Masalah Ketiga : ISLAM BERLEPAS DIRI DARI PEMBUNUHAN TERHADAP UMAT NON MUSLIM DI NEGERI MEREKA SENDIRI

Bila terdapat umat non Muslim di negeri mereka dan mereka tidak memerangi siapa pun, baik anak-anak, wanita atau orang tua bahkan kaum lelaki –mereka ini untuk zaman kontemporer ini disebut sebagai warga sipil–; maka diharamkan membunuh mereka.

Dalam hal ini, tidak mungkin menisbatkan bolehnya membunuh mereka kepada Dienul Islam sebab Islam berlepas diri dari hal itu karena beberapa alasan, di antaranya:

  • 1. Sebab hubungan antara negara-negara Islam dan negara asing (non Muslim) bisa berupa perjanjian ataupun perdamaian agar masing-masing tidak saling melakukan penyerangan. Karena itu, sudah sewajibnya kaum Muslimin menepati perjanjian dan tidak melang-garnya. Allah Ta’ala berfirman di dalam kitabNya, “Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Al-Anfâl: 58).

    Bilamana mereka membatalkan perjanjian, maka harus diberi peringatan sebelum menyerang mereka hingga mereka mengetahuinya dan bersiap-siap untuk berperang. Sementara pembatalan perjanjian dari pihak kaum Muslimin hukumnya tidak boleh. Hal ini berdasarkan firman Allah, “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isrâ`: 34).

    Ini menunjukkan haramnya melakukan pelanggaran (hal yang melampaui batas) terhadap umat non Muslim di negeri mereka, bahkan Allah telah mengharamkan hal tersebut dalam firmanNya, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Baqarah: 190).

    Dan juga firmanNya, “Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus (pula) terhadap mereka.” (At-Taubah: 7).

  • 2. Bahwa di tengah mereka yang jadi target pembunuhan tersebut terdapat bocah, wanita yang lemah dan orang tua renta. Mereka semua sama sekali tidak pernah ikut melakukan dosa yang dilakukan orang selain mereka padahal kita dilarang di dalam Dienul Islam untuk membunuh orang-orang seperti itu.

    Oleh karena itu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat ada seorang wanita terbunuh di dalam salah satu peperangannya, beliau mengatakan, “Tidak sepantasnya wanita ini diperangi.”( HR. al-Bukhari: 3014 dan Muslim: 1744)

    Imam ash-Shan’âny rahimahullah berkata, “Sufyân berkata, az-Zuhry berkata, ‘Kemudian setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang pembunuhan terhadap kaum wanita dan anak-anak. Di antara yang memperkuat bahwa larangan tersebut terjadi dalam perang Hunain adalah riwayat al-Bukhari: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

    اِلْحَقْ خَالِدًا فَقُلْ لَهُ لاَ تَقْتُلْ ذُرِّيَّةً وَلاَ عَسِيفًا

    ‘Temuilah Khâlid (bin al-Walîd-penj.) lalu katakan kepadanya agar tidak membunuh anak-anak dan pembantu.’ (Beliau rahimahullah mengisyaratkan adanya hadits di dalam Shahîh al-Bukhari. Dan setelah menelusurinya, ternyata hadits itu tidak ada. Hadits tersebut diriwayatkan Abu Daud: 2669; Ibn Mâjah: 2842 dan Imam Ahmad di dalam Musnad asy-Syâmiyyîn.)

    Dikatakan bahwa peperangan pertama Khâlid bersama Rasulullah adalah pada perang Hunain dan tentunya bukan rahasia lagi bahwa dia telah mengikuti peristiwa Fathu Makkah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum itu.” (Lihat, Subul as-Salâm, Op.Cit.,h.96)

  • 3. Siapa saja yang mendapatkan perlindungan dari kaum Muslimin, maka kaum Muslimin harus berperang membela mereka, menjaga kehormatan dan kemuliaan mereka. Karena itu, Imam al-Bukhari membuat sebuah bab di dalam kitabnya berjudul “Bab: al-Washâya Bi Ahl Dzimmati Rasûlillâh (Bab mengenai wasiat terhadap orang-orang yang mendapatkan perlin-dungan dari Rasulullah).” Beliau berkata, “Dari Umar radhiallahu ‘anhu, ‘Dan aku berwasiat kepada kalian agar menjaga perlindungan Allah sebab ia adalah perlindungan Nabi kalian dan rizki bagi tanggungan kalian.” (HR. al-Bukhari: 668)

    Manakala Islam sudah memerintahkan agar membela dan tidak membebani mereka dengan hal yang di luar batas kemampuan mereka, maka bagaimana bisa dikatakan bahwa boleh membunuh atau menyakiti mereka?

    Imam al-Qarâfy rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, dibuatnya akad perlindungan mengandung konsekuensi adanya kewajiban kita terhadap mereka sebab mereka hidup bertetangga dengan kita, di dalam pengawasan kita, di dalam perlindungan Allah, RasulNya dan Dienul Islam; maka barangsiapa yang melanggar hak mereka sekalipun dengan ucapan jelek, menggunjing kehormatan salah seorang mereka, menyakitinya dengan jenis apa pun atau ikut membantu atas hal itu, berarti dia telah menyia-nyiakan perlindungan Allah, RasulNya dan Dienul Islam.” (Lihat, al-Furûq karya al-Qarâfi, Jld.III, h.14)

  • 4. Bahwa agama Islam telah memerintahkan agar berbuat baik terhadap umat non Muslim selama mereka tidak memerangi kaum Muslimin.

    • a) Allah Ta’ala telah memerintahkan agar berbuat baik kepada orang yang tidak memerangi kaum Muslimin dalam firmanNya, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (Al-Mumtahanah: 8-9).

    • b) Bahwa kaum Muslimin diperintahkan agar memberikan kabar gembira dan mempermudah serta dilarang membuat orang lari (antipati) dan mempersulit. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

      بَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا وَيَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا

      “Berilah kabar gembira dan janganlah membuat lari, permudahlah dan jangan persulit.” (HR. Muslim: 1732)

      Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits tersebut mengandung perlunya menyentuh hati orang yang hampir masuk Islam dan tidak bersikap keras terhadap mereka… Pada dasarnya, perkara-perkara Islam di dalam pembebanan syariat selalu berjalan secara bertahap; kapan saja dipermudah bagi orang yang sedang berbuat ketaatan atau ingin berbuat ketaatan, maka akan mudahlah hal itu baginya, dan biasanya, impilikasinya ia akan menambahinya lagi namun bila dipersulit maka bisa jadi membuatnya tidak jadi melakukannya, dan sekalipun ia melakukannya maka tidak akan bertahan lama atau ia tidak melakukannya dengan suka hati.” (Lihat, Syarh an-Nawawi, Op.Cit., h.318)

  • 5. Bahwa tindakan membunuh umat non Muslim di negeri mereka akan menyebabkan beberapa dampak negatif, di antaranya:

    • a) Mereka akan melakukan penyerangan terhadap negeri-negeri Islam padahal mereka secara militer lebih maju dari kaum Muslimin. Ini tentunya akan menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penghinaan terhadap kaum Muslimin, pelecehan terhadap kehormatan mereka, pendudukan terhadap negeri-negeri mereka serta pengeksploitasian terhadap sumber daya alamnya.

    • b) Dipersulitnya gerakan kaum Muslimin di mana saja mereka berada, khususnya mengingat kondisi kaum Muslimin saat ini yang secara finansial begitu lemah, demikian juga secara militer dan penguasaan ilmu pengetahuan.

    • c) Mereka akan mencegah negara-negara Islam untuk memperoleh persenjataan yang canggih ataupun memproduksinya serta memperoleh berbagai disiplin ilmu modern ataupun sekedar mengambil manfaat darinya.

    • d) Menambah kerusakan di negeri-negeri Islam dalam skala besar dan secara lebih terfokus.

    • e) Mempersulit gerakan para dai dan lembaga-lembaga sosial dan dakwah Islamiyah bahkan memerangi lembaga-lembaga semacam ini dengan terkadang menuduh mereka sebagai biang terorisme dan terkadang ikut membantu tindakan terorisme serta berusaha untuk menghabisi apa pun yang dianggap sebagai simbol keislaman seperti hijab wanita Muslimah, memelihara jenggot dan simbol-simbol Islam lainnya.

    Di dalam sebuah kaidah terkenal yang dibuat para ulama kaum Muslimin, mereka menetapkan:

    دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِحِ

    “Menolak timbulnya berbagai kerusakan adalah lebih didahulukan ketimbang meraih kemaslahatan.” (Lihat, al-Madkhal Li Dirâsah asy-Syarî’ah al-Islâmiyyah karya ‘Abdul Karîm Zaidân, h.84) Seluruh madzhab selain madzhab azh-Zhâhiriyah memandang keharusan mengamalkan kaidah Sadd adz-Dzarâ’i’ (Lihat, Sadd adz-Dzarâ`i’ ‘Inda Ibn Taimiyah karya al-Muhanna, h.342) ini. Kaidah ini dinilai sebagai bentuk menjaga kemashlahatan. (Lihat, Sadd adz-Dzarâ`i’ ‘Inda Ibn Taimiyah karya al-Muhanna, h.344)

    Syaikhul Islam Ibn Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya syari’at datang untuk meraih kemaslahatan dan melengkapinya, menyetop kerusakan dan menguranginya, menguatkan yang paling baik dari dua hal yang baik, yang buruk dari dua hal yang paling buruk, meraih yang paling mashlahat dari dua hal yang bermashlahat dengan mengesampingkan yang paling sedikit maslahatnya dan menolak yang paling besar kerusakannya dari dua hal yang merusak dengan melakukan yang paling sedikit kerusakannya.” (Lihat, Majmû’ al-Fatâwa, Op.Cit., Jld.XX, h.48)

    Tentunya, apalagi dengan hal yang kerusakan (sisi negatif)nya lebih dominan dan tidak didapat satu pun adanya kemashlahatan yang dianggap (memenuhi standar)!!

  • 6. Bahwa Dienul Islam telah memerintahkan agar berlaku adil dan melarang adanya permusuhan menjadi sebab berlaku zhalim dan aniaya sekalipun terhadap umat non Muslim. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorong kamu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa.” (Al-Mâ’idah: 2).