Salah satu dasar agung pernikahan adalah kelangsungannya secara terus menerus, artinya hendaknya sebuah pernikahan berjalan langgeng, tidak terputus kecuali oleh sesuatu yang mendesak, maka Islam telah mengharamkan akad pernikahan yang bertentangan dengan dasar kelanggengan ini seperti nikah mut’ah dan nikah tahlil, dalam dua bentuk pernikahan ini ketidaklanggengan dinyatakan secara terbuka, oleh karena itu keduanya dilarang, persoalannya adalah bagaimana jika ketidaklanggengan itu hanya disimpan di dalam hati, tidak diucapkan? Apakah ia sama dengan dua perniakahan di atas atau berbeda? Para ulama berbeda pendapat tentang hukum pernikahan ini menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama, pernikahannya sah. Ini adalah pendapat madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan sebagian Hanbali.

Ibnu Nujaim al-Hanafi berkata, “Seandainya seseorang menikahi sedangkan di dalam hatinya dia berniat menikahinya selama masa tertentu maka pernikahan tetap shahih, sebab pembatasan waktu hanya berlaku dalam lafazh.” (Al-Bahr ar-Ra`iq 3/115).

Al-Mawardi berkata, “Nikahnya shahih karena ia bebas dari syarat yang merusaknya sekali pun ia makruh, karena di dalam pernikahan ini dia menyembunyikan niat yang jika dia ucapkan niscaya pernikahan menjadi fasid namun ia tidak fasid dengan niat, karena mungkin dia berniat sesuatu yang tidak dia lakukan dan melakukan apa yang sebelumnya tidak dia niatkan.” (Al-Hawi 11/475).

Ibnu Qudamah berkata, “Pasal, jika dia menikahinya tanpa syarat hanya saja dalam niatnya dia akan mentalaknya setelah satu bulan, atau ketika keperluannya di kota tersebut selesai maka pernikahan ini shahih menurut kebanyakan ulama kecuali al-Auza’i, dia berkata, ‘Ia adalah nikah mut’ah.’ Yang shahih bahwa ia tidak mengapa dan niatnya tidak mempengaruhi dan tidak ada dosa atas suami jika dia ingin menahan istrinya dan cukup baginya jika istri sepakat dengannya, jika tidak maka dia mentalaknya.” (Al-Mughni 7/138).

Dalil pendapat ini:

1- Akad pernikahan telah memenuhi seluruh syarat-syaratnya dan niat untuk mentalak pada masa depan tidak berpengaruh, ia baru sebatas kemungkinan, bisa saja ia berubah dan dia tetap menahan istrinya.

2- Jika kita hendak menetapkan pernikahan tanpa niat talak maka kita telah membuat pernikahan ala Nasrani yang tidak membuka pintu talak.

3- Nikah dengan niat talak berbeda sama sekali dengan nikah mut’ah.

Pendapat kedua, pernikahan tidak sah, ia adalah salah satu bentuk nikah mut’ah. Ini adalah pendapat al-Auza’i dan madzhab sebagian Hanabilah.

Al-Auza’i berkata, “Seandainya dia menikahinya tanpa syarat akan tetapi dia berniat tidak menahannya kecuali selama satu bulan atau yang sepertinya dan setelah itu dia mentalaknya maka ini adalah nikah mut’ah, tidak ada kebaikan padanya.” (At-Tamhid 10/123).

Al-Mardawi berkata, “Faidah, seandainya dia berniat dalam hatinya maka ia sama dengan apa yang dia syaratkan menurut pendapat yang shahih dalam madzhab.” (Al-Inshaf 8/163-164).

Dalil pendapat ini:

1- Kelanggengan dalam akad nikah adalah syarat sahnya akad nikah, ini adalah perkara yang disepakati oleh para ahli ilmu, hal ini berkonsekuensi melarang pernikahan dengan niat talak.

2- Menyembunyikan niat talak mengandung kecurangan dan penipuan terhadap istri dan keluarganya.

3- Mempermainkan tali pernikahan.

4- Membukan pintu bagi orang-orang yang tidak baik untuk memanfaatkan para wanita dan hal ini akan melenyapkan kepercayaan kepada orang-orang baik, akhirnya orang-orang pun mengira bahwa orang–orang baik menikah dengan niat talak.

Pendapat yang rajih,

Seandainya kita mengetahui niat yang bersangkutan maka kita patut melarang pernikahan seperti ini karena ia mengadung penipuan dan kecurangan di samping ia bertentangan dengan kelanggengan yang diharapkan dari akad pernikahan.

Namun masalahnya adalah bahwa yang bersangkutan menyembunyikan niatnya sehingga kita tidak mengetahuinya secara pasti, sementara sebuah hukum hanya berpijak kepada kondisi lahir dan tidak menyangkut apa yang tersimpan di dalam hati, dari sini maka secara hukum pernikahan dengan niat talak adalah sah, sedangkan masalah niat maka ia antara yang bersangkutan dengan Allah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun nikah mut’ah, jika maksud suami adalah meraih kenikmatan darinya sampai masa tertentu kemudian berpisah darinya, misalnya musafir yang datang ke suatu kota, di sana dia tinggal beberapa waktu, lalu dia menikah dengan niat jika dia pulang ke negerinya maka dia akan mentalaknya, tetapi dia melangsungkan akad nikah secara mutlak, maka dalam masalah ini terdapat tiga pendapat dalam madzhab Ahmad. Ada yang berkata, ia adalah pernikahan yang boleh, ini adalah pilihan Abu Muhammad al-Maqdisi sekaligus pendapat jumhur. Ada yang berkata, ini adalah nikah tahlil tidak boleh, ini adalah pendapat al-Auza’i, ini dikuatkan oleh Qadhi dan rekan-rekannya dalam al-Khilaf. Ada yang berkata, makruh bukan haram.

Pendapat yang shahih adalah bahwa nikah ini bukan nikah mut’ah dan tidak haram, hal itu karena yang bersangkutan bermaksud dan berminat untuk menikah, berbeda dengan muhallil, hanya saja dia tidak menginginkan kelangsungan pernikahan dan hal ini bukan merupakan syarat, karena kelangsungan istri bersamanya bukan sesuatu yang wajib, dia bisa mentalaknya, jika dia bermaksud mentalaknya setelah masa tertentu maka dia bermaksud melakukan sesuatu yang boleh, lain halnya dengan nikah mut’ah, nikah ini persis dengan sewa menyewa di mana ia habis dengan habisnya masa yang disepakati dan suami tidak memiliki apa pun atasnya setelah masa kesepakatan selesai. Adapun ini maka kepemilikannya tetap ada lagi mutlak, dan bisa jadi niatnya berubah sehingga dia tidak mentalaknya dan ini pun boleh juga, sebagaimana jika dia menikah dengan niat tidak mentalaknya untuk selama-lamanya, ternyata niatnya berubah dan dia mentalaknya, ini pun boleh. Seandainya dia menikahinya dengan niat jika dia menyukainya maka dia tidak mentalaknya, jika tidak maka dia mentalaknya maka ini pun boleh, sekali pun hal ini bukan merupakan syarat dalam akad, seandainya dia mensyaratkan akan menahannya dengan baik atau melepasnya dengan baik, maka hal ini sudah menjadi konseksuensi akad secara syar’i dan ia adalah syarat yang shahih menurut jumhur dan dia harus memegang tuntutan syara’ sebagaimana Nabi saw mensyaratkan dalam jual beli di antara sesama muslim agar tidak ada penipuan, kecurangan dan kejahatan, ini merupakan tuntutan akad. Al-Hasan bin Ali sering mentalak, tidak tertutup kemungkinan kebanyakan wanita yang dia nikahi, dia nikahi dengan niat hendak mentalaknya setelah masa tertentu, namun begitu tidak seorang pun yang berkata bahwa hal itu adalah nikah mut’ah. Pelaku pernikahan dalam hal ini tidak berniat mentalaknya setelah masa yang telah ditentukan akan tetapi setelah maksudnya tercapai darinya dan hajatnya di kota tersebut tertunaikan, dengan asumsi bahwa dia berniat mentalaknya dalam waktu tertentu maka niat ini mungkin berubah, hal ini tidak mengandung penundaan pernikahan dan menjadikannya seperti sewa menyewa yang telah ditentukan.” (Majmu’ al-Fatawa 32/147-148).