Jawaban Atas Syubhat Kedua

Sesungguhnya menghalalkan pembunuhan terha-dap para aparat keamanan di mana saja mereka berada karena menganggap mereka sebagai orang-orang yang kafir merupakan hal yang tidak boleh sebab syubhat yang dilontarkan oleh orang yang melakukan demikian adalah pengkafiran terhadap para Waliyyul Amri kaum Muslimin, baik mereka itu sebagai para ulama ataupun umara’ sehingga secara otomatis juga mengkafirkan orang-orang yang bekerja dengan mereka, selain, pendapat semacam ini secara argumentatif lemah di mana orang-orang biasa pun dapat mengetahui kebatilannya begitu mendengarnya. Maka apakah harus diterima pendapat para penuntut ilmu padahal masih banyak para ulama yang mumpuni, yang kita kenal mereka itu tidak mengkafirkan seorang penguasa ataupun seorang ulama dengan cara (menunjuk langsung pada orangnya? Tentunya tidak asing lagi bagi orang-orang yang berpikiran sehat betapa seriusnya masalah ‘pengkafiran’ sebab ia termasuk hal yang amat berbahaya, yang menyeret orang yang terjerumus ke dalam jurang-jurang berbahaya? –Kita memohon kepada Allah semoga diselamatkan dari hal seperti ini–. Tentu, yang mengetahui apakah syarat-syarat pengkafiran terpenuhi dan penghalang-penghalangnya telah hilang, hanya para ulama yang mumpuni keilmuannya, yaitu para ulama besar sehingga orang yang jahil atau penuntut ilmu pemula tidak dibenarkan untuk mengkafirkan salah seorang dari para umara’ (penguasa) ataupun para ulama.

Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah rahimahullah berkata, “Tidak boleh terburu-buru mengkafirkan para ulama kaum Muslimin dan wajib menahan pengkafiran mereka, sekalipun mereka bersalah sebab menahan pengkafiran terhadap mereka termasuk tujuan-tujuan syariat yang paling realistis dan siapa saja yang mengkafirkan mereka, maka ia berhak untuk mendapatkan sanksi yang berat.”( Majmû’ al-Fatâwa, Op.Cit., Jld.XXXV, h.100-103)

Beliau juga mengatakan, “Tidak ada yang diperkenankan memvonis ‘murtad’ kecuali orang-orang yang mengetahui benar madzhab-madzhab para imam dan tidak boleh membiarkan orang-orang jahil (dengan seenaknya) mengkafirkan ulama kaum Muslimin sebab membiarkan mereka mengkafirkan para ulama kaum Muslimin termasuk kemungkaran paling besar.”( Majmû’ al-Fatâwa, Op.Cit., Jld.XXXV, h.100)

Di antara hal yang tidak diragukan lagi, bahwa mengkafirkan para ulama atau umara’ serta orang-orang yang bekerja bersama mereka tanpa dalil yang benar dan tanpa mengetahui terpenuhinya syarat serta tidak adanya penghalang-penghalangnya adalah termasuk berkata atas nama Allah tanpa berdasarkan ilmu.

Ibn al-Qayyim rahimahullah berkata, “Allah telah melarang berkata atas nama Allah tanpa ilmu di dalam berfatwa dan qadha’ (memutuskan hukum) dan menjadikan hal itu sebagai Muharramât (hal-hal yang diharamkan) paling besar bahkan menempatkannya pada posisi tertinggi darinya. Allah berfirman, “Katakanlah,’Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui’.” (Al-A’râf: 33).

Dan hal ini mencakup berkata atas nama Allah tanpa ilmu di dalam asmâ`, sifat dan perbuatanNya serta dalam agama dan syariatNya. Allah Ta’ala berfirman, “Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung, (itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan bagi mereka adzab yang pedih.” (an-Nahl: 116-117).

Dalam ayat ini, Allah mengemukakan kepada mereka ancaman berdusta terhadapNya di dalam hukum-hukumNya dan (ancaman atas) perkataan mereka terhadap yang tidak diharamkanNya sebagai haram dan terhadap yang tidak dihalalkanNya sebagai halal. Ini merupakan penjelasan dari-Nya bahwa tidak boleh seorang hamba mengatakan, ‘Ini halal dan ini haram’ kecuali terhadap hal yang diketahui (dipastikan) bahwa Allah Ta’ala sudah menghalalkan dan mengharamkannya.”( A’lâm al-Muwaqqi’în karya Ibn al-Qayyim, Jld.I, h.42-43)

Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata, “Siapa saja yang bersusah-susah terhadap hal yang tidak diketahuinya dan belum dapat dibuktikan oleh pengetahuannya, maka keberuntungannya mendapatkan kebenaran –jika kebetulan mendapatkannya tanpa diketahuinya– adalah kurang terpuji, wallahu ‘alam. Dan dengan kesalahannya itu ia tidak dapat dimaafkan bila ia mengatakan hal yang tidak diketahuinya dalam membedakan antara yang salah dan benar di dalamnya.”( Ar-Risâlah, Op.Cit., h.53)

Tidak dapat disangkal lagi bahwa hal ini berkenaan dengan peringatan kepada kaum Muslimin agar tidak terburu-buru dalam memberikan vonis-vonis terhadap orang per orang, seperti mengkafirkan atau menilai mereka berbuat bid’ah (tabdî’) tanpa ma’rifah dan ilmu. Apakah seorang Muslim begitu lancang mengkafirkan orang yang tidak dicap kafir oleh Allah dan RasulNya, padahal ia mengetahui betapa bahayanya masalah ini?

Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأَخِيْهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا

“Bila seorang laki-laki berkata kepada saudaranya, ‘Hai si kafir’ maka ia akan kembali (mengenai) kepada salah satu dari keduanya.”

Dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,

إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ

“Jika memang seperti yang ia bilang (maka akan mengenai orang yang dikatakan kepadanya tersebut-penj.) tetapi bila tidak, maka ia akan kembali kepadanya (yang mengatakannya-penj.).”( HR. al-Bukhari: 6103 dan Muslim: 60)

Ibn al-Qayyim rahimahullah mengambil sikap keras di dalam bukunya Madârij as-Sâlikîn terhadap orang yang berkata atas nama Allah tanpa ilmu. Beliau berkata, “Adapun berkata atas nama Allah tanpa ilmu, maka ini termasuk hal-hal yang diharamkan paling keras dan paling besar dosanya. Karena itu, ia menduduki pe-ringkat keempat dari seluruh hal-hal yang diharam-kan (al-Muharramât) yang semua syariat dan agama bersepakat atasnya dan tidak membolehkannya sama sekali bahkan hukumnya hanya haram saja, tidak se-perti hukum bangkai, darah dan daging babi yang dibolehkan pada kondisi tertentu. Sebab, hal-hal yang diharamkan itu terdiri dari dua jenis: Satu jenis diharamkan karena zatnya dan sama sekali tidak dibolehkan dan satu jenis lagi diharamkan karena kondisi mende-sak dan tertentu.

Mengenai hal-hal yang diharamkan karena zatnya, Allah Ta’ala berfirman (dalam surat al-A’râf: 33), “Katakanlah, ‘Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar.” Kemudian berpindah kepada pengharaman yang lebih besar lagi dalam firmanNya selanjutnya, “(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu.” Kemudian kepada hal yang lebih besar lagi dari yang kedua ini, yaitu dalam firmanNya selanjutnya, “dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui.”

Inilah hal-hal yang diharamkan paling besar di sisi Allah dan paling keras dosanya sebab mengandung kedustaan terhadap Allah, menisbatkan sesuatu yang tidak pantas kepadaNya, merubah dan mengganti agamaNya, menafikan sifat yang telah ditetapkanNya dan menetapkan sifat yang telah dinafikanNya, merealisasikan hal yang dibatalkanNya dan membatalkan hal yang telah direalisasikanNya, memusuhi orang yang dijadikanNya penguasa dan mengangkat orang yang dijadikanNya musuh sebagai penguasa, mencintai hal yang dibenciNya dan membenci hal yang dicintaiNya serta memberiNya sifat yang tidak layak bagiNya di dalam dzat, sifat, firman dan perbuatanNya. Di dalam deretan jenis-jenis hal yang diharamkan Allah, tidak ada hal yang lebih besar dan lebih keras dosanya di sisi Allah darinya (berdusta terhadap Allah-penj.). Dia lah yang merupakan pangkal kesyirikan dan kekufuran, di atasnya bid’ah-bid’ah dan kesesatan-kesesatan dibangun. Setiap bid’ah yang menyesatkan dalam agama, pangkal utamanya adalah berkata atas nama Allah tanpa ilmu.”( Madârij as-Sâlikîn karya Ibn al-Qayyim, Jld.I, h.367-368)

Renungkanlah ucapan ini wahai saudaraku, berhati-hati dan berhati-hatilah dari berkata atas nama Allah tanpa ilmu. Sebagian ulama Salaf berkata, “Hendaknya kamu berhati-hati dari mengatakan, ‘Allah menghalalkan ini dan mengharamkan itu,’ lalu Allah akan berkata kepadamu, ‘Engkau bohong, Aku tidak pernah menghalalkan ini dan mengharamkan itu.’ Yakni menghalalkan dan mengharamkan dengan semata berlandaskan pendapat yang tidak diiringi dalil dari Allah dan RasulNya. (Madârij as-Sâlikîn karya Ibn al-Qayyim, Jld.I, h. 368)

Ibn al-Qayyim rahimahullah berkata, “Oleh karena itulah, berdusta terhadap Allah dan RasulNya dapat memastikan seseorang masuk neraka dan mengambil salah satu posisinya sebagai tempat duduk, yaitu tempat tetap yang tidak akan ditinggalkan lagi oleh penghuninya sebab ia mengandung perkataan atas nama Allah tanpa ilmu seperti berdusta secara nyata-nyata terhadap-Nya. Di samping itu, karena apa yang dinisbatkan kepada Rasul maka pasti ia juga dinisbatkan kepada Mursil (Sang Pengutus, yaitu Allah). Berkata atas nama Allah tanpa ilmu merupakan kedustaan yang terang-terangan terhadapNya. Allah berfirman, “Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang membuat-buat suatu kedustaan terhadap Allah.” (al-An’âm: 21) Maka, semua dosa para pelaku bid’ah masuk dalam jenis ini sehingga taubat tidak dapat direalisasikan kecuali dengan bertaubat dari perbuatan-perbuatan bid’ah tersebut.” (Madârij as-Sâlikîn karya Ibn al-Qayyim, Jld.I, h. 368)