B. Agama Islam memerintahkan agar menepati janji dan mengharamkan pembatalannya

Allah Ta’ala telah memerintahkan di dalam kitabNya agar menepati janji di dalam beberapa tempat, di antaranya: “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (al-Isrâ’: 34).

“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (An-Nahl: 91).

“Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (al-An’âm: 152).

Jadi, kita wajib menepati janji terhadap orang-orang kafir yang membuat perjanjian (mu’âhadûn) hingga waktu yang telah disepakati antara kita dan mereka selama mereka tetap komitmen terhadap perjanjian tersebut. (Lihat, Irsyâd Uli al-Albâb, karya Ismâ’il Jamâl, h.73)

Mengenai hal ini, Allah berfirman, “Kecuali orang-orang musyirikin yang kamu mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.”(at-Taubah: 4)

Dan firmanNya, “Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka.” (At-Taubah: 7).

Bila ada seorang non Muslim meminta perlindungan agar dapat mendengar Kalamullah, maka wajib bagi kaum Muslimin untuk memberikan perlindungan terhadapnya. Hal ini berdasarkan firman Allah, “Dan jika seseorang di antara orang-orang musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (At-Taubah: 6).

Wajib bagi seluruh kaum Muslimin untuk menepati perjanjian ini walaupun yang membuat perjanjian ini adalah individu dari kalangan awam atau seorang wanita. Apalagi yang membuatnya adalah Waliyyul Amri (penguasa) kaum Muslimin. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

ذِمَّةُ اْلمُسْلِمِيْنَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ

“(Perjanjian) perlindungan kaum muslimin seperti satu kesatuan, (dapat) diupayakan oleh kalangan paling bawah di antara mereka.”( HR. al-Bukhari: 1870)

Ibn Hajar rahimahullah berkata, “Yakni perlindungan yang mereka berikan adalah benar. Bila salah seorang di antara mereka memberikan perlindungan kepada seorang kafir, maka orang selainnya diharamkan untuk mengusiknya. Pemberian perlindungan memiliki beberapa persyaratan yang sudah dikenal. Al-Baidhâwy berkata, ‘Makna adz-Dzimmah (perlindungan) adalah al-‘Ahd (perjanjian), dikatakan demikian karena orang yang memberikannya dicela bila menyia-nyiakannya … Kalimat (dalam teks hadits-penj.) Yas’a biha; maknanya dapat mengurusinya (pemberian perlindungan) sehingga ia (orang kafir) bisa pergi dan datang.” (Lihat, Fath al-Bâry karya Ibn Hajar, Jld.IV, h.112)

Imam ash-Shan’âni rahimahullah berkata, “Hadits-hadits tersebut (yang diketengahkannya di dalam kitabnya -penj.) menunjukkan sahnya perlindungan yang diberikan oleh setiap Muslim kepada orang kafir. Ini adalah pendapat Jumhur ulama.” (Subul as-Salâm, Op.Cit., h.120)

Juga berdasarkan ucapan Rasulullah kepada Ummu Hâni’ binti Abu Thalib radhiallahu ‘anha,

قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ

“Sudah kami berikan perlindungan orang yang telah engkau beri perlindung itu, wahai Ummu Hâni’.”( HR. al-Bukhari: 3171)

Para ulama telah mencatatkan di dalam buku-buku mereka bahwa pemberian perlindungan berlaku baik dengan lafazh yang sangat jelas seperti أَجَرْتُكَ dan أَمَّنْتُكَ (keduanya bermakna; aku telah memberikanmu perlindungan), أَنْتَ آمِنٌ (kamu berada dalam perlindungan) ataupun dengan kinayah (sindiran) seperti أَنْتَ عَلَى مَا تُحِبُّ (kamu dapat berbuat sesukamu) atau كَيْفَ شِئْتَ (terserah kamu). (Lihat, al-Asybâh Wa an-Nazhâ`ir karya as-Suyûthi, h.506)

Bilamana pemberian perlindungan dapat berlaku walaupun dengan lafazh kinayah, maka apakah masuk akal hanya bila tidak ditepati tanpa sebab apa pun? Jawabnya yang pasti adalah tidak masuk akal!

Sebagaimana Allah telah mengharamkan pembatalan perjanjian dan berkhianat terhadap orang yang sudah diberikan perjanjian karena ia termasuk bentuk khianat yang dilarang Allah Ta’ala sebagaimana dalam firmanNya, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu, mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Al-Anfâl: 27).

Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun telah memperingatkan agar tidak melanggar perjanjian apa pun yang telah dibuat oleh seorang Muslim dalam sabdanya,

ذِمَّةُ اْلمُسْلِمِينَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ؛ فَمَنْ أَخْفَرَ مُسْلِمًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَاْلمَلاَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ، لاَ يُقْبَلُ مِنْهُ صَرْفٌ وَلاَ عَدْلٌ

“Perlindungan Muslim itu (seperti) satu kesatuan, (dapat) diupayakan oleh kalangan bawah di antara mereka; siapa saja yang mengkhianati seorang Muslim, maka mendapat laknat Allah, Malaikat dan seluruh manusia, tidak diterima syafaat dan fidyah darinya.” (HR. al-Bukhari: 3179)

Dan sabdanya,

مَنْ كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قَوْمٍ عَهْدٌ فَلاَ يَحُلَّنَّ عَقْدًا وَلاَ يَشُدَّنَّهُ حَتَّى يَمْضِيَ أَمَدُهُ أَوْ يَنْبِذَ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ

“Barangsiapa yang membuat perjanjian dengan suatu kaum, maka hendaklah ia tidak membatalkan akadnya dan tidak pula menguatkannya hingga temponya berlalu atau mengembalikannya kepada mereka dengan cara yang jujur.”( HR. at-Tirmidzi: 1580; Abu Daud: 2759 dan Imam Ahmad di dalam Musnad al-Kûfiyyîn dan Musnad asy-Syâmiyyîn dari hadits ‘Amr bin ‘Absah. At-Tirmidzi berkata, “Hadits Hasan Shahîh.” Syaikh al-Arna`ûth berkata, “Dan sanadnya adalah Shahîh.”)

Ibn al-Qayyim rahimahullah berkata ( Lihat, Zâd al-Ma’âd karya Ibn al-Qayyim, Jld.V, h.88 ), “Tatkala Quraisy menawan Hudzaifah bin al-Yamân dan ayahandanya, mereka membebaskan keduanya dan membuat perjanjian dengan mereka berdua agar keduanya bersama Rasulullah tidak memerangi mereka saat mereka keluar ke Badar (untuk berperang). Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اِنْصَرِفَا نَفِي لَهُمْ بِعَهْدِهِمْ وَنَسْتَعِينُ اللهَ عَلَيْهِمْ

“Kembalilah kamu berdua, kami akan menepati janji mereka dan meminta pertolongan kepada Allah atas mereka.”( HR. Muslim: 1787)

Ibn al-Qayyim rahimahullah juga mengetengahkan dalil-dalil yang banyak sekali, yang menjelaskan putusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam menepati janji musuhnya dan terhadap para utusannya (musuh tersebut) agar tidak dibunuh dan ditahan serta (putusan) di dalam mengembalikan kepada orang yang membuat perjanjian dengan cara yang jujur bila takut dia melanggar perjanjian tersebut.” (Zâd al-Ma’âd, Op.Cit.,h.88)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga menerangkan kepada kita bahwa berkhianat merupakan salah satu sifat orang-orang munafik. Hal ini seperti yang dinyatakan di dalam kitab Shahîh al-Bukhary dari hadits ‘Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَرْبَعُ خِلاَلٍ مَنْ كُنَّ فِيْهِ كَانَ مُنَافِقًا خَالِصًا: مَنْ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا عَاهَدَ غَدَرَ، وَإِذَا خَاصَمَ فَجَرَ، وَمَنْ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كَانَتْ فِيْهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفَاقِ حَتَّى يَدَعَهَا

“Siapa yang ada padanya empat karakter, maka ia adalah seorang munafik sejati: Yang bila bicara, berdusta; bila berjanji, ingkar janji; bila membuat perjanjian, berkhianat dan bila bertengkar, sadis (berlebihan dalam memerangi). Siapa yang ada padanya salah satu darinya, maka berarti ada padanya satu kemunafikan hingga ia meninggalkannya.”( HR. al-Bukhari: 3178)

Di dalam kitab ash-Shahîhain Ibn Umar juga berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يُنْصَبُ لِغَدْرَتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Setiap pengkhianat memiliki panji yang ditancapkan karena pengkhianatannya pada hari Kiamat (kelak).”

Sedangkan di dalam riwayat Anas disebutkan,

لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ -قَالَ أَحَدُ الرُّوَاةِ: يُنْصَبُ، وَقَالَ اْلآخَرُ: يُرَى يَوْمَ اْلقِيَامَةِ- يُعْرَفُ بِهِ

“Setiap pengkhianat memiliki panji pada hari Kiamat –Salah seorang dari para periwayat berkata, ‘ditancapkan.’ Sedangkan periwayat lain berkata, ‘terlihat pada hari Kiamat’- yang ia dikenal dengannya (sebagai tanda pengenalnya).”( HR. al-Bukhari: 3187,3186 ; Muslim: 1736)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Makna ‘setiap pengkhianat memiliki panji‘ maksudnya tanda yang dikenal manusia… Sedangkan makna ‘pengkhianat’ adalah orang yang membuat perjanjian tetapi tidak menepatinya… Di dalam hadits-hadits ini terdapat penjelasan betapa kerasnya pengharaman perbuatan khianat.” (Lihat, Syarh an-Nawawi, Op.Cit., h.319)

Ibn Hajar rahimahullah juga berkata, “Makna ‘setiap pengkhianat memiliki panji’ maksudnya tanda yang dikenal manusia… Sedangkan makna ‘pengkhianat’ adalah orang yang membuat perjanjian tetapi tidak menepatinya… Di dalam hadits-hadits ini terdapat penjelasan betapa kerasnya pengharaman perbuatan khianat.” (Fath al-Bâry, Op.Cit., h.112)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan kepada umatnya bahwa perjanjian tidak boleh dibatalkan tetapi harus ditepati dalam sabdanya, “Aku tidak melanggar perjanjian dan tidak membunuh para utusan.”( HR. Abu Daud: 2758 dan diriwayatkan Imam Ahmad di dalam Musnad al-Anshâr.)

Di dalam hadits ini terdapat penjelasan dari Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya bahwa di antara sifat-sifat beliau adalah tidak melanggar perjanjian orang yang sudah membuat perjanjian dengannya sekalipun ia seorang kafir, wajib bagi seluruh umat tanpa terkecuali untuk menepati perjanjian ini.

Di antara para ulama yang mencatatkan mengenai hal ini adalah Imam ash-Shan’âni ketika memberikan komentar setelah memaparkan hadits di atas, “Hadits ini menunjukkan keharusan menjaga perjanjian dan menepatinya sekalipun terhadap orang kafir.” (Subul as-Salâm, Op.Cit., h.126)