Tanya :

Apakah menumpahkan sperma di luar farji istri (tanpa jima’ sem-purna) itu haram, terutama di saat istri sedang haid atau baru melahirkan? Kami memohon penjelasannya dari Syaikh .

Jawab :

Menumpahkan sperma di luar rahim istri hukumnya boleh jika memang untuk suatu maslahat. Inilah yang disebut dengan ‘azal. Para shahabat Nabi dahulu pun pernah melakukannya dan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tidak mengomentarinya. Namun hal itu dilakukan untuk suatu maslahat, seperti suami belum menghendaki istrinya hamil pada saat itu, atau karena seperti apa yang disebutkan oleh penanya, yaitu karena haram melakukan persetubuhan lantaran haid atau nifas, sedangkan ia (suami) hendak memenuhi tuntutan biologisnya. Yang diharamkan pada saat itu adalah melakukan persetubuhan (jima’).

Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah bersabda mengenai wanita haid:
اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ.
“Lakukan apa saja (terhadap istrimu yang sedang haid) kecuali nikah (jima’).”

Nikah yang dimaksud di dalam hadits ini adalah persetubuhan (jima’). Jadi, suami boleh melakukan apa saja terhadap istrinya, mencium, memeluk, mempermainkan paha dan perutnya dan lain-lainnya (selain jima’), akan tetapi sebaiknya istri mengenakan sarung atau celana untuk mengindari yang dilarang, sebab menggauli istri seputar kemaluannya bisa menyebabkan hubungan jima’. Aisyah i menuturkan, “Nabi a pernah menyuruh salah seorang dari kami apabila beliau akan menggauli-nya, sedangkan ia dalam keadaan haid, supaya mengenakan kain, lalu beliau menggaulinya dari balik itu”.
Maksudnya adalah: Sunnahnya bagi suami, apabila istrinya sedang haid atau nifas, menggauli istrinya di balik kain atau celana. Akan tetapi jika ia menggaulinya tanpa kain ataupun celana, maka tidaklah berdosa selagi tidak melakukan jima pada kemaluannya, karena sabda Rasulullah SAW, “Lakukan apa saja selain nikah (jima’).”
Orang-orang yahudi tidak menggauli istrinya apabila mereka sedang haid, mereka tidak makan bersamanya dan tidak tidur bersama mereka.
( Majalah al-Buhuts, edisi 26, hal. 132. Fatwa Syaikh Ibnu Baz. )