Berhukum kepada selain yang diturunkan Allah merupakan kufur kecil apabila hakim atau pengadil menetapkan hukum dengan selain yang diturunkan Allah Taala dalam kasus tertentu dengan tetap meyakini kewajiban berhukum kepada apa yang diturunkan Allah dalam kasus tertentu tersebut, dia menyimpang darinya karena hawa nafsu sebagai sebuah kemaksiatan dengan tetap mengakui bahwa dia berdosa dan berhak dihukum karenanya.

Al-Qurthubi berkata, “Jika dia menetapkan hukum dengan selain yang diturunkan Allah karena hawa nafsu dan kemaksiyatan maka ia merupakan dosa yang dihapus oleh taubat menurut prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam perkara ampunan bagi orang-orang yang berbuat dosa.”

Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang berpegang kepada hukum Allah dan rasulNya lahir dan batin akan tetapi dia durhaka dan mengikuti hawa nafsunya maka dia sama dengan para pelaku dosa sepertinya.”

Ibnul Qayyim berkata, “Jika dia meyakini kewajiban berhukum kepada apa yang diturunkan Allah dalam peristiwa tersebut dan dia menyimpang darinya sebagai kemaksiyatan dengan tetap mengakui bahwa dia berhak dihukum maka ia adalah kufur kecil.”

Syaikh Muhammad bin Ibrahim berkata, “Adapun bagian kedua dari dua bagian hakim yang berhukum kepada selain Allah, yang tidak mengeluarkan dari agama… yaitu dia terdorong oleh keinginan dan hawa nafsunya untuk menetapkan dalam suatu perkara dengan hukum yang tidak diturunkan Allah dengan tetap meyakini bahwa hukum Allah dan rasulNya adalah yang benar dia mengakui dirinya keliru dan menyimpang dari hidayah. Walaupun kekufurannya tidak mengeluarkan dari agama akan tetapi kemaksiyatannya besar lebih besar daripada dosa-dosa besar seperti zina, minum khamar, mencuri, sumpah palsu dan lain-lain, karena kemaksiyatan yang dinamakan Allah kufur adalah lebih berat daripada kemaksiatan yang tidak Dia namakan kufur.”

Asy-Syinqithi berkata, “Barangsiapa tidak berhukum kepada apa yang diturunkan Allah dengan meyakini bahwa dia telah melakukan yang haram, melakukan yang buruk maka kekufurannya, kezhalimannya dan kefasikannya tidak mengeluarkan dari agama.”

Kepada keadaan seperti ini, ucapan yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Atha dan Thawus dan Abu Majlaz dibawa. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang firman Allah, artinya : “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44) bahwa dia berkata, “Bukan kekufuran seperti yang mereka katakan.” Dalam riwayat lain dia berkata, “Kufur tidak mengeluarkan dari agama.”

Atha berkata, “Kekufuran di bawah kekufuran, kezhaliman di bawah kezhaliman dan kefasikan di bawah kefasikan.” Thawus berkata, “Bukan kekufuran yang mengeluarkan dari agama.”

Beberapa orang dari al-Ibadhiyah datang kepada Abu Majlaz mereka berkata, “Allah berfirman, artinya : ‘Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.’ (Al-Maidah: 44). ‘Maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.’ (Al-Maidah : 45). ‘Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.’ (Al-Maidah : 47).” Abu Majlaz menjawab, “Mereka yakni para pemimpin melakukan apa yang mereka lakukan sementara mereka mengetahui bahwa ia dosa.”

Apa yang dikatakan Abu Majlaz kepada al-Ibadhiyah merupakan jawaban dari keinginan mereka yaitu mengkafirkan para pemimpin karena mereka berada di markas sultan dan karena mereka melakukan sebagian yang dilarang Allah.

Ucapan Abu Majlaz termasuk ucapan Ibnu Abbas harus dipahami sesuai dengan zhahirnya sesuai dengan konteksnya tanpa berlebih-lebihan dan meremehkan, kita tidak seperti Khawarij yang menganggap sekedar menyelisihi syariat sebagai kufur akbar, pada saat yang sama kita juga tidak seperti kelompok yang bertentangan dengan mereka yang menganggap penolakan, berpaling dan meminggirkan syariat sebagai kufur ashghar, maksud Ibnu Abbas dan Abu Majlaz bukan orang yang menolak dan tidak mau berpegang kepada syariat Allah Taala dan berhakim kepada undang-undang jahiliyah, di masa-masa tersebut tidak ada yang melakukan itu.

Perkataan salaf shalih tentang kemaksiatan, ‘kufur di bawah kufur’ berkisar seputar kasus tertentu atau kejadian tertentu yang ditetapkan dengan hukum selain yang diturunkan Allah karena hawa nafsu dan ambisi dengan tetap diharamkannya perbuatan tersebut dan bahwa pelakunya berdosa ia tidak menjadi metode umum.

Ini merupakan perkara jelas yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah dalam ucapannya yang telah dinukil, “Adapun orang yang berpegang kepada hukum Allah dan rasulNya lahir dan batin akan tetapi dia melanggar dan mengikuti hawa nafsunya maka dia sama dengan pelaku dosa sepertinya.” Wallahu a’lam.