Berikut ringkasan hukum-hukum seputar puasa enam hari di bulan Syawwal, semoga dapat bermanfa’at bagi kita semua.

A. Hukumnya

Puasa enam hari di bulan Syawwal hukumnya sunnah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari hadits Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia (pahalanya) seperti puasa setahun penuh”. (HR. Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan at-Tirmudzi)

Di dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah (Ensiklopedia Islam) disebutkan, “Jumhur ulama fiqih seperti madzhab Maliki, madzhab Asy-Syafi’i, madzhab Hanbali dan ulama muta’akhkhirin madzhab Hanafi berpendapat, puasa enam hari di bulan Syawwal adalah sunnah.

B. Keutamaannya

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan bahwa siapa saja yang berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka pahalanya seperti berpuasa setahun penuh, sebagaimana terdapat di dalam hadits di atas. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menafsirkan hal itu dengan mengatakan, “Siapa yang berpuasa enam hari setelah ‘Iedul Fithri, maka ia merupakan pelengkap satu tahun. Barangsiapa yang melakukan satu kebaikan, maka baginya sepuluh kali lipatnya.” Di dalam riwayat lain disebutkan, “Allah menjadikan satu kebaikan (setara) dengan sepuluh kali lipatnya, (puasa) satu bulan dengan (pahala puasa) sepuluh bulan dan puasa enam hari dengan (pahala puasa) setahun penuh.” (HR. an-Nasa’i dan Ibnu Majah)

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Para ulama berkata, “(Pahala) puasa itu seperti setahun penuh karena satu kebaikan senilai sepuluh kali lipatnya dan satu Ramadhan senilai dengan pahala sepuluh bulan dan enam hari dengan pahala dua bulan”.
Imam Ahmad rahimahullah dan an-Nasa’i, meriwayatkan dari Tsauban radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “(Ganjaran) Puasa Ramadhan senilai dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya) senilai dengan (puasa) dua bulan, maka itulah puasa selama setahun penuh”. (HR. Ibnu Khuzaimah di dalam kitab shahihnya)

C. Buahnya

Berikut kami nukil ucapan al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah:

  • Puasa enam hari di bulan Syawwal setelah Ramadhan menyempurnakan pahala puasa setahun penuh.

  • Puasa Syawwal dan Sya’ban adalah ibarat shalat sunnah rawatib sebelum atau sesudah shalat fardhu. Dengan begitu, maka ketimpangan dan kekurangan yang terdapat pada shalat fardhu dapat disempurnakan, karena pada hari Kiamat nanti amalan-amalan wajib akan disempurnakan dengan amalan-amalan sunnah. Kebanyakan manusia dalam menjalankan puasa wajib pasti memiliki kekurangan dan ketimpangan, karena itu ia membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.

  • Membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allah Ta’ala menerima amal seseorang hamba, pasti Dia akan memberikan taufiq untuk melakukan amal shalih setelahnya. Sebagian orang bijak mengatakan, “Pahala amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya”. Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama. Demikian pula sebaliknya, jika seseorang melakukan sesuatu kebaikan, lalu diikuti dengan keburukan, maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama dan tidak terkabulnya.

  • Sebagaimana yang telah disinggung, konsekuensi dari puasa Ramadhan adalah mendapatkan ampunan atas dosa-dosa masa lalu.

  • Orang yang berpuasa Ramadhan akan mendapatkan pahalanya pada hari Raya ‘Iedul Fithri yang merupakan hari pembagian hadiah, maka membiasakan puasa setelah ‘Iedul Fithri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat ini. Dan sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan Qiyamul lail hingga kedua kakinya bengkak, lantas ada yang bertanya kepadanya, “Kenapa kamu lakukan ini padahal Allah Ta’ala sudah mengampuni dosamu yang dulu dan yang akan datang?” Beliau menjawab, “Tidakkah selayaknya aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?”

    Allah Ta’ala telah memerintahkan para hambaNya agar bersyukur atas nikmat puasa Ramadhan, dengan ucapan maupun ungkapan rasa syukur lainnya. Dan di antara ungkapan rasa syukur seorang hamba atas taufiqNya dalam menjalankan puasa Ramadhan, pertolongan, dan ampunan atas dosanya adalah berpuasa setelah itu sebagai wujud rasa syukur terhadapNya.

Bila mendapatkan taufiq melakukan shalat malam, maka sebagian ulama salaf ada yang berpuasa pada siang hari esoknya dan menjadikan puasanya itu sebagai rasa syukur atas taufiqNya dalam melakukan shalat malam tersebut.

Permasalahan-Permasalahan Terkait

  • Dianjurkan sekali memulai puasa Syawwal pada hari ke-2 sebab hal itu merupakan bentuk menyegerakan berbuat baik.

  • Boleh berpuasa secara terpisah dalam bulan Syawwal tersebut dan tidak harus berurutan, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan dengan lafazh mutlak puasa dan tidak menyebut harus berurutan atau terpisah-pisah.

  • Siapa yang telah berpuasa Syawwal pada tahun tertentu, dianjurkan berpuasa di tahun mendatangnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Amalan-amalan yang paling dicintai Allah adalah yang paling konsisten (yang terus menerus) sekalipun sedikit”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

  • Diharuskan meniatkan puasa dari malam pada puasa enam hari di bulan Syawwal dan puasa-puasa sunnah yang Muqayyad (terikat) berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak meniatkan puasa dari malam harinya sebelum fajar, maka tidak (sah) puasanya”. (HR. An-Nasa’i, dishahihkan Syaikh Al-Albani) [Terdapat pendapat lain yang tidak mensyaratkan niat dari malam harinya selain pada puasa Ramadhan berdasarkan hadits yang lain-red]

  • Menyempurnakan puasa enam hari di bulan Syawwal bukan suatu keharusan; siapa yang mampu menyempurnakannya, maka hal itu lebih baik dan barangsiapa yang tidak mampu, maka tidak apa-apa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Orang yang berpuasa sunnah adalah pemilik perintah atas dirinya sendiri; jika mau, ia berpuasa dan bila mau, boleh berbuka (tidak berpuasa)”.Imam An-Nawawi rahimahullah di dalam kitabnya al-Majmu’ (VI:395) mengatakan, “Sanadnya Jayyid.”

  • Bagi orang yang memiliki kewajiban mengqadha puasa Ramadhan, sebaiknya mengqadha hari-hari yang ditinggalkan dari puasa Ramadhan itu terlebih dulu sebab hal itu lebih terjamin bagi tanggungan diri (hutang)nya. Juga, karena amal wajib harus didahulukan atas amal sunnah.

Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang mendahulukan puasa enam hari di bulan Syawwal atas mengqadha puasa wajib (Ramadhan) dalam dua pendapat:

Pertama, Keutamaan puasa enam hari di bulan Syawwal tidak dapat diraih kecuali oleh orang yang telah mengqadha puasa Ramadhan yang batal karena ‘udzur. Dalilnya, hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu ‘anhu di atas. Penyebutan berpuasa Ramadhan dapat terealisasi hanya bagi siapa saja yang telah menyempurnakan bilangannya.

Kedua, Keutamaan puasa enam hari di bulan Syawwal dapat diraih oleh orang [yang melakukannya sebelum mengqqadha puasa Ramadhan yang batal karena ‘udzur, sebab siapa saja yang tidak berpuasa pada hari-hari di bulan Ramadhan karena ‘udzur, maka dapat dikatakan telah berpuasa Ramadhan. Bila ia berpuasa enam hari di bulan Syawwal sebelum mengqadha, maka ia juga meraih pahala mengiringi puasa Ramadhan dengan puasa enam hari di bulan Syawwal.

Tampaknya, pendapat kedua lebih tepat apalagi keutamaan yang dimaksud itu tidak hanya bergantung pada selesainya mengqadha puasa sebelum enam hari di bulan Syawwal, sebab pahala puasa Ramadhan yang setara puasa sepuluh bulan dapat terealisasi dengan menyempurnakan puasa wajib, baik secara Adâ’ (penunaian pada waktunya) atau Qadha (penunaian di luar waktu asli). Allah Ta’ala telah memperluas waktu dalam mengqadha seperti dalam ayat 185 surat Al-Baqarah. Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawwal merupakan keutamaan yang khusus pada bulan ini saja, di mana ia akan terlewatkan bila waktunya lewat. Sekalipun demikian, memulai dengan membebaskan tanggungan diri (hutang) melalui puasa wajib adalah lebih utama dari menyibukkan diri dengan puasa sunnah. Akan tetapi orang yang berpuasa Qadha setelah itu, maka ia juga mendapatkan keutamaan, sebab tidak ada dalil yang menafikannya, wallahu a’lam.

Dalam hal ini, dalam fatwanya, Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ketika ditanya tentang mana yang lebih didahulukan; melakukan puasa enam hari di bulan Syawwal ataukah mengqadha Ramadhan, maka beliau berpendapat lebih baik mendahulukan puasa Qadha sekalipun kehilangan kesempatan berpuasa enam hari di bulan Syawwal.

Oleh : Hanif Yahya, Lc
SUMBER:
Ahkaam Shiyaam as-Sitt Min Syawwal, Muhammad bin Abdullah bin Shalih Al-Habdan.