Islam menjadikan pernikahan sebagai salah satu prinsip kehidupan dan bagian dari syariatnya. Barangsiapa berpaling dari pernikahan dan meninggalkannya tanpa alasan maka dia meninggalkan bagian dari agama, oleh karena itu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengajak anak-anak muda menikah,

“Wahai para pemuda, barangsiapa dari kalian mampu memberi nafkah maka hendaknya dia menikah karena ia lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena ia adalah kendali baginya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam hadits di atas menetapkan tujuan agama dari pernikahan.

Pertama: Membuat manusia menundukkan pandangan sehingga mereka tidak melihat kepada yang haram.

Kedua: Menikah adalah sarana untuk menjaga manusia sehingga tidak terjerumus ke dalam zina.

Hanya saja walaupun Islam mendorong menikah, hal tersebut tidak berarti secara mutlak, akan tetapi ia terkait dengan syarat adanya kemungkinan-kemungkinan untuk menunaikan tanggung jawab pernikahan, dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengungkapkan kemungkinan ini dengan al-ba`ah yakni kadar cukup untuk menunaikan tanggung jawab pernikahan.

Barangsiapa belum memiliki kadar cukup ini, maka secara syar’i dia tidak dituntut untuk menikah dan tidak dipersalahkan jika dia meninggalkannya, bahkan maju ke medan pernikahan tanpa terpenuhinya syarat-syaratnya tidak boleh, pernikahan orang-orang yang belum memiliki kadar cukup bisa menimbulkan persoalan-persoalan sosial, mereka tidak hanya merugikan diri mereka saja akan tetapi merugikan anak-anak mereka, masyarakat dan isti mereka, sering kita melihat anak orang-orang tersebut terbuang di jalan-jalan tidak memiliki tempat tinggal dan tidak mendapatkan makan, akibatnya mereka menjadi beban masyarakat.

Dalam kondisi ini Islam memerintahkan mereka untuk menahan diri dengan tidak menikah. Firman Allah Subhanahu waTa’ala,

artinya, “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karuniaNya.” (QS. an-Nur: 33).

Muncul persoalan pada saat tidak adanya harta untuk membiayai pernikahan, apa yang dilakukan para pemuda yang berada di puncak kepemudaannya di mana dorongan jiwa muda sedemikain menggelora? Padahal sebelumnya telah kita katakan bahwa tidak terpenuhinya dorongan ini merugikannya. Jika kita menghalang-halanginya memenuhi dorongan ini maka dia harus berjuang ekstra menahan diri dan ini membahayakannya. Jika diizinkan tanpa menikah maka ia dilarang dalam Islam. Kita kembali kepada Islam bagaimana ia mengatasi persoalan ini, kita lihat bahwa Islam mengatasinya dengan empat cara:

Pertama: Berpuasa. Ia meringankan tekanan syahwat dan melemahkan dorongannya, terkadang selama berpuasa dorongan ini hilang, dengan itu tidak ada lagi persoalan karena persoalan terjadi pada saat seseorang ingin mendapatkan suatu tujuan lalu di hadapannya berdiri penghalang di mana dia tidak kuasa menghilangkannya, dengan itu tidak terjadi pergolakan jiwa apapun pada dirinya. ini dari satu sisi, dari sisi lain puasa memiliki isyarat pada diri karena orang yang berpuasa merasa bahwa dirinya beribadah kepada Allah Subhanahu waTa’ala dan mencari ridha penciptaNya bahwa Allah Subhanahu waTa’ala mengatur untuknya apa yang mewujudkan keinginannya kalaupun dia tidak menikah di dunia ini, dia tetap akan menikmati di akhirat apa yang lebih baik dan lebih kekal selama seseorang yakin bahwa persoalannya akan teratasi cepat atau lambat, maka hal itu tidak memicu penyakit kejiwaan dengan itu puasa mengatasi persoalan dari sisi fisik dan kejiwaan sekaligus.

Kedua: Menahan dan menjaga diri yaitu menahan diri dari perbuatan zina demi melindungi kemuliaan jiwa, menjauh dari keinginan-keinginan syahwat rendah dan menyintai keluhuran. Para ahli jiwa berkata, tidak dipenuhinya dorongan seksual karena takut kepada undang-undang menyebabkan persoalan kejiwaan, berbeda jika hal itu disebabkan oleh pandangan kepada zina bahwa ia merupakan perkara buruk yang tidak patut dilakukan dan bahwa ia membahayakan kesehatan, maka dalam kondisi ini tidak berdampak negatif sebab ia bukan sebuah problem kejiwaan.

Para ahli ilmu jiwa telah berbicara tentang pengaruh menahan diri dalam kehidupan seseorang. Jika kekuatan seksual tersebut digunakan dalam kebaikan maka ia akan memberi hasil yang besar di medan ilmu, adab dan kemajuan dalam ilmu pengetahuan.

Islam menjunjung tinggi perkara menahan dan menjaga diri, di mana ia menyifati zina dengan perbuatan keji, firman Allah Subhanahu waTa’ala ,

artinya, “Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. an-Nisa`: 22).

Islam menyatakan bahwa zina merupakan perkara dan perbuatan buruk, Islam menjauhkan kemanusiaan darinya dan mendorongnya agar menahan diri dari nafsu ini.

Ketiga: Islam memerintahkan para wali agar memudahkan urusan pernikahan anak-anak mereka jika mereka miskin dan tidak mampu memberi nafkah, firman Allah Subhanahu waTa’ala ,

artinya, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurniaNya. Dan Allah Mahaluas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. an-Nur: 32).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika orang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya melamar kepadamu maka nikahkanlah dia.” (HR. at-Tirmidzi)

Para fuqaha berkata, jika para wali tidak membantu anak-anak muda yang tidak berharta maka baitul mal yang membayar dan menikahkan mereka karena menikah sebagaimana kami katakan adalah kebutuhan pribadi dan masyarakat, tidak patut dilalaikan.

Masyarakat muslim harus membantu orang-orang miskin baik dengan memberi atau membuka lapangan pekerjaan untuk mereka sehingga mereka tidak hidup tanpa menikah dan hal itu memicu mewabahnya zina dan otomatis penyakit.

Sebagaimana menikah adalah keharusan sosial, ia juga salah satu kewajiban masyarakat kepada anggota-anggotanya.

Keempat: Hendaknya seseorang mengeluarkan segala daya dan kemampuannya untuk mendapatkan rizki yang halal, dengannya dia bisa memikul nafkah pernikahan. Barangsiapa berusaha dengan sungguh-sungguh niscaya dia mendapatkan walaupun terlambat. Seseorang mesti bekerja agar bisa memberi dan tidak menerima, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.

Kemudian tertundanya pernikahan dan perasaan seseorang bahwa hubungan yang tidak syar’i adalah haram mendorongnya bersungguh-sungguh dan serius menyiapkan kehidupan mulia, di dalamnya dia bisa mendapatkan kenikmatan kehidupan rumah tangga yang mulia.

Begitulah kita melihat Islam tidak menyediakan satu solusi bagi problematika akan tetapi beberapa solusi agar masing-masing pribadi mengambil apa yang menurutnya sesuai dan cocok dengan keadaan dan kondisinya. Dan Allah pemberi taufik.
(Oleh: Ust. Izzudin Karimi, Lc)