5- Membolehkan berhukum kepada apa yang menyelisihi hukum Allah

Atau meyakini bahwa berhukum kepada apa yang diturunkan Allah Ta’ala bukan wajib, bahwa masalahnya terserah kepadanya, maka ini adalah kufur membatalkan iman karena dia membolehkan sesuatu yang diketahui pengharamannya melalui nash-nash yang shahih lagi jelas, dimana dia tidak meyakini mengesakan Allah dalam hukum, walaupun dia tidak mengingkari hukum Allah namun selama dia tidak meyakini kewajiban berhukum kepada apa yang diturunkan Allah semata dan hal itu karena pembolehannya berhukum kepada selain yang diturunkan Allah Taala, ini adalah kufur mengeluarkan dari agama.

Al-Qurthubi berkata, “Jika dia berhukum kepada apa yang dimilikinya dengan anggapan bahwa ia dari sisi Allah maka ia adalah penggantian terhadapnya yang menyebabkan kekufuran.”

Membolehkan berhukum dengan apa yang menyelisihi hukum Allah Ta’ala berarti menerima hukum-hukum dan pembebanan-pembebanan dari selain Allah Ta’ala meskipun hanya sebagian atau sedikit darinya… dan ini bertentangan dengan hakikat Islam kepada Allah semata, barangsiapa berserah diri kepada Allah dan selain Allah maka dia musyrik. Berserah diri kepada Allah berarti beribadah kepadaNya semata dia menaatiNya semata.

6- Menolak dan berpaling dari hukum Allah

Di kalangan salaf shalih iman adalah ucapan dan perbuatan, pembenaran dan ketundukan, sebagaimana manusia wajib membenarkan para rasul dalam apa yang mereka beritakan maka mereka juga wajib menaati para rasul dalam apa yang mereka perintahkan, jadi iman tidak terwujud dengan penolakan dan pembangkangan.

Firman Allah, artinya,“Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.” (An-Nisa`: 64). Iman bukan sekedar membenarkan, akan tetapi ia adalah membenarkan yang menuntun kepada ketundukan dan ketaatan.

Sebagaimana kekufuran adalah tidak adanya iman dengan kesepakatan kaum muslimin, ia bukan sekedar mendustakan semata akan tetapi ia bisa dalam bentuk penolakan terhadap ittiba’ rasul walaupun dia mengetahui kebenarannya, bisa jadi kekufuran tersebut dalam bentuk penolakan atau keraguan, dari sini maka barangsiapa meninggalkan berhukum kepada apa yang diturunkan Allah karena penolakan dan keengganan berarti dia kafir murtad meskipun dia mengakui hukum tersebut karena iman menuntut kepasrahan, ketaatan dan ketundukan kepada hukum Allah Ta’ala.

Di samping itu siapa yang menolak dan enggan menerima hukum Allah Ta’ala maka dia kafir berdasarkan konsensus para ulama walaupun dia mengakui hukum tersebut. Ishaq bin Rawaih berkata, “Para ulama telah bersepakat’ bahwa siapa yang menolak sesuatu yang diturunkan Allah meskipun dia mengakui apa yang diturunkan Allah maka dia adalah kafir.”

Ibnu Taimiyah menetapkan ijma’ ulama atas kewajiban memerangi kelompok yang menolak syariat Islam yang mutawatir lagi jelas walaupun ia megakui syariat tersebut, Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap kelompok yang menolak berpegang kepada syariat Islam yang jelas lagi mutawatir wajib diperangi sehingga mereka berpegang kepadanya walaupun mereka berucap dua kalimat syahadat dan menjalankan sebagian syariat sebagaimana Abu Bakar ash-Shiddiq dan para sahabat memerangi para penolak pembayar zakat … para sahabat telah bersatu kata memerangi atas dasar hak-hak Islam sebagai pengamalan terhadap al-Qur`an dan sunnah.”

Termasuk yang mungkin diindukkan kepada keengganan dan penolakan adalah berpaling dan menghalang-halangi hukum Allah. Ibnul Qayyim berkata, “Allah menganggap berpaling dari apa yang dibawa oleh rasul dan menoleh kepada selainnya sebagai hakikat nifak sebagaimana hakikat iman adalah menjadikannya sebagai hakim dan lenyapnya kesempitan dari dada terhadap hukumnya serta berserah diri kepada apa yang diputuskan oleh rasul dengan penuh kerelaan sukarela dan kecintaan. Ini adalah hakikat iman dan berpaling tersebut adalah hakikat nifak.”

Lalu bagaimana dengan orang yang menjadi obyek hukum bagi undang-undang thaghut tersebut?

Kekufuran yang bersangkutan dengan penerimaannya terhadap syariat selain syariat Allah dan kerelaannya kepadanya, di samping itu penerimaan orang yang menjadi obyek hukum dan pengikutannya terhadap selain syariat melalui sikapnya yang berhukum kepada selain yang diturunkan Allah Taala tidak terlepas dari penolakannya untuk menerima hukum Allah semata atau pembolehannya terhadap hukum thaghut padahal mereka telah diperintahkan untuk kafir kepadanya atau lebih mementingkan hukum thaghut di atas hukum Allah Taala atau mensejajarkan keduanya.

Firman Allah Taala, artinya, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu.” (An-Nisa`: 60).

Ayat di atas menunjukkan bahwa keinginan berhukum kepada thaghut merupakan iman kepada thaghut, secara otomatis ia merupakan kekufuran kepada Allah Taala karena Allah telah mewajibkan hamba-hambaNya agar kufur kepada thaghut dan beriman kepadaNya Taala.

Allah berfirman,artinya, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 31).

Ibnu Taimiyah berkata tentang makna ayat ini, “Orang-orang yang mengangkat ulama-ulama dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah di mana mereka menaati para ulama dan rahib-rahib tersebut dalam menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan terbagi menjadi dua golongan:

Pertama: Mereka mengetahui bahwa para ulama dan para rahib tersebut telah mengganti agama Allah, maka orang-orang itu mengikuti para ulama dan para rahib di atas penggantian tersebut, mereka meyakini penghalalan apa yang Allah haramkan dan pengharaman apa yang Allah halalkan demi mengikuti pemimpin-pemimpin mereka padahal mereka mengetahui bahwa para pemimpin itu menyelisihi agama para rasul. Ini kekufuran, Allah dan rasulNya menganggapnya syirik walaupun mereka tidak shalat dan tidak sujud kepada para pemimpin tersebut.

Kedua: Keyakinan dan iman mereka terhadap pengharaman yang halal dan penghalalan yang haram tetap ada hanya saja mereka menaati para ulama dan para rahib mereka dalam bermaksiat kepada Allah sebagaimana seorang muslim melakukan kemaksiyatan dengan tetap meyakini bahwa ia adalah kemaksiyatan. Mereka itu sama hukumnya dengan para pelaku dosa sebagaimana diriwayatkan secara shahih di ash-Shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Ketaatan hanya dalam perkara yang ma’ruf.”

Satu perkara lagi yaitu jika obyek hukum dari undang-undang tersebut rela kepadanya maka dia kafir karena orang yang rela kepada kekufuran sama dengan pelakunya hal ini ditunjukkan oleh firman Allah,yang artinya, “Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepadamu di dalam al-Qur`an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam.” (An-Nisa`: 140). Wallahu a’lam.