Imam asy-Syafi’i, siapa yang tidak mengenalnya, walaupun beliau lebih terkenal sebagai seorang imam madzhab dengan namanya sendiri, namun hal ini tidak berarti bahwa beliau hanya mahir di bidang fikih semata. Bahasa, sastra, syair dan fikih beliau kuasai dengan baik. Karena beliau hidup di masa abad ketiga pertama, maka kata-kata beliau dalam perkara bahasa merupakan hujjah yang dijadikan pijakan dalam bahasa.

Lahir di Gaza Palestina tahun 150 H, beliau tumbuh di Makkah dan belajar dari ulamanya dan ulama-ulama Hejaz lainnya seperti Imam Malik bin Anas. Selain unggul di bidang fikih, beliau juga mempunyai saham yang tidak bisa dipandang remeh dalam bidang syair, karena beliau adalah seorang alim besar, berjiwa dan berakhlak al-Qur`an dan sunnah, maka syair-syair beliau sarat dengan makna-makna luhur yang tergali dari ajaran keduanya, termasuk beberapa bait syair yang penulis hadirkan di bawah ini. Imam asy-Syafi’i wafat di Mesir tahun 204 H.

دَعْ الأَيَّامَ تَفْعَلْ مَا تَشَاءُ
وَطِبْ نَفْسًا إِذَا حَكَمَ القَضَاءُ

Biarkanlah hari-hari melakukan apa yang ia ingin
lapangkan dadamu menerima ketetapan takdir

وَلاَ تَجْزَعْ لِحَادِثَةِ اللّيَالِي
فَمَا لِحَوَادِثِ الدُّنْيَا بَقَاءُ

Jangan lemah menghadapi kejadian-kejadian zaman
peristiwa-peristiwa dunia tidak akan berhenti

وَكُنْ رَجُلاً على الأَهْوَالِ جَلْدًا
وَشِيْمَتُكَ السَّمَاجَةُ وَالسَّخَاءُ

Jadilah dirimu orang yang tegar menghadapi kesulitan
sementara ciri khasmu adalah kedermawanan

وَلاَ تَرْجُ السَّمَاحَةَ مِنْ بَخِيْلٍ
فَمَا فِي النَّارِ للظَّمْآنِ مَاءُ

Jangan berharap bantuan dari si bakhil
karena api tidak akan memberi air bagi orang yang haus

أَمْطِرِي لُؤْلُؤاً سَمَاءَ سَرَنْدِيــبَ
وَفِيْضِي آبَارَ تُكْرُورَ تِبْرًا

Wahai langit Sarandib, turunkan hujan mutiara, wahai sumur-
sumur Tukrur, limpahkanlah emas dari dasarmu

أَنَا إِنْ عِشْتُ لَسْتُ أَعْدَمُ قُوْتًا
وَإِذَا مِتُّ لَسْتُ أَعْدَمُ قَبْرًا

Jika aku hidup, aku tetap akan mendapatkan makan, jika aku
mati, aku tetap akan mendapatkan kubur

هِمَّتِي هِمَّةُ المُلُوْكِ وَنَفْسِي
نَفْسُ حُرٍّ تَرَى المَذَلَّةَ كُفْرًا

Cita-citaku adalah cita-cita para raja, jiwaku adalah jiwa merdeka,
memandang kehinaan adalah kekufuran

وَإِذَا مَا قَنَعْتُ بِالقُوْتِ عُمْرِي
فَلِمَاذَا أَزُوْرُ زَيْدًا وَعَمْرَا ؟

Jika aku telah merasa cukup dengan makananku seumur hidupku,
lalu untuk apa aku mengunjungi Zaid dan Amru?

Keterangan

Bait pertama, Imam menasihati kita agar tidak terlalu memikirkan apa yang terjadi dalam kehidupan, karena hal itu di luar kemampuan kita, perkaranya di tangan pengatur alam semesta, yang penting bagi kita adalah menghadapinya dengan sabar, teguh dan tegar, apa pun yang Dia tetapkan akan terjadi, kesedihan, kemarahan dan ketidakrelaan kita tidak akan merubah apa pun.

Bait kedua, Imam menegaskan makna bait pertama, di sini beliau melarang kita bersedih, bersikap lemah, bermental melempem pada saat menghadapi musibah dan ujian, peristiwa dunia datang dan pergi tiada kenal henti sebelum dunia itu sendiri berhenti, dan orang yang berakal menggunakan kesabaran dan ketegaran sebagai penolong setelah Allah.

Bait ketiga, Imam mengajak kita menjadi orang kuat dalam menghadapi kesulitan dan rintangan dunia, “Mukmin yang kuat adalah lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah). Tegar dengan tetap memegang sifat mulia yakni bermurah hati.

Bait keempat, Imam melarang kita berharap sesuatu dari si bakhil karena harapan kita kepadanya tinggal harapan, tidak akan pernah terwujud, ibarat orang yang kehausan berharap air dari api, tidak akan pernah terwujud karena api tidak akan memberi air, ia memberi panas yang menambah haus.

Bait kelima, Imam berkata, walaupun langit Sarandib –pulau besar di ujung timur India- menurunkan mutiara, sumur Tukrur –sebuah daerah di ujung selatan Maroko- melimpahkan emas, aku tetap tidak tergoda dan tergiur, cukup bagiku apa yang Tuhanku berikan kepadaku, aku adalah orang yang berjiwa qana’ah, tidak terlena oleh kemakmuran dunia.

Bait keenam, menurut Imam, hanya ada dua pilihan di dunia ini, tetap hidup atau mati, jika yang pertama maka rizkiku akan tetap aku dapatkan, karena ia telah dijamin oleh Sang Pemberi rizki, jika yang kedua maka bumi Allah terhampar luas, di manapun aku tetap akan mendapatkan kubur, bukankah yang dibutuhkan orang mati hanyalah kubur?

Bait ketujuh, Imam membeber jati dirinya, ambisinya adalah ambisi para raja, artinya dia hanya mengejar perkara-perkara mulia dan luhur, menjauh dan berpaling dari perkara-perkara remeh dan rendah. Imam memandang dirinya merdeka, maka dia tidak sudi menjadikan dirinya sebagai hamba kepada sesama, dia hanya berkenan menghambakan diri kepada Sang Pencipta, dan perkaranya memang demikian, manusia diciptakan sebagai makhluk merdeka, bukan hamba si anu dan si ini, akan tetapi hamba Allah semata, dari sini Imam memandang kehinaan seseorang di depan orang lain sebagai kekufuran terhadap nikmat kemerdekaan yang telah Allah berikan seiring dengan kelahiran setiap manusia.

Bait terakhir, inilah sikap qana’ah sekaligus iffah (menahan diri dari apa yang ada di tangan orang lain) Imam basar ini, ‘untuk apa saya datang kepada Zaid, Amru, fulan dan seterusnya untuk menengadahkan tangan meminta sesuatu kepada mereka, sementara makanan dan rizki telah terjamin seumuh hidup? Bukankah hal ini jika aku melakukannya termasuk menghinakan diri kepada manusia?’ Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)