MACAM-MACAM AL-GHULUW (BERLEBIH-LEBIHAN)

Berlebih-lebihan bisa terjadi pada dua hal:

  • Berlebih-lebihan terhadap sosok/figur manusia

  • Berlebih-lebihan terhadap prinsip

Pertama: Berlebih-Lebihan Terhadap Manusia

Berlebih-lebihan terhadap manusia maksudnya adalah melampaui batas dalam mensucikan atau menganggap suci seseorang dari hamba Allah Ta’ala, sebagaimana yang terjadi pada sebagian orang yang menganggap tuhan terhadap Amirul Mukminin ‘Ali Bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dan sebagaimana kaum Nashrani yang menjadikan al-Masih bin Maryam sebagai tuhan selain Allah.

Dari sebagian fenomena berlebih-lebihan pada manusia yang sebagian manusia telah terjerumus ke dalamnya adalah seperti thariqat shufiyah dan lainya. Mereka berlebih-lebihan dalam mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengangkat beliau di atas kedudukannya (sebagai nabi), dan mereka berkeyakinan bahwasanya Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam dapat mengabulkan orang yang berdoa kepadanya, mereka pun memalingkan ibadah kepadanya dari selain Allah. Sebagian dari mereka yaitu al-Bushairi berkata tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bait syairya:

يَا أَكْرَمَ الْخَلْقِ مَا لِي مَنْ أَلُوْذُ بِهِ سِوَاكَ عِنْدَ وُقُوْعِ الْحَادِثِ الْعُمَمِ

فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدُّنْيَا وَ ضَرَّتَهَا وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمُ اللَّوْحِ وَ الْقَلَمِ

وَإِنْ لَمْ تَكُنْ يَوْمَ حَشْرِيْ آخِذًا بِيَدِيَّ فَضْلاً وَ إِلاَّ فَقُلْ يَا زُلَّةَ القَدَمِ

Wahai makhluk yang paling mulia
Tidak ada tempat berlindung bagi aku disaat hari kiamat tiba kecuali engkau
Sesungguhnya di antara karuniamu adalah dunia dan kekayaannya
Dan di antara ilmumu adalah ilmu “Lauhil Mahfudz”
Dan apabila pada hari pengumpulan nanti
Engkau tidak menjabat tanganku (untuk menolong)
Maka katakanlah: Alangkah celakanya aku

Hingga pujian lainnya yang berlebih-lebihan yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Kita memohon kepada Allah keteguhan dalam kebenaran.

Adapun Ahlu Sunnah wal Jamaah mereka mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkeyakinan bahwasanya beliau adalah sebaik-baik manusia, dan bahwasanya beliau adalah pemimpin para Rasul, dan penutup para Nabi. Ahlus Sunnah wal Jamaah menilai bahwa Mukmin yang paling sempurna imannya adalah Mukmin yang paling sempurna kecintaan dan ketaatannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Meskipun demikian mereka tetap berkeyakinan bahwasanya beliau adalah manusia biasa, beliau tidak bisa memberikan manfaat atau mudharat bagi dirinya (terlebih bagi orang lain) kecuali dengan apa yang telah ditakdirkan Allah kepada beliau, mereka berkeyakinan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah meninggal dunia, dan bahwa agamanya tetap kekal sampai hari Kiamat. (Aqidah Ahlu Sunnah wal Jamaah, karya Muhammad al-Hamdi hal 58 – 60)

Dan masih banyak sekali contoh-contoh dalam masalah al-ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, terhadap Ahlul Bait, dan terhadap orang-orang shalih dan yang lainnya. Kita senantiasa memohon kepada Allah Ta’ala kesehatan yang sempurna.

Kedua: Berlebih-Lebihan Terhadap Prinsip

Berlebih-lebihan terhadap prinsip merupakan bagian dari al-ghuluw. Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Contoh berlebih-lebihan dalam agama adalah memposisikan manusia pada posisi Tuhan, atau membolehkan keluar dari syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, atau berbuat ilhad dalam nama-nama Allah Ta’ala dan ayat-ayat Nya, juga cerita-cerita bohong atau anekdot-anekdot yang berbau sihir yang dengannya untuk menandingi para Nabi.” (Ad-Daulah wa Nidzamul Hisbah, karya Ibnu Taimiyah hal: 65,66.)

Diantara fenomena sikap berlebihan terhadap prinsip adalah berlebihannya sebagian orang dan sikap keras mereka dalam kondisi-kondisi hidup dan dalam beribadah seperti bersuci dan yang lainya.

Syaikh Ibnu Jibrin berkata ketika ia ditanya tentang sikap keras dalam agama, dalam prinsip, atau dalam kehidupan, maka ia menjawab, (Majmu Fatawa Wa-Rosail Syekh Ibnu Jibrin, al-‘Akidah juz kedua.) “Termasuk dalam kategori tersebut adalah berlebihan dalam bersuci dengan membasuh anggota wudhu lebih dari tiga kali basuhan, baik dalam hadats kecil maupun hadats besar. Sesungguhnya sebagian orang ada yang mengulang-ulang dalam mencuci dan menggosok anggota wudhu dan mereka berlebihan di dalamnya. Barangkali ia mengira bahwasanya air tersebut jatuh dari anggota wudhu dan tidak membasahinya, maka ia pun mengulangi mencuci anggota wudhunya berkali-kali. Itu adalah bisikan setan dengan maksud agar ia bosan melakukan ibadah dan menganggapnya berat, kemudian ia meninggalkan shalat dikarenakan wudhu yang dirasa-kannya berat. Demikian pula dalam masalah niat, ada sebagian dari mereka mengulangi membasuh anggota wudhu dengan mengira bahwa ia tidak berniat, dan ia mengulang-ngulangi takbiratul ihram hingga barangkali juga ia mengulangi shalatnya terus menerus dikarenakan keragu-raguannya dalam masalah niat.

Untuk menyembuhkan hal tersebut hendaknya ia (orang tersebut) mengetahui bahwasanya tidaklah ia menuju ke air kecuali dengan niat bersuci, dan tidaklah ia menuju ke mesjid kecuali dengan niat untuk shalat, maka sebenarnya niat itu pasti sudah ada. Sesungguhnya yang harus ia lakukan adalah memperbaiki niatnya dengan hanya mengharap ridha Allah, dan menghilangkan hadats serta melaksanakan ibadah.

Kemudian, ada sebagian orang yang menggampang-gampangkan masalah bersuci. Mereka tidak menyempurnakan wudhu hingga hadats pun tidak hilang, dan mereka lalai untuk menyempurnakan seperti yang diminta. Maka sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan, yaitu melaksanakan bersuci sesuai dengan sunnah, baik dalam hadats kecil ataupun hadats besar.

Dari sebagian sikap berlebihan yang tercela adalah meninggalkan hal-hal yang dimubahkan atau dibolehkan, juga mempersulit diri dalam menjauhi syahwat yang dihalalkan Allah Ta’ala padahal banyak dan dibolehkan, baik meninggalkan makanan seperti daging, buah-buahan, dan sayur-sayuran dengan hanya mencukupkan makan roti kering dan air laut atau yang lainnya. Atau meninggalkan mata pencaharian seperti kerajinan tangan, pertukangan, perniagaan dan bertani, padahal semuanya itu adalah baik tidak ada syubhat (keraguan) di dalamnya. Atau meninggalkan tugas dan pekerjaan yang dibolehkan, menyewakan jasa, kendaraan, atau barang-barang berharga lainnya dengan ongkos atau bayaran tertentu. Maka sesungguhnya semua itu merupakan kesederhanaan dan zuhud yang melampaui kadar yang semestinya atau yang dibutuhkan.

Sementara ada juga orang-orang yang berlapang-lapang pada sesuatu yang dimubahkan dan mengambil atau mengkonsumsi sebagian yang syubhat yang akan menjerumuskan dia pada keharaman. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَ عِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ

“Barangsiapa yang meninggalkan syubhat maka ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya. Barangsiapa yang terjerumus pada syubhat berarti ia telah terjerumus pada yang haram.”(Muttafaq alaih) (Dikeluarkan al-Bukhari no. 52, dan Muslim no. 1599 dari hadist Nu’man bin Basyir RA.)

Hal tersebut di atas terjadi pada orang-orang yang berlapang atau bersikap longgar dalam bermuamalah dengan bank-bank yang memberlakukan riba, memberikan pinjaman dengan disertai bunga, menambah harga dari harga yang telah ditentukan pada jual beli kredit, memahalkan kebutuhan orang-orang miskin dan mengambil harta dengan kebohongan, tipu daya yang diharamkan, sogok menyogok, dan pemalsuan.

Begitu pula (termasuk kategori bersikap longgar) orang yang tidak menghindarkan dirinya dari memakan daging yang di import yang diperkirakan dengan kuat bahwa daging tersebut adalah bang-kai, atau tidak disembelih dengan sembelihan yang sesuai dengan syari’at, melakukan makan-makan dengan orang–orang yang memiliki harta syubhat (diragukan) dan yang lainya. Maka mereka itu telah bersikap longgar atau berlapang-lapang sehingga mereka terjerumus ke dalam syubhat, dan mereka (yang pertama tadi) bersikap keras atau mempersulit diri, sehingga melarang dirinya dari sesuatu yang telah dimubahkan. Sebaik-baik urusan adalah pertengahan.

Dikatakan, “Begitu pula (termasuk sikap berlebihan yang tercela) adalah berlebihan terhadap pendapat para ulama dan para pemuda yang konsisten. Sesungguhnya sebagian dari para pemuda ada yang bersikap keras. Mereka tidak mau menerima jawaban seorang ulama atau jawaban yang dinukil dari kitab (buku referensi), atau pendapat seorang Mujtahid yang telah mengerahkan kemampuannya untuk membahas tentang solusi permasalahan yang terjadi padanya, kemudian ia memilih pendapat yang ditunjukan oleh ijtihadnya, dan menulis pendapat hasil ijtihad tersebut pada sebuah buku. Anda akan melihat bahwa mereka berpaling dari buku-buku yang telah bersusah payah disusun para ulama yang telah melakukan perbaikan. Padahal tidaklah mereka menulis pendapat-pendapat tersebut, kecuali setelah melakukan penelitian, penglihatan, pembahasan yang panjang, mengutip dari para ulama Ahlus Sunnah dan setelah mempraktekannya dalam waktu yang cukup lama. Mereka pun sangat berhati-hati dalam mengikuti dan taklid terhadap ‘Atsar. Mereka (para mujtahid) telah memeras keringat dan bekerja keras dalam menulis buku atau pendapat tersebut. Mereka menasihati umat dengan tujuan mem-berikan kemudahan pada generasi yang datang setelahnya, juga mengharapkan pahala dalam pemberian manfaat terhadap umat dan kesinambungan (umat tersebut) dalam mengamalkan ilmu yang dimanfaatkannya, baik dalam masalah aqidah, adab (etika), syariat atau lainnya. Generasi muda sekarang (modern) berpaling dari buku-buku (yang memuat pendapat para ulama mujtahid) tersebut. Mereka menganggap bahwa buku-buku tersebut adalah sampah yang hanya layak untuk dijual bukan untuk dimiliki. Mereka juga menganggap buku-buku tersebut hanya sekedar memuat pendapat-pendapat dan kebohongan-kebohongan tanpa ada dalil. Sesungguhnya tidak ada kebutuhan, kecuali hanya menyebutkan hukum setiap permasalahan yang terpikirkan, yang mungkin akan terjadi, dan alasan-alasan lainnya.

Ada pula sebagian yang lain (dari kalangan pemuda) mereka menerima pendapat-pendapat tersebut, dan meyakininya sebagai nash-nash syari’at serta mengunggulkannya di atas dalil-dalil yang shahih, juga di atas firman Allah Ta’ala dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka bersikap berlebihan terhadap para pengarangnya dan fanatik terhadap pengarang tersebut dengan mengikuti madzhab-madzhab. Mereka berpegang teguh kepada apa yang telah ditulis oleh guru-guru mereka, dan taklid pada setiap masalah kecil dan besar. Mereka berpaling dari kitab-kitab selain kitab para guru-guru mereka, dan berpaling pula dari kitab-kitab hadits dan hukum-hukum, dan mereka berlebihan pada taklid (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya).

Begitulah mereka telah berbagi-bagi dalam bersikap terhadap Masyayikh (yang dianggap guru) pada suatu zaman, maka setiap orang dari mereka (para pemuda) akan mendahulukannya atas yang lainnya, walaupun sama-sama terkenal, kuat dan utama. Setiap kelompok fanatik terhadap seorang alim yang dipilihnya, dan mereka selalu menerima setiap kata-katanya walaupun salah, serta berpaling dari kata-kata selainnya (selain orang alim yang dipilihnya).

Kewajiban yang mesti dilakukan adalah kembali pada yang haq, mendahulukan orang yang mengatakannya, serta menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai hakim, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala, “Apabila kamu sekalian berselisih pada suatu urusan maka kembalikanlah pada Allah dan Rasul Nya.” (an-Nisa: 59)