Tidak ragu bahwa meminggirkan syariat Allah dan tidak berhukum kepadanya dalam perkara-perkara kehidupan termasuk wujud nyata dan berbahaya dari penyimpangan masyarakat muslim, akibat dari ditinggalkannya hukum Allah di negeri kaum muslimin adalah berbagai bentuk kerusakan, kezhaliman dan kemunduran yang buruk yang menaungi mereka.

Allah Taala mewajibkan manusia agar berhukum kepada syariatNya. Dia menjadikannya sebagai target dari diturunkannya al-Qur`an. Firman Allah swt, “Dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (Al-Baqarah: 213).

Firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.” (An-Nisa`: 105).

Allah Taala menjelaskan bahwa menetapkan hukum adalah monopoli dan kekhususanNya, Dia berfirman, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (Al-An’an: 57). Dia berfirman, “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.” (Yusuf: 40).

Ibnu Taimiyah juga berkata, “Dimaklumi dengan kesepakatan kaum muslimin bahwa wajib menjadikan Rasulullah saw sebagai hakim dalam segala perkara yang diperselisihkan oleh manusia dalam perkara agama dan dunia mereka, dalam ushul dan furu’ agama. Jika Nabi saw menetapkan sesuatu maka mereka harus menerimanya seratus persen tanpa ada rasa keberatan sedikit pun.”

Berhukum kepada apa yang diturunkan Allah Taala semata adalah mengesakan ketaatan kepada Allah Taala dan ketaatan adalah salah satu bentuk ibadah maka ia tidak diberikan kecuali kepada Allah Allah semata tidak ada sekutu bagiNya firman Allah Taala, “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus.” (Yusuf: 40).

Ibnu Taimiyah juga berkata, “Barangsiapa menjadikan selain Rasulullah untuk ditaati secara wajib dalam segala perintah dan larangannya meskipun ia menyelisihi perintah Allah dan rasulNya maka dia telah menjadikannya sebagai sekutu… ini termasuk syirik di mana pelakunya termasuk ke dalam firman Allah, “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165).

Allah Taala menamakan hukum dengan selain syariatNya thaghut, firman Allah Taala, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (An-Nisa`: 61).

Thaghut bermakna umum, apapun yang disembah selain Allah dan rela baik ia dituhankan atau diikuti atau ditaati dalam selain ketaatan kepada Allah dan rasulNya maka dia thaghut.

Berhukum kepada apa yang diturunkan Allah termasuk Tauhid Rububiyah karena ia adalah pelaksanaan terhadap hukum Allah yang merupakan tuntutan dari rububiyahNya dan pengakuan terhadap kesempurnaan kerajaan dan tindakanNya, oleh karena itu Allah menamakan orang-orang yang diikuti dalam selain yang diturunkan Allah Taala, ‘Arbaba’ (tuhan-tuhan) bagi yang mengikuti.

Firman Allah swt, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31).

Dalam hadits Adi bin Hatim, hadits yang panjang diriwayatkan oleh Ahmad, at-Tirmidzi dan lain-lain di mana dia datang kepada Nabi saw sementara dia beragama Nasrani, Adi mendengar Nabi saw membaca ayat ini, Adi berkata, aku berkata kepada Nabi saw, “Kami tidak menyembah mereka.” Nabi saw bersabda, “Bukankah mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Allah lalu mereka mengharamkannya dan mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah lalu mereka menghalalkannya?” Adi menjawab, “Benar.” Nabi saw bersabda, “Itulah ibadah mereka.”

Nabi saw menjelaskan bahwa ibadah mereka terletak pada penghalalan yang haram dan pengharaman yang halal, bukan mereka shalat dan berpuasa untuk mereka bukan berdoa kepada mereka. Ini adalah ibadah kepada orang. Dan Allah telah menyebutkan bahwa hal itu adalah syirik.

Berhukum kepada hukum Allah merealisasikan tauhid ittiba’ kepada Rasulullah saw, Allah berfirman, “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa`: 65).

Ibnu Katsir berkata tentang tafsir ayat ini, “Allah Taala bersumpah dengan diriNya yang mulia lagi suci bahwa seseorang tidak beriman sehingga menjadikan Rasulullah saw sebagai pengadil dalam segala perkara. Apa yang diputuskan oleh Rasulullah saw adalah kebenaran yang wajib ditaati lahir dan batin.”

Berhakim kepada syariat Allah merupakan respon terhadap panggilan Allah Taala dan rasulNya saw, di dalamnya terdapat kehidupan, kebaikan dan kemaslahatan. Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepadamu.” (Al-Anfal: 24).

Syaikh as-Sa’di berkata, “Apabila dia menyerumu kepada suatu yang memberi kehidupan kepadamu,” ini adalah sifat yang lazim bagi segala sesuatu di mana Allah dan rasulNya menyeru kepadanya, ia adalah penjelasan bagi faidah dan hikmahNya karena kehidupan hati dan roh dengan ubudiyah kepada Allah, senantiasa dan selalu menaatiNya dan rasulNya.” Wallahu a’lam.