AT-TATHARRUF DAN AL-USHULIYAH

Dari kalimat–kalimat yang sering kita dengar dari berita atau kita baca dari bacaan-bacaan adalah kalimat “at-Tatharruf dan al-Ushuliyah”. Maka apakah makna dari dua kalimat tersebut ?

Syekh Ibnu Baz pernah ditanya, (Majmu Fatawa Syekh bin Baz, juz 8 hal 233.) Pada beberapa media informasi yang berbeda, para kaum muda yang tengah memperjuangkan kebangkitan telah dituduh dengan sebutan “Tatharruf dan Ushuliyah” yang telah tersebar, bagaimana pendapat anda tentang hal ini?”

Beliau menjawab, “Sebenarnya semua ini adalah kesalahan yang datang dari barat dan timur, dari kaum nasrani, komunis, yahudi, dan yang lainnya dari orang-orang yang membenci dakwah kepada Allah Ta’ala dan para penolongnya. Mereka hendak menzalimi dakwah dengan sebutan “Tatharruf dan Ushuliyah” atau sebutan – sebutan yang lainnya.

Tidak diragukan lagi bahwa dakwah kepada Allah adalah agamanya para Rasul. Dakwah adalah madzhab dan jalan mereka, dan wajib bagi orang yang berilmu untuk berdakwah (mengajak) kepada Allah, serta bersemangat dalam menjalankan dakwah tersebut. Para pemuda hendaknya tetap bertakwa kepada Allah dan istiqomah kepada kebenaran, serta tidak berlebihan juga tidak bersikap keras.

Pada sebagian kaum muda telah terdapat kebodohan, mereka berlebihan terhadap sebagian masalah atau mereka kekurangan ilmu sehingga bersikap kasar. Hendaknya semua kaum muda dan yang lainnya dari kalangan ahli ilmu tetap bertakwa kepada Allah Ta’ala, dan memperjuangkan yang hak dengan dalil firman Allah dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta menjauhi bid’ah dan sikap berlebihan atau lalai. Tidak ada seorang pun dari mereka yang ma’shum, terkadang muncul dari sebagian manusia suatu kelalaian dengan melakukan penambahan atau pengurangan. Tetapi ini bukan merupakan aib bagi semua, melainkan aib ini hanya untuk orang yang melakukannya. Tetapi musuh-musuh Allah Ta’ala dari kalangan nasrani dan yang lainnya, juga orang-orang yang mengikutinya mereka menjadikan hal ini sebagai sarana untuk menghantam dakwah dan menghancurkannya dengan menuduh para aktivisnya bahwa mereka adalah orang-orang “mutathorrifun” atau orang-orang yang “ushuliyun”.

Apakah Yang Dimaksud Dengan Ushuliyun?

Apabila para aktivis dakwah disebut Ushuliyun dalam arti bahwasanya mereka berpegang teguh kepada ushul atau pokok dan berpegang teguh kepada apa yang difirmankan Allah Ta’ala dan disabdakan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam maka ini merupakan pujian bukan celaan. Berpegang teguh kepada pokok atau dasar dari al-Qur’an dan as-Sunnah adalah tindakan yang terpuji dan tidak tercela. Adapun celaan diberikan untuk sikap ekstrim (Tatharruf) atau sikap keras. Sikap ekstrim, baik dengan melakukan tindakan berlebihan, kekerasan, atau meremehkan, maka itulah yang tercela.

Sedangkan orang yang berpegang teguh kepada dasar-dasar yang diakui dari al-Qur’an dan as-Sunnah bukanlah aib, melainkan kesempurnaan dan sikap terpuji. Ini merupakan kewajiban para pencari ilmu dan aktivis dakwah yaitu konsisten dengan dasar atau pokok dari kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, juga apa-apa yang sudah diketahui dari dasar-dasar fiqih, dasar-dasar akidah dan dasar-dasar kemaslahatan dalam hal dalil dan hujjah yang bisa digunakan untuk berdalih atau berhujjah. Semua ini harus ada dasarnya yang bisa dijadikan sandaran oleh para aktivis dakwah.

Tuduhan yang dilontarkan kepada para aktivis dakwah bahwasanya mereka adalah ushuliyun, ini merupakan perkataan yang bermakna global yang tidak memiliki hakikat kecuali celaan, aib, dan julukan yang jelek. Padahal ushuliyun bukanlah celaan melainkan pada hakekatnya adalah pujian.

Apabila pencari ilmu berpegang teguh kepada dasar atau pokok dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan apa-apa yang telah ditetapkan oleh para ahli ilmu, kemudian ia memperhatikan dan menjaganya, maka ini bukanlah aib. Adapun tindakan melampaui batas (tatharruf) dalam bid’ah, menambah-nambah, dan melebih-lebihkan, maka ini adalah aib. Atau melampaui batas dengan kebodohan atau pengurangan, maka ini adalah aib. Karena itu, bagi para da’i hendaklah mereka tetap konsisten terhadap dasar-dasar atau pokok syari’at dan berpegang teguh dengan sikap yang netral atau pertengahan sebagaimana Allah telah menjadikan mereka sebagai umat pertengahan. Para da’i harus mampu beradaptasi pada posisi pertengahan di antara sikap berlebihan dan sikap keras, di antara tindakan melebih-lebihkan dan mengurangi (dalam masalah agama). Hendaklah mereka pun tetap istiqamah di atas kebenaran dan tetap berada di atasnya dengan dalil-dalilnya yang syar’i, tidak melebih-lebihkan, dan tidak mengurangi melainkan berada pada posisi atau sikap yang pertengahan sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta’ala.

Syaikh bin Baz ditanya (Kumpulan-kumpulan fatwa–fatwa Syaikh bin Baz juz 8 hal 235.), “Seringkali terulang kata-kata bahwa si fulan mutatharrif (ekstrim), yang ini mu’tadil (Moderat), yang ini mutazammit (kolot, tidak toleran, ekskusif, ortodok), dan yang lainnya dari berbagai sebutan atau julukan. Wahai Syaikh, apakah julukan–julukan tersebut dibolehkan? Bagaimana kita mengobati problematika tatharruf dalam kenyataan hidup kita sekarang ?”

Maka beliau menjawab, “Terkadang kalimat-kalimat ini diucapkan oleh orang–orang yang tidak tahu maknanya, atau ia mengetahui maknanya dan menuduh dengan kalimat atau julukan tersebut terhadap orang-orang yang sebenarnya terbebas dari kalimat atau julukan itu.”

Telah disebutkan bahwasannya tatharruf adalah tidak adanya keseimbangan atau sikap pertengahan disebabkan oleh tindakan melebih-lebihkan atau mengurangi. Kebanyakan dari mereka menuduhkan kalimat tatharruf terhadap orang yang menurut anggapan mereka berlebihan atau melebih-lebihkan. Adapun mutazamit adalah orang yang tidak memiliki sikap lapang dada untuk perkataan yang benar dan menerima kebenaran serta tidak memiliki kelapangan untuk berjalan bersama orang-orang yang berpegang teguh kepada kebenaran.

Ini adalah julukan-julukan yang akan membuat mereka berpaling dari seruan (dakwah) kepada Allah Ta’ala. Maka hal yang wajib adalah memberi nasihat. Apabila terlihat dari seseorang suatu kelalaian dengan melakukan pengurangan dari yang seharusnya maka harus dinasihati, atau ia melihat seseorang melakukan tambahan atau melebih-lebihkan maka harus dinasihati pula. Ini bukanlah sifat yang terjadi pada setiap orang, melainkan hanya dari sebagian manusia. Dan ini bukanlah merupakan sifat bagi para du’at (aktivis da’wah) secara umum, tetapi terkadang muncul dari sebagian mereka sesuatu baik berupa kekurangan atau sikap keras atau sesuatu tindakan melebih-lebihkan dan menambah-nambahkan, maka mereka harus dinasihati dan diarahkan kepada yang terbaik serta diajari. Sehingga mereka mampu beristiqomah atau berada pada jalan yang lurus.

“Jadi bagaimana wahai syaikh, kita mengobati problematika tatharruf ?”

Dengan pembelajaran dan pengarahan dari para ulama. Apa-bila mereka mengetahui tentang seseorang bahwasanya ia menambah-nambahkan dan melakukan bid’ah, maka para ulama harus menjelaskan kepada orang tersebut. Misalnya, orang yang mengkafirkan pelaku kemaksiatan, ini adalah agamanya kaum Khawarij, yaitu orang-orang yang mengkafirkan seseorang dengan sebab berbuat maksiat. Tetapi seharusnya diajari bahwasanya ia harus bersikap pertengahan. Karena orang yang maksiat ada hukumnya, orang musyrik ada hukumnya, dan orang yang melakukan bid’ah ada juga hukumnya, maka ia harus diajari dan diarahkan kepada yang terbaik sehingga ia mendapatkan petunjuk dan mengetahui hukum-hukum Syar’i sehingga mampu menempatkan seseorang pada tempatnya yang layak, mengetahui kedudukan orang kafir, serta tidak menempatkan orang kafir pada tempat atau posisi orang yang bermaksiat, karena orang–orang yang bermaksiat dosanya di bawah dosa syirik, seperti pelaku zina, pencuri, orang yang suka ghibah (membicarakan kejelekan orang lain), orang yang mengadu domba, memakan harta riba. Bagi mereka semua ada hukumnya tersendiri, dan mereka dibawah kehendak Allah Ta’ala jika mereka mati dalam keadaan tersebut. Orang musyrik yang menyembah orang yang berada didalam kuburan serta meminta pertolongan kepada yang sudah mati selain Allah Ta’ala hukumnya adalah kufur terhadap Allah Ta’ala. Orang-orang yang menghina agama dan memperolok-olok agama hukumnya adalah kufur terhadap Allah Ta’ala. Manusia itu bertingkat-tingkat dan bermacam-macam sehinga mereka tidak berada pada satu batasan yang sama. Mereka harus diposisikan pada tempatnya dengan menggunakan dalil syari’at dan ini merupakan tugasnya para ulama.

Karena itu, para ulama hendaknya mengarahkan manusia dan membimbing para generasi muda yang terkadang ditakutkan muncul dari mereka sikap tatharruf, sikap keras, atau sikap lalai. Maka para ulamalah yang mengajari dan mengarahkan mereka, karena keilmuan para generasi muda masih sedikit sehingga mereka masih harus diarahkan kepada yang benar.

Syaikh ‘Abdullah bin Jabrin berkata, “At-Tatharruf adalah berlebihan atau meremehkan, sedangkan at-Tamassuk (berpegang teguh) adalah sikap yang pertengahan.” Maka barangsiapa mengkafirkan seseorang karena berbuat dosa, dan mengeluarkan orang yang maksiat dari Islam, kemudian menghalalkan darahnya tanpa diberi kesempatan untuk bertaubat, serta membolehkan untuk keluar dari penguasa dikarenakan melakukan pelanggaran atau kesalahan yang sedikit, maka orang tersebut Mutatharrif (melampaui batas atau berlebihan).

Barangsiapa membolehkan kemaksiatan, menghalalkan yang diharamkan, memaafkan pelaku kemaksiatan, memberikan keluasan tempat kepada mereka, serta mendukung mereka dalam perbuatan zina, riba, mencuri, membunuh, mabuk, dan yang sebangsanya, maka ia termasuk mutatharrif (orang yang berlebihan). Sedangkan al-mutamassik adalah orang-orang yang tidak mengkafirkan seseorang karena perbuatan dosanya, dan tidak membolehkan kemaksiatan serta mengingkarinya walaupun hanya dengan hati. (Majmu Fatawa dan risalah Syekh Ibnu Jibrin bab, al-Aqidah juz ke-8)

Dari perkataan Syaikh ini jelaslah bahwasanya al-ghuluw lebih khusus dari at-tatharruf, karena at-tathorruf adalah melampaui batas dan jauh dari sikap pertengahan dan keseimbangan dengan melakukan penambahan atau pengurangan, serta cenderung kepada dua sisi permasalahan yang mencakup al-ghuluw, tetapi al-ghuluw lebih khusus, dikarenakan al-ghuluw adalah melampaui batas kewajaran dalam hal penambahan dan pengurangan, dalam tindakan dikatakan al-ghuluw begitu juga dalam penambahan.( Kitab al-Ghuluw, karya ‘Ali asy-Syaibl hal. 22-23)