Perjanjian Damai

Pendahuluan
Dalam hubungan bisnis kadang terjadi polemik yang dapat memperkeruh kejernihan hubungan bisnis tersebut, terkadang bisa mengguncangnya. Banyak usahawan muslim yang keberatan untuk mengadukan persoalan kepada pengadilan dengan hukum positif, terutama di masyarakat barat, karena mereka berusaha menghindari meminta keputusan hukum kepada thaghut. Oleh sebab itu mereka lebih memiliki berdamai yang dengan cara itu polemik bisa dihilangkan dan urusannya kembali pulih seperti semula.

Bahkan kembali kepada cara damai ini termasuk yang dianjurkan hingga dalam masyarakat Islam sekalipun yang para anggota masyarakatnya biasa meminta keputusan hukum kepada syariat Islam. Karena perdamaian itu lebih bisa melanggengkan keharmonisan dan lebih bisa mengutuhkan kasih sayang karena keputusan itu. Oleh sebab itu Umar y pernah menyatakan, “Kembalikan orang-orang yang bermusuhan hingga mereka saling berdamai. Karena keputusan hakim itu sering menimbulkan ke-dengkian.”

Bagaimana hukum-hukum syariat soal perdamaian? Apa contoh rambu-rambunya yang paling mendasar? Itulah yang akan kami jelaskan pada baris-baris berikut:

Definisi Shulh atau Perdamaian
Secara bahasa, artinya adalah lawan dari kerusakan. Yakni menghilangkan pertikaian dan saling berdamai setelah bermu-suhan.

Dalam terminologi ilmu fiqih artinya: Perjanjian untuk menghilangkan polemik antar sesama lawan sebagai sarana men-capai kesepakatan antara orang-orang yang berselisih.

Perdamaian selain berfungsi menghilangkan polemik yang telah terjadi, ia juga bisa menghindarkan polemik sebelum terjadi. Oleh sebab itu kalangan Malikiyah mendefinisikannya sebagai berikut: Berpindahnya seseorang dari hak atau klaim dengan kompensasi untuk menghindari pertikaian atau karena khawatir terjadi pertikaian.

Perbedaan Antara Perdamaian dengan Tahkim
Tahkim menurut para Ahli Fiqih adalah mengangkat hakim untuk menyelesaikan permasalahan antara dua orang yang ber-sengketa. Pengangkatan ini terkadang berasal dari pihak qadhi, dan terkadang berasal dari pihak-pihak yang bersengketa. Antara perdamaian dan keputusan pengadilan terdapat perbedaan dari dua sisi:
1. Keputusan pengadilan itu berasal dari hukum pengadilan sementara perdamaian itu berasal dari hukum suka sama suka.
2. Perdamaian mengandung sikap mengalah salah pihak atau kedua-duanya dari hak mereka. Sementara keputusan penga-dilan tidaklah demikian.

Disyariatkannya Perdamaian
Disyariatkannya perdamaian telah ditegaskan dalam Kita-bullah, Sunnah Rasul dan Ijma’ kaum muslimin.

Dari Kitabullah
Allah berfirman:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perda-maian diantara manusia.” (An-Nisa’: 114).

Hal ini bersifat umum meliputi darah, harta dan kehor-matan. Dalam segala hal bisa saja terjadi saling mengklaim dan perselisihan di antara sesama kaum muslimin.

Allah berfirman:
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya menga-dakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.” (An-Nisa’: 128).

Dari Sunnah Rasul
Rasulullah a bersabda:
“Perdamaian itu dibolehkan antar sesama kaum muslimin.”

Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih mereka, dari Abdullah bin Ka’ab bin Malik, bahwa ketika Ka’ab berselisih dengan Ibnu Abi Hadrad tentang piutangnya terhadap Abi Hadrad. Nabi a akhirnya mendamaikan mereka berdua dengan menguranginya jumlah piutang Ka’ab menjadi setengah dan menyuruh Hadrad membayar setengah hutangnya.

Ijma’ Kaum Muslimin
Para ulama Ahli Fiqih telah bersepakat tentang disyariat-kannya perdamaian itu secara umum, meskipun ada perbedaan pendapat dalam sebagian rinciannya.

Asal perdamaian dari substansinya adalah disunnahkan. Terkadang muncul kondisi yang menyebabkan hukumnya menjadi wajib, yakni apabila ada kemaslahatan yang bergantung padanya. Namun juga bisa berubah menjadi haram bila menyebabkan terja-dinya perbuatan haram yang harus dicegah. Atau berubah menjadi makruh bila menyebabkan terjadinya kerusakan yang kemungkinan bisa terjadi. Dan bisa juga menjadi mubah, bila dua kemungkinan itu sama-sama bisa terjadi.

Keutamaan Perdamaian
Keutamaan perdamaian merupakan hal yang sudah dike-tahui secara luas dalam ajaran kaum muslimin. Dengan perda-maian, berbagai polemik bisa diselesaikan dan berbagai permu-suhan bisa dihilangkan, bahkan dengan perdamaian itu cinta kasih bisa tersebar di kalangan kaum muslimin. Rasulullah a bersabda:
“Maukah engkau kuberitahukan sesuatu yang lebih utama dari-pada puasa, sedekah dan shalat?” Kami (para Sahabat) menjawab, “Tentu mau.” Beliau bersabda, “Mendamaikan orang yang bermu-suhan. Karena rusaknya hubungan sesama muslim adalah haliqah (merusak agama).”

Umar berkata, “Kembalikan orang-orang yang bermusuhan hingga mereka saling berdamai. Karena keputusan hakim itu sering menimbulkan kedengkian.”

Perdamaian bukan merupakan perjanjian terpisah, namun merupakan cabang dari perjanjian lain. Sehingga bisa diberlakukan hukum-hukum yang berkaitan dengan berbagai perjanjian lain tergantung isi perdamaian tersebut.

Al-Firaqi menyatakan, “Ketahuilah, bahwa perdamaian dalam soal harta itu berkisar antara lima hal:
1. Jual beli, bila merupakan pertukaran antar materi.
2. Money Changer, bila dilakukan antara satu jenis uang yang berbeda.
3. Sewa menyewa, kalau merupakan penyewaan fasilitas.
4. Menghilangkan permusuhan, bila belum bisa ditentukan keputusannya.
5. Kebaikan. Yakni yang diberikan oleh pihak yang meminta perdamaian, namun tidak diberikan oleh pihak yang bersalah. Apabila salah satu dari sebab ini terjadi, maka segera dicermati syarat-syarat persoalan tersebut.

Tidak Ada Perdamaian Dalam Hukum-hukum Allah
Hukum ada dua: Hukum Allah dan hukum sesama hamba. Tidak ada jalan bagi perdamaian dalam hukum-hukum Allah q, seperti hukum-hukum terhadap tindakan kriminalitas, kifarat dan zakat. Perdamaian itu hanya berlaku pada persoalan antara ham-ba dengan Rabbnya. Yakni dengan cara menegakkannya, bukan meninggalkannya.

Dengan dasar ini, tidak sah perdamaian dalam soal hukuman zina, hukuman mencuri dan hukuman meminum minuman keras, bila persoalan itu sudah sampai kepada penguasa. Oleh sebab itu Allah melaknat orang yang meminta dan memberi dispensasi hukum. Adapun hukum-hukum sesama manusia, itulah yang da-pat menerima perdamaian.

Syarat-syarat Perdamaian yang Berkaitan dengan Hak-hak Sesama Manusia
Untuk objek perdamaian yang berkaitan dengan hak sesama manusia, disyaratkan beberapa hal berikut:

  • Harus merupakan hak dari orang yang meminta bedamai, jelas adanya pada saat berdamai. Tidak boleh misalnya seorang wanita menuntut perdamaian dengan suami yang menceraikan-nya atas anak yang ada di tangannya (suami), dia (wanita itu) mengklaim bahwa anak itu adalah anak mantan suaminya dari dirinya. Karena nasab adalah hak si anak, bukan hak diri wanita tersebut.
  • Harus merupakan hal atau sesuatu yang bisa diberikan kompensasi. Tidak boleh seorang lelaki meminta seorang wanita berdamai agar mengakui dirinya sebagai suami. Atau meminta berdamai orang merdeka agar mengaku sebagai budaknya. Kare-na mengeluarkan harta sebagai kompensasi untuk tujuan tersebut tidak dibolehkan.
  • Harus diketahui. Tidak boleh berdamai dengan kompen-sasi harta yang tidak diketahui jumlahnya. Namun syarat yang satu ini masih diperdebatkan oleh ulama fiqih.

Untuk Kompensasi atau Ganti Rugi Disyaratkan Sebagai Berikut:

  • Harus merupakan harta yang bernilai. Tidak dibolehkan memberikan kompensasi perdamaian dengan benda-benda haram, seperti bangkai, darah, daging babi. Karena meskipun benda-benda itu dianggap bernilai oleh sebagian orang, namun menurut syariat Islam tidak bernilai.
  • Harus merupakan hak milik pihak yang berdamai. Kalau seseseorang meminta damai dengan kompensasi harta, ternyata terbukti bahwa harta itu milik orang lain, ada pendapat bahwa perdamaian itu batal. Ada juga yang berpendapat bahwa perdamaian tersebut tetap sah, namun ia harus menggantinya dengan yang sama atau yang senilai bila merupakan nilai tukar.
  • Harus diketahui. Kalau perdamaian dilakukan dengan kompensasi yang tidak diketahui, perdamaian itu tidak sah. Ka-rena serah terima barang itu wajib, sementara keberadaan barang itu yang tidak diketahui, menyebabkan serah terima itu tidak mungkin dilakukan. Kalangan Hanafiyah membedakan antara sesuatu yang perlu diserahterimakan, syaratnya harus diketahui, dengan yang tidak perlu diserahterimakan, maka tidak disyarat-kan harus diketahui. Kalau seseorang mengklaim hak pada sebuah rumah yang ditempati seseorang, lalu orang itu juga mengklaim hak pada tanah yang ditempati orang pertama, kemu-dian keduanya berdamai dan meninggalkan klaim tersebut, boleh-boleh saja, karena memang tidak ada yang perlu diserahterimakan dalam kasus ini.

Macam-Macam Kesepakatan Damai
Kesepakatan damai itu bisa terjadi antara pihak yang mengklaim dan yang diklaim. Atau antara yang mengklaim dengan pihak luar dari pertikaian yang menjadi penengah dalam pertikaian tersebut.

Pertama: Kesepakatan Damai antara Pengklaim dengan Orang yang Diklaim
Kesepakatan damai antara orang yang melontarkan klaim dengan orang yang diklaim bisa dengan pengakuan pihak yang diklaim, bisa juga ia tidak mengakuinya, atau tidak berkomentar.

1) Kesepakatan damai dengan pengakuan pihak yang mendapatkan klaim.
Hukumnya boleh berdasarkan kesepakatan ulama. Klaimnya bisa berupa harta atau hutang.

a. Kesepakatan damai terhadap klaim harta.
Contohnya, seseorang yang mengklaim rumah yang ditem-pati seseorang, dan orang kedua itu mengakuinya. Kemudian mereka berdamai dengan menerima sebagian rumah tersebut, atau diganti dengan rumah lain, mobil, sebidang tanah dan seje-nisnya. Atau menggantinya dengan fasilitas barang lain.

Kesepakatan damai terhadap harta ini bisa jadi dengan menurunkan nilai. Seperti kesepakatan damai dari klaim sebuah barang dengan menerima sebagiannya saja. Seolah-olah ia telah menghibahkan sisanya. Oleh sebab itu diberlakukan juga di sini hukum-hukum hibah. Dalam hal ini kalangan Hambaliyah mene-tapkan persyaratan agar kesepakatan perdamaian itu tidak dilaku-kan dengan ungkapan perdamaian dan dengan syarat agar tidak melakukan kesepakatan itu dengan pemberian sebagian harta saja, sehingga merusak hak orang yang mengklaim, atau meng-ganti sebagian haknya dengan sebagian hak lain, dan itu dilarang.

Kesepakatan damai itu bisa menurunkan nilai hak milik, dan bisa juga menggantinya. Seperti kesepakatan damai dengan mengganti rumah dengan rumah lain atau dengan mobil dan sejenisnya. Ini disyariatkan. Bahkan bisa terhitung sebagai jual beli (barter). Karena itu mengganti harta dengan harta. Kesepakatan damai itu sah dengan syarat-syarat sahnya jual beli dan menjadi tidak sah bila ada hal yang membatalkan jual beli.

Kalau mengganti barang yang diklaim dengan fasilitas barang lain, itu juga sah. Karena itu bisa termasuk sewa menyewa. Maka hukum sewa menyewa yang diberlakukan di sini.

b. Kesepakatan Damai Terhadap Hutang
Kesepakatan damai terhadap hutang misalnya seperti orang yang mengakui memiliki piutang pada diri orang lain, lalu orang yang berhutang itu mengaku. Kemudian terjadi kesepakatan di antara mereka dengan memberikan sebagian hutang atau diganti dengan harta lain. Secara umum cara ini juga disyariatkan, meskipun sebagian rinciannya masih diperdebatkan.

Kesepakatan damai terhadap hutang ini sendiri ada dua: Kesepakatan dengan pemutihan hutang dan membebaskannya, dan kesepakatan dengan pemberian kompensasi.

Kesepakatan damai dengan pemutihan hutang atau pengu-rangannya, yang bisa dilakukan pada sebagian jenis hutang. Se-perti ucapan seseorang, “Saya mengajakmu berdamai terhadap seribu dirham hutangmu kepadaku, dengan ganti lima ratus dir-ham saja.” Cara ini disyariatkan, bahkan itu termasuk jenis pembe-basan hutang, sehingga hukum-hukumnya disamakan. Kalangan Hambaliyah menetapkan syarat sahnya kesepakatan damai ini, bahwa kesepakatan itu harus terjadi dengan suka rela, suka sama suka.

Adapun kalau ia mengajak berdamai untuk mempercepat pembayaran hutang dengan memberikan potongan terhadap sebagian hutangnya, cara ini masih diperdebatkan di kalangan ulama fiqih. Itu yang disebut masalah “Kurangi jumlahnya dan bayar sekarang” Namun pendapat yang populer dan paling benar adalah dibolehkan, kalau bukan karena kesepakatan sebelumnya, dan selama itu berasal dari hubungan antar mereka berdua saja, yakni pihak yang memberi hutang dan yang berhutang.

2) Kesepakatan Damai Namun Pihak yang Mendapatkan Klaim Tidak Mengakuinya
Mayoritas ahli fiqih membolehkannya demi menghilangkan pertikaian, selama masing-masing di antara keduanya yakin bah-wa ia benar dalam pengakuannya. Adapun kalau salah seorang di antara mereka menyadari bahwa dia berbohong, maka perda-maian itu batal. Hal itu diindikasikan oleh dalil-dalil umum yang menjelaskan disyariatkannya perdamaian.

Pendapat itu dibantah oleh kalangan Syafi’iyah. Karena disyariatkannya kesepakatan damai itu konsekuensinya adalah penetapan satu hak, padahal dalam kasus ini hak itu tidak ada karena tidak diakui. Sehingga mengeluarkan uang untuk men-cegah permusuhan di sini menjadi batal, bahkan bisa sama artinya dengan menyuap. Namun mereka terbantah oleh dalil-dalil umum yang ada pada satu sisi, dan pada sisi lain oleh kenyataan bahwa klaim itu benar menurut pihak yang melontarkan klaim.

3. Kesepakatan Damai dengan Pihak yang Mendapat Klaim Tidak Berkomentar
Kasus ini menurut mayoritas ulama disetarakan dengan ke-sepakatan damai saat orang yang tidak mengakuinya. Karena orang yang tidak berkomentar berarti tidak mengakui keputusan, karena asal dari segala sesuatu itu terbebas dari tanggungan. Maka perbedaan pendapat dalam kasus sebelumnyapun berlaku untuk kasus ini.
Kedua: Kesepakatan Damai Antara Orang yang Mengklaim dengan Orang Luar
Apabila ada orang luar yang turut campur untuk meng-hilangkan terjadinya permusuhan antara dua orang yang bertikai, lalu orang itu mengajak pengklaim berdamai dengan diberi seba-gian hartanya:

Bila dengan ijin orang yang mendapatkan klaim, kesepa-katan itu sah dan pengaruhnya berlaku bagi pihak yang menda-patkan klaim itu. Orang luar itu dianggap sebagai wakil baginya dalam persoalan itu.

Tetapi kalau tidak dengan ijinnya namun pihak yang meng-ajak berdamai menanggung konsekuensinya dengan harta miliknya, maka perdamaian itu pun sah. Dan kalau tidak demikian maka perdamaian ini masih tergantung pada ijin orang yang terkena klaim. Kalangan Malikiyah menyatakan bahwa kesepakatan damai seperti itu sah secara mutlak, namun segala akibatnya ditanggung oleh pihak luar yang terlibat dalam kondisi apapun.

Beberapa Pengaruh Kesepakatan Damai
Kesepakatan damai termasuk di antara perjanjian permanen. Masing-masing pihak tidak berhak membatalkannya atau mera-latnya setelah perjanjian itu berlangsung. Kalau kesepakatan tersebut sudah terjadi, konsekuensinya ada dua hal:
1. Gugurnya klaim tersebut, orang yang melemparkan klaim tidak berhak lagi untuk meneruskan klaimnya setelah itu.
2. Kompensasi klaim itu menjadi milik orang yang mengklaim dan orang yang mendapatkan klaim tidak berhak untuk memintanya kembali.

Berakhirnya Kesepakatan Damai
Kesepakatan damai ini bisa berakhir dengan pembatalan melalui perbuatan salah satu pihak atau kedua-duanya. Terka-dang upaya damai itu juga menjadi batal oleh sebab-sebab di luar keinginan pihak-pihak yang terlibat. Penyebab batalnya upaya damai itu ada empat:
1. Meninggalnya salah satu pihak sebelum berakhirnya masa yang ditentukan, yakni kalau perdamaian itu berlaku pada beberapa bentuk fasilitas. Karena pada saat itu hukumnya adalah hukum sewa menyewa. Sewa menyewa batal dengan mening-galnya salah satu pihak. Demikian juga perjanjian ini sama hukum-nya dengan penyewaan. Ini adalah pendapat kalangan Hanafiyah, namun mayoritas ahli fiqih berpendapat sebaliknya. Pendapat mereka lebih mendekati kebenaran.

2. Rusaknya barang kompensasi kalau berbentuk fasilitas, sebelum sempat digunakan. Misalnya seseorang mengajak berda-mai dengan kompensasi sebuah fasilitas, namun fasilitas itu keburu rusak. Kalau kerusakannya sebelum digunakan, kesepakatan tersebut dianggap batal, dan ia harus meralat kesepakatan damainya itu. Namun bila terjadi setelah digunakan sebagiannya, sebagian yang rusak itu dianggap batal namun sisanya dimasukkan hitungan. Inilah pendapat yang ditegaskan oleh kalangan Syafi’iyah dan Hambaliyah.

Namun kalangan Hanafiyah merinci terjadinya kerusakan itu bila sebelum digunakan; antara fasilitas yang dijadikan kom-pensasi yang berupa benda hidup, mereka menyatakan perda-maian itu batal karena penyewaan binatang itu batal bila binatang itu mati. Namun kalau selain binatang atau benda hidup, kesepa-katan damai itu tidak sah. Pihak yang melempar klaim memiliki hak pilih antara membatalkan kesepakatan atau mengganti kom-pensasinya. Karena menyewakan rumah itu tidak batal jika rumah itu rusak.

Adapun kalau kompensasinya berupa barang, lalu rusak sebelum diserahterimakan, kesepakatan itu batal. Kalau sebagian saja yang rusak, maka sebagian dari kesepakatan itupun rusak sesuai ukuran kompensasi yang rusak. Sementara bila kompensasi tersebut berupa piutang, apabila rusak, tidak akan menyebabkan batalnya kesepakatan, namun pihak yang dikenakan klaim harus menggantinya.

3. Kepemilikan. Kalau perdamaian terjadi dengan penga-kuan tertentu dan orang yang menuntut upaya damai itu telah memiliki sepenuhnya atau sebagian dari yang menjadi tuntutan-nya dengan bukti yang jelas, ia harus mengembalikan kompensasi yang diambil dari orang yang diklaimnya dengan hak yang sudah diperolehnya, bila penuh dikembalikan penuh, dan bila hanya sebagian dikembalikan sebagian.

Demikian juga apabila ia telah mendapatkan seluruh jumlah kompensasi atau sebagiannya, maka pihak yang mengklaim harus meralat klaimnya terhadap pihak yang terkena klaim dengan kompensasi yang telah diterimanya, bila penuh ia harus meralat penuh, dan bila sebagian ia harus meralat sebagian. Dalam kedua kondisi tersebut, kesepakatan damai tidak membawa pengaruh apa-apa, kecuali kalau kompensasi yang diberikan termasuk yang tidak dihitung dengan jumlah satuan, seperti uang, dan kepemi-likannya baru diberikan setelah pertemuan, maka kesepakatan itu dianggap batal.

4. Terjadinya perubahan pada orang yang menuntut per-damaian sehingga merusak kompensasi perdamaian yang seha-rusnya diberikan.

Contohnya adalah seseorang melukai orang lain dengan sengaja, lalu orang tersebut menuntut perdamaian, namun kemu-dian luka itu sembuh dan tidak menimbulkan bekas, atau bahkan meninggal dunia karena luka tersebut. Dalam dua kondisi itu kesepakatan damai tersebut batal.