PERINGATAN AL-QUR’AN DAN AS-SUNAH TERHADAP AL-GHULUW

Sesungguhnya manusia secara tabi’atnya memiliki kekuatan atau kemampuan yang terbatas, maka janganlah ia melampauinya. Karena jika ia melampaui batas kemampuannya niscaya ia akan celaka. Allah Ta’ala telah mencegah atau melarang dari sikap berlebihan (al-ghuluw) dalam banyak ayat, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun memperingatkannya dalam banyak hadits. Di antaranya adalah firman Allah, “Wahai ahli kitab janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan kepada Allah kecuali yang benar.” (an-Nisa’: 171).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata (Tafsir Qur’an Ibnu Katsir juz 1 hal 589.), “Allah Ta’ala melarang Ahlul Kitab dari sikap berlebihan dan mengada-ada. Ini banyak dilakukan dalam agama Nashrani, karena sesungguhnya mereka melampaui batas terhadap Isa ‘alihis salam sehingga mereka mengangkatnya di atas kedudukan atau tempat yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala. Mereka pun mengalihkan dari kedudukanya sebagai Nabi kemudian menjadikannya sebagai Tuhan selain Allah Ta’ala. Mereka menyembahnya sebagaimana menyembah Allah Ta’ala. Bahkan mereka telah berlebihan atau melampaui batas kepada para pengikut dan pendukungnya dari orang-orang yang mengaku bahwa ia mengikuti agamanya. Mereka pun mengklaim bahwa dirinya ma’shum (terpelihara) sehingga para pengikut dan pendukung mengikuti segala sesuatu yang mereka katakan, baik perkataan yang haq ataupun bathil, yang sesat ataupun merupakan petunjuk, benar ataupun salah.

Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah hai ahli kitab janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhamad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia) dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (al-Maidah: 77)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata (Tafsir ibnu Katsir juz 2 hal 82.) “Maksudnya adalah janganlah kamu melampaui batas dalam mengikuti yang haq. Janganlah kamu berlebihan dalam mengagungkan seseorang yang kamu diperintahkan untuk mengagungkannya sehingga kamu mengeluarkannya dari posisi kenabian kepada tempat atau posisi ketuhanan, sebagaimana kamu lakukan terhadap al-Masih padahal beliau hanya seorang nabi. Namun kamu menjadikannya sebagai Tuhan selain Allah Ta’ala. Tindakan seperti ini tiada lain karena kamu telah mengikuti syaikh-syaikh (ulama) kamu yang sesat, yang mana mereka itu adalah para pendahulu kamu dari kalangan orang-orang yang dahulunya sesat. “Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya dan mereka telah menyesatkan banyak manusia dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (al-Maidah: 77) maksudnya mereka keluar dari jalan yang istiqomah dan lurus ke jalan yang bengkok dan sesat.

Peringatan Terhadap Al-Ghuluw Dari As-Sunnah

Sebagaimana al-Qur’an telah memperingatkan terhadap al-ghuluw (berlebih-lebihan), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun telah memperingatkan umatnya dari hal tersebut agar kaum Muslimin tidak terjerumus sebagaimana kaum yang lain dari kaum-kaum yang telah diutus kepada mereka para Rasul. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abas radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِيَّكُمْ وَ الْغُلُوْ فِي الدِّيْنِ, فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ باِلْغُلُوْ فِي الدِّيْنِ

“Janganlah kamu sekalian melakukan tindakan berlebih-lebihan dalam agama, karena sesungguhnya yang telah menghancurkan umat sebelum kamua adalah sikap berlebih-lebihan dalam beragama.” (Dikeluarkan oleh Imam an-Nasai dalam haditsnya no. 3059, Ibnu Majah no. 3029 dan Imam Ahmad dalam musnadnya ha 215,347, Imam Ahmad Syakir berkata dalam tahkik musna: sanadnya adalah shahih.) Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alihi wasallam menjelaskan tentang akhir atau akibat dari orang yang melakukan tindakan berlebihan, bahwasanya akhir dari mereka adalah kehancuran, sebagaimana telah hancurnya umat-umat yang telah lalu dengan sebab berlebih-lebihan. Kita senantiasa memohon kepada Allah Ta’ala kesehatan yang sempurna.

Diriwayatkan dari ‘Abdullah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hancurlah al-mutanaththu’un”, beliau mengatakannya tiga kali. (Dikeluarkan oleh Imam muslim no. 2670.) Imam Nawawi rahimahullah berkata (Dalam kitab syarh shahih Muslim oleh Imam Nawawi juz 16 hal 461 no. 2670), “Hancurlah al-mutanathiun, maksudnya adalah orang yang memperdalam, berlebihan, serta melampaui batas dalam perkataan dan perbuatannya.”

Syekh Ibnu Jibrin berkata (Majmu Fatawa dan risalah Syaikh Ibnu Jibrin, al-‘Akidah juz 8 (manuskrip)), “At-Tanathu’ adalah sikap mempersulit diri dalam berbicara, bersuci atau yang lainnya dari jenis peribadatan. Maka barangsiapa yang bersikap keras terhadap dirinya dalam hal bersuci dengan mengulang-ngulang gosokan maka ia termasuk “mutanathi’.” Dan barangsiapa yang bersikap keras terhadap dirinya dalam masalah niat, takbir, bacaan, rukun shalat, atau yang lainnya dari jenis peribadatan, maka ia termasuk “mutanathi’.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah rahimahullah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادُّ هَذَا الدِّيْنَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ , فَسَدِّدُوْا وَ قَارِبُوْا وَ أَبْشِرُوْا وَاسْتَعِيْنُوْا بِالْغَدْوَةِ وَ الرَّوْحَةِ وَ شَئٍ ٍمِنَ الدَّلْجَةِ. و في لفظ : و القصد القصد تبلغوا

“Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidak ada seorang pun yang mempersulit agama (dengan sikap berlebih-lebihan) niscaya ia akan dikalahkan. Maka tetaplah dalam kebenaran dan bersikap sederhanalah (tidak berlebihan), dan berilah kabar gembira, serta memohonlah pertolongan pada waktu pagi dan petang juga pada sebahagian malam.” Dalam hadis lain menggunakan lafadz “Wal-qashda al-qashda tablugu” artinya bersikap sederhanalah (sedikit-sedikit) niscaya kamu akan sampai (HR Bukhari) (Di keluarkan oleh Imam Bukhari no.39)

Imam Ibnu Hajar berkata (Foot note, Fathul Bari juz 1 hal 117), “Dan maknanya adalah tidaklah seseorang itu memperdalam amalan-amalan agama dan meninggalkan kelembutan, kecuali ia akan lemah atau tidak kuasa dan terputus, maka ia akan dikalahkan. Kemudian ia berkata, “Sungguh kita telah melihat dan orang-orang sebelum kita juga telah melihat bahwasanya setiap “mutanathi’” (orang yang berlebihan) niscaya ia akan hancur.”

Sikap keras terhadap diri merupakan bagian dari jenis-jenis al-ghuluw. Akhir dari orang yang memiliki sikap keras tersebut adalah kehancuran, karena orang yang berlebihan dalam agama niscaya ia akan dikalahkan dan itu tidak diragukan lagi.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Telah datang tiga orang laki-laki ke rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan tentang ibadah beliau. Ketika diberitahukan seakan–akan mereka menganggap ibadah Nabi amat sedikit. Mereka pun berkata, “Di manakah derajat kita (ibadah kita) bila dibandingkan dengan Nabi? Beliau telah diampuni Allah Ta’ala dari dosanya yang telah lewat dan yang akan datang.” Salah satu dari mereka berkata, “Adapun saya, saya akan shalat malam terus-menerus.” Yang lainnya berkata, “Saya akan berpuasa setahun dan tidak berbuka.” Dan yang terakhir berkata, “Saya akan menjauhi perempuan dan tidak menikah untuk selamanya.” Maka datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata,

آنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَ كَذَا؟ أَمَا وَاللهِ إِنِّيْ لَأَخْشَاكُمْ ِللهِ وَ أَتْقَكُمْ لَهُ, لَكِنِّيْ أَصُوْمُ وَ أُفْطِر وَ أُصَلِّيْ وَ أَرْقُد, وَ أَتَزَوَّجُ النِّسَآءَ, فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ

“Apakah kalian yang telah berkata begini dan begitu ? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah dan yang paling bertakwa kepada-Nya, tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan tidur, dan aku menikahi perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunahku ia tidak termasuk dari golongan umatku.” (Hadits Bukhari no. 5063 dan Muslim no. 1401.)

Imam Ibnu Hajar rahimahullah (Fathul Bari juz 9 hal, 7 dan 8.) dalam mengomentari perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (sesungguhnya aku orang yang paling takut kepada Allah dan yang paling bertakwa kepadanya), ia berkata, “Di dalam perkataan Nabi tersebut terkandung isyarat penolakan terhadap apa yang mereka yakini bahwa yang telah diampuni tidak membutuhkan lagi kepada tambahan dalam beribadah dan berbeda dengan yang lainya. Nabi pun mengajarkan atau memberitahukan kepada mereka bahwasanya walaupun beliau bersikap keras dalam beribadah, tetapi beliau merupakan orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa dari orang-orang yang bersikap keras. Beliau melakukan hal itu tiada lain karena orang yang bersikap keras ia tidak akan pernah aman atau selamat dari perasaan bosan. Berbeda dengan orang yang sederhana, sesungguhnya ia sangat mungkin untuk melanjutkannya (istiqamah). Dan sebaik-baik amal adalah yang terus-menerus dilakukan oleh orang yang melakukannya.

Dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Barangsiapa yang tidak suka dengan sunahku, maka ia bukan dari umatku.” Imam Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Yang dimaksud dengan “sunnah” adalah jalan dan bukan kebalikan dari “fardhu” dan “Rogbah ‘an Syaiin (tidak suka dengan)” artinya adalah berpaling dari sesuatu kepada sesutau yang lain. Maksud dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut adalah bahwa barangsiapa yang meninggalkan jalanku dan mengambil jalan selain jalanku, maka ia bukan dari umatku. Rasulullah telah mengisyaratkan dengan hal itu seperti jalannya kependetaan. Sesungguhnya merekalah yang telah mengada-adakan sikap keras sebagaimana yang telah disifati Allah. Allah Ta’ala telah mencela mereka bahwa sesungguhnya mereka tidak memenuhi atau tidak melaksanakan apa yang telah menjadi komitmen bagi mereka, sedangkan jalannya Nabi adalah lurus dan toleran. Beliau berbuka supaya kuat berpuasa, tidur supaya kuat bangun malam, dan menikahi perempuan supaya syahwat dapat tersalurkan, untuk menjaga diri, serta memperbanyak keturunan. Sesungguhnya mereka yang bertanya tentang ibadahnya Nabi dalam keadaan menyendiri, mengira bahwasanya sikap keras terhadap diri mereka, tindakan berlebihan, dan tindakan mempersulit diri (dalam melak-sanakan syari’at) adalah jalan yang benar, dengan alasan bahwa mereka tidak mengetahui apakah mereka termasuk dari golongan yang diampuni ataukah tidak?

Jika setiap orang berpikir dan melakukan seperti apa yang mereka lakukan, niscaya hikmah dari penciptaan manusia yaitu agar beribadah kepada Allah dan memakmurkan bumi tidak akan terwujud. Sesungguhnya nikah akan menanggulangi syahwat, dan dengan nikah juga akan memperbanyak keturunan. Ini adalah tuntutan syariat. Adapun berpuasa yang terus menerus dan tidak tidur, sesungguhnya keduanya akan mengakibatkan lemahnya badan, karena manusia mesti makan, minum dan tidur sehingga badannya menjadi kuat. Kemudian, dengan kekuatan badannya tersebut ia akan mampu melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan akan mampu memakmurkan bumi.

Maka seorang muslim hendaklah ia berhati-hati dari sikap berlebihan, membebani diri di luar kemampuan, mempersulit diri, serta mempersulit agama. Ia harus senantiasa bersikap sederhana dalam semua urusan, karena sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan. Ia harus kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, karena sesungguhnya kesederhanaan itu merupakan pekerjaan yang sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam kitab Allah dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kesederhanaan juga merupakan pekerjaan yang telah ditetapkan dari para sahabat radhiallahu ‘anhum, karena mereka lebih dekat kepada pemahaman risalah, sebagaimana pemahaman orang-orang yang langsung mendapatkan atau menerima syari’at dari mulut ahlinya. Mereka (para sahabat) merupakan orang yang memiliki pemahaman, kejujuran, keikhlasan. Di atas jalan para sahabat terdahulu berjalan generasi salafus shalih yang membawa amanah dengan penuh kejujuran, pengetahuan dan semangat.