang itu pada akhirnya akan kembali kepada pihak pembeli melalui perjanjian setelah bera-khirnya masa penyewaan dan selesainya pembayarannya secara cicilan. Dan pada akhirnya bisa saja persoalannya berubah penjadi peminjaman berbunga. Misalnya jumlah cicilan itu secara akumulatif menjadi senilai dengan harga barang bahkan ditambah bunga. Barang-barang tersebut akhirnya hanya menjadi fasilitator penyamaan yang lebih mampu menjerumuskan kedalam peker-jaan yang mungkar ini.

2. Sewa Menyewa Peralatan Kerja
Contohnya adalah menyewakan kamera, komputer dan sejenisnya. Dalam bentuk sewa menyewa ini, biaya perawatan barang dibebankan kepada pihak yang menyewakan. Pihak pe-nyewa juga berhak membatalkan perjanjian sebelum berakhirnya masa penyewaan lalu mengembalikan barang sewaan itu kepada pemiliknya, bisa jadi karena ia sudah tidak membutuhkannya lagi, atau karena ia mendapatkan barang yang lebih canggih dari barang tersebut.

Jelas bahwa bentuk perjanjian penyewaan seperti ini tidak dilarang. Karena tidak lebih dari bentuk perjanjian sewa menyewa biasa yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan bentuk-bentuk perjanjian sewa-menyewa lain dengan diberikannya pihak penyewa hak untuk membatalkan perjanjian kapan saja dia meng-hendaki.

3. Penyewaan finansial
Bentuk perjanjian sewa menyewa ini berkebalikan dengan perjanjian sebelumnya. Karena pihak penyewalah yang menang-gung biasa perawatan, di samping ia juga tidak memiliki hak untuk membatalkan perjanjian sebelum berakhirnya masa penye-waan. Masa penyewaan di sini bahkan semakin bertambah seiring dengan pertambahan usia masa produksi objek transaksi. Ketika terjadi transaksi, objek sewaannya belum ada.

Bentuk perjanjian ini pada umumnya terlaksana berdasarkan langkah-langkah berikut:

  • Adanya hubungan perusahaan yang membutuhkan barang dengan perusahaan yang memproduksinya serta pelaksa-naannya berdasarkan birokrasi dan kesepakatan yang berkaitan dengan kriteria, harga dan syarat-syarat lainnya.
  • Adanya hubungan perusahaan yang membutuhkan barang dengan salah satu pihak bank untuk membeli barang tersebut dan pihak ini akan menyewanya setelah barang dibeli.
  • Kemudian perjanjian berakhir dengan pihak bank yang menjual barang tersebut kepada pihak yang menyewa di akhir masa penyewaan dengan sejumlah uang sebagai formalitas atau dengan kembalinya barang itu menjadi miliknya tanpa bayaran.
  • Bentuk perjanjian ini bisa menjadi haram dan bisa menjadi halal: Apabila pihak bank sebagai pihak yang menyewakan barang di sini, menolak menanggung segala komitmennya bahkan membebankan semua biaya perbaikan, perawatan, asuransi dan (bila ada juga biaya kerjasama), lalu melepaskan tanggung jawabnya terhadap semua cacat pada barang sewaan yang ter-sembunyi, dan juga dari menanggung kerusakan dan kehancuran barang, maka yang demikian adalah peminjaman berbunga: Uang cicilan sewaan itu menjadi cicilan hutang pada hakikatnya.

Pihak perusahaan yang menyewa barang pada hakikatnya menjadi peminjam dengan sistem bunga. Pihak bank sebagai pihak yang menyewakannya secara zhahir, pada hakikatnya juga menjadi pihak yang meminjamkan dengan sistem bunga. Ia ingin menjaga hak kepemilikan barang dengan jaminan. Sampai-sampai bila pihak peminjam mangkir membayar sewaannya, barang itu tetap miliknya sehingga ia tetap bisa menuntut haknya. Jaminan ini lebih kuat dari jaminan gadai. Karena harga benda sewaan ini tidak masuk dalam harta orang yang bangkrut dan tidak termasuk jaminan umum bagi orang-orang yang memberikan hutang. Karena pegadaian pada umumnya membutuhkan birokrasi hukum yang dimasukkan dalam perjanjian. Tidak syak lagi, bila perjanjian pe-nyewaan itu dilakukan dengan sistem semacam itu, ia sudah kehilangan sifat sebagai perjanjian yang disyariatkan dari da-sarnya.

Namun kalau pihak bank tidak menolak segala komitmen sebagai penyewa, siap menanggung konsekuensi adanya berbagai cacat pada barang sewaan, menanggung biaya asuransi, bertang-gung jawab terhadap kerusakan kalau bukan karena ketelodoran atau pelanggaran dari pihak penyewa, ikut bertanggung jawab terhadap biaya perbaikan dan perawatan dengan satu cara ter-tentu atau dengan cara yang berbeda-beda sehingga tampak di hadapan kita sebagai penyewaan yang sesungguhnya, maka tidak mustahil kita katakan bahwa cara itu disyariatkan, karena yang dianggap mengganggu perjanjian ini hanyalah adanya perjanjian lain yang terikat dengannya, yakni perjanjian jual beli atau perjan-jian hibah barang sewaan di akhir masa penyewaan. Persoalan ini memang masih menjadi polemik di kalangan ulama; ada di antara mereka yang membolehkannya dan ada juga yang mela-rangnya. Ucapan yang membolehkannya adalah pendapat yang orientatif. Kalau kedua perjanjian dipisahkan, maka tidak perlu diragukan lagi. Wallahu A’lam.

Untuk menghilangkan syubhat dan untuk lebih menam-bahkan nilai kehalalan perjanjian ini, perjanjian jual beli itu hen-daknya dirubah menjadi perjanjian jual beli. Dengan demikian, perjanjian ini bisa diterima seluruh pendapat yang ada.

4. Jual Beli Penyewaan atau Penyewaan yang Berakhir dengan Janji Pemindahan Kepemilikan
Bentuk perjanjian ini sama dengan yang sebelumnya, hanya saja hubunganya hanya melibatkan dua pihak, yakni pihak yang menyewakan dan pihak penyewa. Tidak ada pihak bank yang mendanai bisnis ini. Yang ada hanya hubungan langsung antara pihak yang menyewakan dengan pihak penyewa, atau pihak penjual dan pembeli dalam arti sesungguhnya.

Gambaran perjanjian ini adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak, salah satunya menjual barang dan yang lain mem-belinya, harga ditentukan, hanya saja jual beli ini tidak menye-babkan berpindahnya kepemilikan sebelum diselesaikannya seluruh cicilannya dalam waktu yang ditentukan. Pada saat itu, kepemilikan berpindah secara penuh kepada pembeli dan semenjak itu ia memiliki hak penuh terhadap barang tersebut, dan selama waktu cicilan hubungan antara kedua belah pihak dianggap sebagai hubungan sewa menyewa dengan perjanjian baru pada saat itu.

Biasanya pihak penjual sengaja mengambil cara ini sebagai pengganti dari sistem penjualan kredit karena ia ingin menjaga hak kepemilikan selama masa tersebut, sehingga bila si pembeli bangkrut, barang tersebut tidak dimasukkan ke dalam barang orang bangkrut terlilit hutang yang ikut dicekal, dan tidak termasuk dalam barang jaminan lain secara umum bagi orang-orang yang menghubunginya.

Majelis ulama fiqih tidak secara tegas menganggap batil jenis perjanjian ini namun juga tidak secara tegas menganggapnya sah. Namun lebih baiknya mencukupkan diri dengan berbagai alter-natif perjanjian lainnya. Dalam keputusannya, mereka menya-takan sebagai berikut, “Lebih baiknya mencukupkan diri tanpa aplikasi sewa menyewa yang berakhir dengan pemindahan kepe-milikan, dengan berbagai alternatif sewa menyewa lain, di antaranya alternatif itu, adalah sebagai berikut:
Pertama: Jual beli kredit dengan jaminan yang cukup.
Kedua: Perjanjian penyewaan dengan pemilik barang mem-berikan hak pilih bagi penyewa setelah selesainya pembayaran cicilah sewaan pada masa penyewaan, yakni untuk memilih beberapa hal berikut:

  • Memperpanjang masa penyewaan.
  • Mengakhir masa penyewaan dan mengembalikan objek sewaan kepada pemiliknya.
  • Membeli objek sewaan itu dengan harga pasaran setelah berakhirnya masa penye-waan.

Di antara contoh praktis perjanjian ini ini adalah berbagai perjanjian penyewaan yang dilakukan oleh bank Islam untuk mengembangkan dana mereka, kemudian juga penyewaan sarana transportasi seperti alat angkutan minyak tanah, gas, atau untuk mendanai penjualan dan penyewaan berbagai perlengkapan untuk kebutuhan negara-negara anggota (Organisasi Internasio-nal). Semua perjanjian ini didasari oleh beberapa dasar berikut:
1. Setelah membuktikan prospek profesionalisme dan finan-sial suatu proyek yang pihak bank ikut andil dalam pendanaan-nya melalui sistem penyewaan, pihak bank akhir memutuskan secara mufakat dengan pihak yang akan mengelola proyek tersebut (pihak penyewa), lalu pihak bank menyerahkan -sebagai konsekuensinya- perjanjian tersebut atas namanya dengan pihak eksportir yang akan membeli perlengkapan-perlengkapan yang diminta tersebut (yang mana produksinya dan target perkiraan biayanya sudah tercantum dalam kesepakatan) lalu pihak bank memberi persetujuan untuk menyempurnakan perjanjian dengan pihak eksportir dengan membayar harga barang-barang perleng-kapan itu secara langsung kepada pihak eksportir untuk dibayar secara kredit sesuai kesepakatan dalam perjanjian.
2. Pihak yang menyewa (peminjam) sebagai wakil dari bank menerima berbagai perlengkapan tersebut dan memeriksanya untuk membuktikan bahwa barang-barang tersebut normal dan sesuai dengan kriteria yang diinginkan dalam perjanjian, kemudi-an baru memprakarsai perakitan kembali barang-barang tersebut -kalau memang harus dirakit- untuk membuktikan bahwa barang-barang itupun secara sempurna diproduksi sesuai kesepakatan dalam perjanjian bank dengan pihak eksportir tersebut.
3. Berdasarkan data-data lengkap yang diperoleh pihak pengelola proyek dan perkiraan berbagai pakar terhadap barang-barang tersebut dan terhadap pihak bank, harus dibuat kesepa-katan tentang masa kepermanenan untuk proses pembelian berba-gai barang dan perakitannya sehingga layak digunakan fasilitasnya untuk tujuan yang diinginkan. Dengan dasar itu, kesepakatan harus menetapkan waktu dimulainya penyewaan tentunya setelah selesainya perkiraan waktu proses di atas, agar semua barang-barang tersebut layak digunakan fasilitasnya untuk tujuan yang disepakati.
4. Selama masa penyewaan pihak penyewa berkewajiban membayar cicilan tertentu sesuai perjanjian penyewaan (kesepa-katan khusus dalam penyewaan). Ia juga memiliki komitmen untuk merawat barang, menjaganya, mengasuransikannya demi kepentingan bank.
5. Sementara pihak bank berkewajiban berdasarkan kesepa-katan ini untuk menjual barang-barang itu kepada pihak penyewa ketika selesai masa penyewaan dan setelah pembayaran cicilan yang disepakati dan sudah selesai dilaksanakan segala komitmen lain sesuai kesepakatan.