Saudara-saudara sidang Jum’at rahimakumullah

Dienul Islam, sebelum memfardhukan syiar-syi’arnya lebih dulu memperbaiki bagian dalam (fikrah/hati) pemeluknya. Dienul Islam sebelum memperbaiki sisi luarnya (lahiriyah), lebih dulu memperhatikan akarnya. Rukun Islam dan syiar-syiarnya yang dhohir adalah tiang Islam seperti shalat yang difardhukan pada malam isra, 12 tahun setelah bi’tsah (masa kenabian), puasa setelah 15 tahun, zakat sesudah 15 tahun dan haji sesudah 23 tahun dari bi’tsah. Apa rahasia semua ini?

Beliau Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam melakukan usaha yang sangat melelahkan dalam nenancapkan akar-akar (pondasi) keimanan, memperbaiki jiwa pemeluk Islam, mengkokohkan tauhid, menjelas-kan makna kalimat laailaha illallah, mempertautkan hati para shahabat dan mengukuhkan ikatan dengan Sang Penciptanya, dan memperbaiki bathiniyah mereka. Dan yang menciptakan fitrah ini mengetahui bahwa yang dhohir harus ditegakkan di atas yang bathin, syiar-syiar ibadah harus ditegakkan berdasarkan ilmu.

Suatu pelajaran berharga dari hikmah turunnya wahyu pertama adalah “IQRO”. Maka dari sini, jelaslah bahwa yang dida’wahkan oleh Islam yang pertama kali adalah belajar dan menyingkirkan kebodohan. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:

اَلْجَهْلُ وَالظُّلْمُ هُمَا أَصْلُّ كُلِّ شَرٍّ.

“Kebodohan dan kezhaliman adalah pangkal dari segala keburukan”. Umar bin Khathab berkata:

لاَ يَعْرِفُ اْلإِسْلاَمَ مَنْ لاَ يَعْرِفُ الْجَاهِلِيَّةَ.

“Seseorang tidak bisa mengenal Islam apabila dia tidak mengerti jahiliyah”.

Wahai saudara-saudaraku …

Perkataan ini berlaku untuk sejarah kapanpun dan manusia manapun. Sejauh mana kita mengenal jahiliyyah, sejauh itu pulalah kita mengenal Islam.

Kita dapat mengerti definisi jahiliyah dalam Al-Qur’an. Yang pertama kita harus tahu bahwa lafazh jahiliyah merupakan istilah Al-Qur’an. Semua istilah Al-Qur’an digunakan secara khusus, dengan menggunakan lafazh tertentu, yang dikhususkan dengan pengertian tertentu pula.

Sebagaimana lafazh Ash-shalat, Az zakat, Al-Iman, Al-Kufru dan lain-lain. Lafazh shalat menurut bahasa adalah doa, tetapi bila dalam Al-Qur’an disebut lafad Ash shalat, pikiran kita langsung faham bahwa shalat adalah melakukan gerakan tertentu, mengha-dap kibat, ada takbiratul ikhram, ruku’, sujud, hingga salam.

Demikian pula jahiliyah, Jahil menurut bahasa adalah lawan dari kata ilmu atau lawan dari kata sopan santun, tetapi apabila Al-Qur’an menyebutkan jahiliyah, maka jahiliyah tersebut bermakna tertentu. Antara lain:

  • Tidak mengetahui hakekat Uluhiyyah
    Dan Kami seberangkan Bani Isra’il keseberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang tetap menyembah berhala mereka. Bani Isra’il berkata: “Hai musa, buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)”. Musa menjawab: “Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui (sifat-sifat Allah)”. (QS. Al-A’raf:138)
  • Terjebak dalam perbuatan yang menyalahi perintah Allah dan yang diharamkanNya. “Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai dari pada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipudaya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf: 33).
  • Berhias dan bertingkah laku menyalahi perintah Allah.
    Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. (QS. Al-Ahzab:33).
  • Berhukum dengan selain hukum yang ditetapkan Allah.
    Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki. Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (Al-Maidah: 50).

Saudara seiman rahimakumullah …

Kondisi semacam ini banyak terjadi di perbagai belahan dunia Islam. Bahkan semangat di negeri ini untuk mendalami keduniaan mendapat perhatian besar dan digalakkan. Sebenarnya masing-masing kita bisa menggambarkan betapa ketidaktahuan umat Islam akan ajaran diennya dewasa ini telah sampai pada ‘titik’ yang sangat mengkhawatirkan. Padahal Allah Subhannahu wa Ta’ala telah mengecam manusia yang semacam ini dalam firmanNya:

Janji Allah, yang Allah tidak akan menyelisihi janjiNya. Tetapi kebanyakan menusia tidak mengerti, mereka (hanya) mengetahui secara lahir (saja) dari kehidupan dunia, mereka lalai terhadap akhirat. (QS. Ar Ruum: 6-7).

Imam Ibnu Katsir dalam menafsiri ayat yang ketujuh mengatakan: ”Maksudnya kebanyakan manusia seakan tidak punya ilmu kecuali ilmu dunia dengan segala ragamnya. Dalam masalah ini mereka cendekia tetapi mereka lalai (bodoh) terhadap perkara-perkara dien dan hal-hal yang bermanfaat bagi mereka di akherat. Mereka dalam hal ini bagai orang dungu yang tak punya nalar dan akal pikiran!”.

Demi Allah, wahai saudara-saudaraku …
Kebodohan adalah sumber penyimpangan. Dapat kita ketahui tragedi penyimpangan dalam sejarah Islam.

Bila penyimpangan yang dilakukan Iblis merupakan penyim-pangan perdana dalam sejarah, maka penyimpangan yang dilakukan oleh kaum khawarij tercatat sebagai yang pertama dalam sejarah umat Nabi Muhammad n.

Ketika itu Dzil Khuwaisharah At-Tamimi berkata kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam: “Berbuat adillah hai Muhammad, sesungguhnya engkau tidak berbuat adil”.

Peristiwa ini terjadi ketika Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam membagi ghanimah (rampasan perang) hunain kepada para sahabat yang ikut pada peristiwa peperangan hunain. Maka muncullah protes itu, sampai sahabat Umar bin Khathab Radhiallaahu anhu berkata: “Bagaimana kalau orang ini saya bunuh ya Rasulullah?”, lalu Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda: “Dari jenis orang ini, akan muncul suatu kaum yang keluar dari Islam sebagaimana melesatnya anak panah dari busurnya…!”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Jelas bahwa protes yang semacam itu adalah penentangan terang-terangan terhadap Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam yang lahir dari sikap takabur dan mengikuti hawa nafsu serta kebodohan.

Saudaraku seiman…

Telah kami sebutkan bahwa syi’ar-syi’ar ibadah harus ditegakkan berdasarkan ilmu, demikian pula amal harus didasari ilmu jika tidak akibatnya akan terjerumus ke dalam bid’ah, syirik yang akan membuat sia-sianya amal.

Berkata Fudhail bin Iyadh: “Sesungguhnya amal yang dikerjakan dengan ikhlas tetapi tidak benar tidak akan diterima begitu juga jika amal itu ikhlas namun tidak benar, ikhlas hendaklah amal itu hanya untuk Allah dan benar hendaklah tegak berdasarkan sunnah”.

Dari perkataan Fudhail bin Iyadh dapat kita jabarkan lagi, sesungguhnya ibadah (amal) dalam Islam mempunyai dua syarat mutlak untuk bisa diterima di sisi Allah azza wa jalla. Yang keduanya harus dipadukan tidak boleh diambil sebagian dan ditinggalkan sebagian. Adapun dua syarat yang dimaksud adalah:

  • Ikhlas ; adalah memfokuskan tujuan ibadah (amal) hanya kepada Allah semata tidak memalingkan kepada selainNya sekecil apapun. Syarat ini berkaitan erat dengan niat yaitu dorongan awal dari dikerjakannya semua amal.
    Sesungguhnya setiap amal itu disesuaikan dengan niatnya dan setiap orang akan diganjar sesuai dengan niatnya pula. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
  • Mutaba’ah ; yaitu mengikuti sunnah Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam . Seseorang yang mau beramal dalam Islam harus menyelaraskan amalnya dengan sunnah Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam . Sebab jika tidak demikian akan menjerumuskan ke dalam kubangan bid’ah. Bid’ah adalah suatu cara dalam dien yang diciptakan untuk menandingi syari’at dengan maksud untuk dipraktekkan dalam ibadah.

    Banyak sekali orang yang mengerjakan ibadah dengan ikhlas tetapi sungguh sayang mereka bodoh, tidak berilmu, tidak faham dengan sunnah sehingga sia-sia amalnya. Ali bin Abi Thalib Radhiallaahu anhu berkata:

    قَصَمَ ظَهْرِيْ رَجُلاَنِ؛ عَالِمٌ مُتَهَتِّكٌ وَجَاهِلٌ مُتَنَسِّكٌ.

    “Dua orang yang membuat lemah punggungku, orang berilmu yang merusak dan orang bodoh yang rajin beribadah.”

Akibat lain dari kebodohon terhadap dien adalah terperosok ke dalam penghambaan kepada selain Allah. Ketika Adi bin Hatim menghadap Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam , di lehernya tergantung salib dari perak, kemudian Nabi Shalallaahu alaihi wasalam membacakan ayat:

Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah. (QS. At-Taubah: 31)

Maka jawab Adi bin Hatim: “Sesungguhnya mereka tidak menyembahnya!” Sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam : “Benar, tetapi sesungguhnya mereka mengharamkan yang halal, dan menghalalkan yang haram, lalu mereka mengikuti, itulah ibadah kepada mereka”. (HR. At-Tirmidzi).

Dari kisah ini nampak ketidaktahuan Adi bin Hatim tentang hakekat ibadah, Adi mengira bahwa ibadah hanya ruku’ dan sujud, tetapi dibantah oleh Rasulullah, bahwa ketaatan atas ketentuan selain yang diputuskan oleh Allah juga termasuk ibadah.

Berkata Imam Sufyan Ats Tsauri: “Bid’ah itu lebih dicintai iblis dari pada kemaksiatan, karena orang yang berbuat maksiat mempunyai keinginan untuk bertaubat dari nya.”

Sedang perbuatan bid’ah yang salah dianggap hasanah dan ibadah, mana mungkin orang ini bertaubat dari kesalahannya, kalau kesalahan itu dianggap hasanah. Sehingga ahlul bid’ah lebih dicintai oleh iblils la’natullah, naudzubillah. Orang seperti ini akan bertaubat bila diberi ilmu dan hidayah oleh Allah. Kita berdo’a semoga kita semua senantiasa ditunjuki ke jalan yang lurus. Amiiin.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.

Khutbah Kedua

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. قَالَ تَعَالَى: {وَمَن يَتَّقِ اللهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا} وَقَالَ: {وَمَن يَتَّقِ اللهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا}
ثُمَّ اعْلَمُوْا فَإِنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ عَلَى رَسُوْلِهِ فَقَالَ: {إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا}.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ. اَللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ باَطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ. وَأَقِمِ الصَّلاَةَ.

Bacaan Khutbah Pertama :

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ الْكَرِيْمِ الْمَنَّانِ الرَّحِيْمِ الرَّحْمَنِ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى حَمْدًا يَدُوْمُ عَلَى الدَّوَامِ، وَأَشْكُرُهُ عَلَى الْخَيْرِ وَاْلإِنْعَامِ، وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ مِنَ الذُّنُوْبِ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مَحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ صَلاَةً وَسَلاَمًا دَائِمَيْنِ مَتُلاَزِمَيْنَ عَلَى مَمَرِّ اللَّيَالِيْ وَالزَّمَانِ، وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ؛
قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

Oleh: Richana Widayani