Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, artinya: ” Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni Neraka yang menyala-nyala.” (Al-Mulk: 10). Ibnu Katsir menjelaskan maksud ayat itu, mereka berkata: Seandainya dulu kami (di dunia) menggunakan akal yang kami miliki atau mendengarkan kebenaran (al-haq) yang Allah turunkan pasti kami tidak menjadi orang kafir kepada Allah dan tertipu. Tetapi kami tak ambil peduli terhadap apa-apa yang dibawa oleh Rasul, dan kami tidak punya pikiran yang menunjuki kami untuk mengikuti Rasul.

Kesalahan itu bisa menimpa siapa saja, baik yang akalnya bodoh, sedang, maupun cerdas. Karena cerdas dan tidaknya akal seseorang itu tidak menentukan benarnya pemikiran. Sedang cerdas dan tidaknya akal seseorang itu berkaitan dengan beberapa hal.

Akal itu ada dua macam

Akal naluri (gharizi): Yaitu yang diberikan Allah kepada manusia berupa quwwatudz dzihn, kekuatan memahami dan merasakan perkara-perkara agama dan dunia.

Akal yang diperoleh dari upaya/diasah (muktasab).
Ketika akal yang diperoleh dari usaha ini tergabung dalam akal naluriah maka menjadikan keteguhan dan kejelian si pemilik akal itu.
Akal naluri tumbuh dengan tumbuhnya manusia hingga ia mencapai kedewasaannya. Demikian pula akal yang diperoleh dari upaya itu ada dua jalan untuk pertumbuhannya:

Melalui berkumpul dengan para ulama dan menyerap dari pemikiran dan pengalaman mereka.
Kadang-kadang dengan mencontohnya, dan kadang dengan musyawarah dan berdiskusi dengan mereka (ulama). Betapa banyak orang yang meningkat maju sampai ke tingkat sukses karena melakukan pengasahan otak lewat jalan ini. Oleh karena itu seseorang yang menutup diri dari manusia akan kehilangan kebaikan dan manfaat yang banyak.
Lewat kesibukan dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat.

Dengan menyibukkan diri pada ilmu yang bermanfaat itu maka akan mendapatkan faedah dalam setiap hal berupa pendapat yang baru dan akal yang benar.
Ilmu akan mengenalkan Anda pada Allah, dan bagaimana caranya ke arah itu. Ilmu akan mengenalkan Anda tentang bagaimana ber-tawassul (berperantara untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mentaatiNya dan mengikuti keridhaanNya) dengan hal-hal yang dibolehkan hingga Anda bisa menjadikan sarana itu sebagai ibadah untuk mendekatkan dirimu kepada Allah.
Contoh menumbuhkan akal dengan ilmu yang manfaat
Akal muktasab (yang diperoleh dengan upaya) itu ditumbuhkan dengan menggeluti ilmu-ilmu yang bermanfaat. Bisa dicontohkan, masalah tawassul adalah masalah agama yang mesti pakai landasan dalil. Namun penggunaan dalil itu sendiri ada yang dalilnya lemah, dan ada yang kuat. Dengan merujuk pada pemahaman salafus shalih (tiga generasi pertama, yaitu; shahabat, tabi’ien, dan tabi’it tabi’ien) maka akal bisa memilah, mana yang rajih (kuat) dan mana yang marjuh (lemah) alias tidak boleh dipakai. Berikut ini keterangannya:

Tawassul itu ada dua macam: masyru’ (disyari’atkan) dan ghairu masyru’ (tidak disyari’atkan/tidak boleh).

Tawassul masyru’ itu ada beberapa macam:

  • Dengan Asma’ dan sifat Allah.
    Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asmaaul husna itu.” (Al-A’raf: 180).
  • Dengan iman dan amal shalih.
    Allah berfirman, artinya: “Ya Tuhan kami, sesung-guhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.” (Ali Imran: 193).
    Dan seperti dalam Hadits Muttafaq ‘alaih yang isinya, ada 3 orang yang terperangkap karena ada batu besar yang menutup mulut gua hingga mereka tak dapat keluar. Maka mereka bertawassul dengan amal shalihnya untuk mendekatkan diri pada Allah (dengan do’a serta menyebut amal shalihnya) lalu Allah membukakan (pintu gua itu) untuk mereka, lalu mereka bisa keluar dari gua.
  • Tawassul dengan mentauhidkan Allah seperti tawassulnya Nabi Yunus alaihissalam.
    Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “Maka ia (Yunus alaihissalam) menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak sesembahan yang haq selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zhalim.” Maka Kami telah memperkenan-kan do’anya dan menyelamatkannya daripada kedukaan.” (Al-Anbiya’: 87).
  • Tawassul dengan menampakkan kelemahan, kebutuhan, kehajatan kepada Allah seperti perkataan Nabi Ayyub alaihissalam.
    Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.” (Al-Anbiya’: 83).
  • Tawassul dengan do’a orang-orang shalih yang masih hidup. Seperti yang dilakukan shahabat-shahabat ketika mereka tertimpa kekeringan. Mereka meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar mendo’akan kepada Allah untuk mereka. Dan setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam wafat mereka kemudian minta kepada paman Nabi yaitu Al Abbas radhiyallaahu anhu lalu ia mendo’akan mereka. (Hadits Riwayat Al-Bukhari).
  • Tawassul dengan mengakui dosa.
    Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman, artinya: “Musa mendo’a: Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku”, maka Allah mengampuninya.” (Al-Qashash: 16).

Tawassul yang tidak syar’i

  • Meminta do’a orang mati. Itu tidak boleh. Karena mayat itu tidak dapat berdo’a seperti dulu ketika ia masih hidup. Dan tidak boleh meminta syafa’at kepada orang mati. Karena Umar bin Khathab dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan orang-orang yang menemui zaman keduanya yaitu para sahabat dan tabi’in yang baik-baik, ketika mereka mengalami kekeringan, mereka meminta do’a untuk minta hujan, bertawassull, dan minta didoakan untuk dilepaskan dari penderitaan kepada orang yang masih hidup seperti Al-Abbas dan Yazid bin Al-Aswad. Mereka tidak bertawassul, minta syafa’at, dan minta dido’akan agar terlepas dari penderitaan kepada Nabi ` yang telah wafat, tidak di sisi kuburnya dan tidak di sisi lainnya. Tetapi estafet kepada yang masih hidup seperti Al-Abbas dan Yazid. Dan Umar berkata: “Ya Allah, kami dulu bertawassul dengan NabiMu (dalam memohon) kepadaMu, maka Kamu turunkan hujan kepada kami, dan kami sekarang bertawassul dengan paman nabiMu (yang masih hidup) maka turunkanlah hujan kepada kami.”
    Jadi mereka bertawassul dengan yang masih hidup sebagai pengganti yang telah wafat karena bertawassul dengan yang sudah wafat menurut syari’at yang mereka amalkan tidak dibolehkan.
  • Tawassul dengan jaahin Nabi (pangkat Nabi) dan pangkat orang lain tetap tidak boleh.
    Adapun hadits yang berbunyi: “Apabila kamu meminta pada Allah maka mintalah dengan perantaraan pangkatku (Nabi), karena pangkatku itu di sisi Allah adalah besar.” Ini adalah hadits bohong. Tidak ada sama sekali kitab orang muslim yang bersandar padanya, dan tak seorang ahli ilmu pun yang menyebutkan hadits ini (Majmu’ Al-Fatawa 10/ 319). Selama tidak ada dalil yang sah dalam hal ini maka tetap tidak boleh, karena ibadah tidak boleh dilakukan kecuali dengan dalil yang shahih lagi jelas.
  • Tawassul dengan dzat makhluq, tetap tidak boleh.

    (Seperti dalam syair: Ya Robbi bil Musthofaa balligh maqooshidanaa…)(Wahai Tuhanku, capaikanlah maksud tujuan kami -lantaran- Nabi pilihan -Muhammad-), tawassul seperti itu tidak boleh. Karena lafaz “bil” itu kalau untuk sumpah berarti bersumpah dengan makhluq atas Allah Ta’ala. Sedangkan kalau sumpah dengan makhluq itu atas makhluq pula maka tidak boleh juga karena hal itu merupakan syirik (menyekutukan Allah) seperti ditetapkan oleh Hadits. Lantas bagaimana pula bersumpah dengan makhluq atas Khaliq Jalla wa ‘Ala?
    Dan kalau lafazh “bil” itu untuk sababiyah (sebab) maka Allah Subhannahu wa Ta’ala tidak menjadikan permintaan dengan (perantaraan) makhluk itu sebagai sebab untuk diijabahinya (doa) dan tidak disyari’atkan untuk hambaNya.

  • Tawassul dengan hak makhluq pun tidak boleh, karena ada dua alasan:
    Pertama, tidak ada hak manusia yang mewajibkan Allah. Hanya Allah lah yang memberikan keutamaan atas makhluk, seperti dalam firmanNya, artinya: “Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (Ar-Ruum: 47).
    Keadaan orang yang taat itu berhak mendapatkan balasan yaitu hak keutamaan dan keni’matan. Dan bukan hak saling membalas seperti hak makhluk atas sesama makhluk.

Kedua, hak yang Allah berikan keutamaan padanya atas hambaNya adalah hak khusus untuk hamba itu sendiri, tidak ada hubungannya dengan orang lain. Maka apabila orang lain yang tidak berhak lalu bertawassul pada orang yang berhak maka berarti bertawassul dengan perkara yang tidak ada hubungannya, dan ini tidak memberi faedah sedikitpun.

Adapun hadits yang ada perkataan: as-aluka bihaqqis saailin (aku memohon padaMu dengan hak orang-orang yang memohon) itu hadits yang tidak shahih (lam yatsbut) karena sanadnya ada ‘Athiyah Al-Aufiy yang ia itu kompleks kedha’ifannya seperti dikatakan oleh sebagian Muhadditsin. Demikian pula hal itu tidak diperlukan untuk menjadi alasan dalam masalah aqidah yang penting ini. (At-Tauhid, hal. 56-58).
Demikianlah contoh membekali akal dengan ilmu yang bermanfaat, dalam hal ini tentang tawassul yang boleh dan yang tidak boleh.

Pentingnya ilmu yang bermanfaat

Ilmu itu menggantikan kedudukan kepemimpinan dan harta benda. Barangsiapa telah mendapatkan ilmu maka berarti telah mendapatkan segala sesuatu. Di balik itu, buku-buku khurafat (kepercayaan yang batil) dan lawakan/banyolan (al-mujuun , termasuk di dalamnya hal-hal yang porno) itu akan membuyarkan akhlak, merusak pemikiran dan hati. Hal itu akan mendorongnya untuk mengikuti ahli keburukan, dan itu sebenarnya adalah berfungsi sebagai perusak iman dan hati, sebagaimana api membakar rumput kering. Demikian menurut Syeikh Abdur Rahman bin nashir As-Sa’di (1308-1376H) dalam kitabnya Intisharul Haq, Maktabah Adhwaa’ Assalaf, Riyadh, cetakan I, 1998M/1419H, hal. 33-34). (Hartono/Al-Sofwah).