SIKAP-SIKAP DALAM MENGHADAPI SEBAGIAN MANUSIA YANG BERLEBIH-LEBIHAN ( Kitab “Min Akhbaril Muntakisin,” karya Shalih al-Ashimi, hal 118-120. )

Berdasarkan dalil-dalil dan nash-nash ini jelaslah bagi kita akan kemudahan agama Islam dan kerelaannya terhadap kemampuan individu. Tetapi sebagian orang ada yang tidak puas terhadap nash-nash ini dengan keyakinan bahwasanya ia bukanlah yang dimaksud oleh nash-nash tersebut, dan bahwasanya yang dimaksudkan oleh nash-nash tersebut adalah kelompok lainnya.

Maka bagi seorang muslim jika mau konsisten, hendaklah tidak membebani dirinya dengan sesuatu di luar kemampuannya baik dalam melakukan shalat malam dan berpuasa. Hingga tidak terjadi dampak yang negatif yaitu meninggalkan konsistensi, dikarenakan ketika ia merasa tidak mampu untuk melakukan apa yang dibebankan pada dirinya niscaya ia akan berpendapat atau menyimpulkan bahwasannya metoda atau cara tersebut tidak cocok bagi dirinya. Seharusnya ia bertahap dalam mendidik dirinya untuk melakukan hal-hal yang sunnat dan hendaklah ia memberikan hak dirinya, untuk mendekatkan pemahaman, Saya akan kemukakan contoh-contoh:

Ada seorang pemuda yang bersumpah untuk menghafal al-Qur’an pada liburan musim panas dan ia mengharamkan dirinya dari banyak hal. Kemudian, ia tidak mampu melakukan hal tersebut, tetapi ia terus melakukannya sehingga dengan sebab itu keadaan pun menjadi berubah, akhirnya tindakan pemuda tersebut telah mengakibatkannya harus masuk (dirawat) pada Rumah Sakit yang menangani penyakit syaraf. ( Kitab “Al-Mutasaqithun ‘ala Thariqi ad-Da’wah” karya Fathi Yakan. )

Ada pula seorang pemuda lain yang berambisi untuk menghafal al-Qur’an pada hitungan bulan yang sedikit, kemudian saya katakan kepadanya bahwa hal itu akan menyusahkan dirinya, tetapi ia menolaknya. Ketika beberapa bulan yang sudah ditetapkan itu berakhir, ternyata ia terkena depresi. Selanjutnya ia rela dengan sikap sederhana dan sekarang ia mulai menghafalkan al-Qur’an apabila ia melihat pada sesuatu dengan pertimbangan akalnya. Kita memohon pada Allah semoga memberikannya pertolongan. Sebagian orang terkadang mengatakan bahwasannya ada orang yang mampu menghafal al-Qur’an dalam waktu beberapa bulan atau dalam tempo waktu yang tidak lama, maka saya katakan bahwa ini adalah hal yang jarang dan sedikit, tidak setiap orang mampu melakukanya, bahkan mayoritas orang tidak mampu untuk melakukan hal tersebut.

Saya katakan bahwa ada seorang pemuda yang memiliki keinginan kuat untuk shalat malam, kemudian ia memulai dari hari pertama dan pada setiap rokaat ia membaca (ayat al-Qur’an) satu juz. Kemudian, dirinya menghendaki tambahan maka ia pun mulai menambahnya sehingga ia menjadi tidak mampu melakukan hal itu. Akhirnya, ia pun meninggalkan shalat malam secara total.

Salah seorang tokoh berkata kepada saya (penulis), bahwa ada seorang pemuda, ia memberikan atau menyampaikan materi tentang shalat malam. Maka dengan sebab itu ia bersemangat kemudian bangun pada malam harinya dan melakukan shalat malam sebanyak 70 rakaat. Ia memaksa dirinya untuk melakukan shalat malam tersebut, dan akhirnya ia tertidur sebelum shalat shubuh dan dirinya tidak merasakan apa-apa kecuali bahwa jarum jam telah menunjukkan pada jam 11.00 pagi. Maka ia pun telah mangakhirkan shalat (shubuh) dari waktunya disebabkan tidak adanya keseimbangan.

Janganlah seseorang mengira bahwa saya mencela orang yang bersemangat untuk beribadah. Semangat untuk beribadah merupakan sesuatu yang terpuji, tetapi hendaklah orang tersebut mampu bertindak seimbang dan mengetahui kekuatannya. Barangsiapa yang menempuh suatu jalan hendaklah ia meneruskannya (perjalanannya) pada jalan tersebut. Karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan petunjuk pada salah seorang sahabat, beliau bersabda,

لاَ تَكُنْ كَفُلاَنٍ كَانَ يَقُوْمُ اللَّيْلَ فَتَرَكَهُ

“Janganlah kamu seperti si fulan, ia melakukan bangun malam kemudian meninggalkannya.” (Bukhari no 1152, Muslim no 185, dari hadits Abdullah bin ‘Amru RA.) Karena meninggalkan ibadah setelah memulainya adalah tindakan yang tercela, dan terkadang menimbulkan dampak negatif pada diri pelakunya.

Sesungguhnya orang-orang yang membebani dirinya dengan sesuatu yang mereka tidak mampu (melakukan) dan mereka tidak mau bersikap sederhana (pertengahan) pada sesuatu dan bahkan mereka tetap melakukannya secara berlebih-lebihan. Maka mereka akan ditimpa kesulitan atau yang lainnya, karena terjadinya peru-bahan negatif pada diri dan keinginannya. Mereka itu bagaikan orang yang ingin menyeberangi padang pasir yang panjang dengan cepat, kemudian kendaraannya hancur dan ia tidak dapat sampai ke tujuan.

Contoh lainnya dari al-ghuluw adalah mengkafirkan. Aku akan menyebutkan sebuah kisah tentang seseorang yang mengkafirkan saudaranya dengan sebab saudaranya tidak melakukan shalat shubuh, kecuali setelah waktunya habis tanpa mengetahui sebab-sebab yang menghalangi saudaranya tersebut untuk melakukan shalat Subuh pada waktunya. ( Al-Mutasakitun, karya Fathi Yakan.
)

Mungkin saja yang menghalangi dia [dari mengerjakan shalat tepat waktu] adalah termasuk sesuatu yang dimaafkan oleh Allah. Tetapi orang ini (yang mengkafirkan) tetap pada sikapnya dan tidak rela dengan kesalahan saudaranya, sesungguhnya kecerobohannya dalam menggeneralisasi hukum (terhadap saudaranya) bertentangan dengan konsep dasar agama. Ia masih tetap pada pendiriannya sehingga mendapatkan dirinya telah keluar dari koredor keimanan, dan ia memulai perjalanan ini dengan mencukur jenggot, kemudian mencintai para pezina, dan dengan tindakan tersebut jalan pun berakhir dengan kekufuran. Kita senantiasa memohon kepada Allah untuk tetap dalam kebenaran.

Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwasannya membebani diri dengan sesuatu di luar kemampuan dampak minimalnya adalah meninggalkan ‘amal. Al-Bazar telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abas ia berkata, “Seorang hamba sahaya yang dimerdekaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ia melakukan puasa di siang hari dan bangun pada malam harinya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شَرَّةْ, وَلِكُلِّ شِرَّةْ فَتْرَةٌ, فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلىَ سُنَّتِيْ فَقَدِ اهْتَدَى, وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلىَ غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ ضَلَّ

“Sesungguhnya bagi setiap pekerjaan ada masa semangat, dan bagi setiap kesemangatan ada masa lelah. Maka barangsiapa yang rasa lelahnya menuju sunnahku berarti ia telah mendapatkan petunjuk, dan barangsiapa yang lelahnya itu menuju kepada selain sunnahku berarti ia telah tersesat.” (Imam Haitsami berkata dalam kitab “Majma Zawaid” juz 2 hal 261,262 diriwayatkan oleh Bazzar dan orang-orangnya saleh (tidak cacat) dan untuk hadits ini banyak riwayat dan lafadz. Diriwayatkan dari Abu Hurairah dalam hadits Turmudzi no. 2453. Imam Turmudzi berkata bahwa hadits ini dari sisi periwayatannya gharib, tetapi telah dianggap shahih oleh Imam al-Bani dalam kitab “Shahibul Jami’ no. 2151”, dan diriwayatkan dari Abdillah bin ‘Amru bin ‘Ash dalam hadits Imam Ahmad juz 2 hal 158. Ahmad Syakir berkata (no. 6477) bahwa sanadnya shahih. Dan selainnya dari berbagai jalan.)

Maka keseimbangan merupakan sesuatu keharusan dari menghalangi diri untuk beristirahat yang akan mengakibatkan lemah dan bosan. Maka seorang Muslim harus hidup dalam kondisi seimbang atau pertengahan, tidak berlebihan, dan tidak meremehkan. Ia harus mengetahui bahwa kemampuannya dirinya terbatas. Jika ia melampauinya, niscaya ia akan ditimpa malas dan lemah yang secara umum keduanya merupakan awal dari penyimpangan. Diambil dari kitab “Akhbarul Muntasikin.”

Dan sebagai penutup, “Wahai saudaraku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash radhiallahu ‘anhu,

فَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا, وَ لِزُوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا, وَ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

‘Sesungguhnya istri kamu mempunyai hak, tamu yang datang juga mempunyai hak atasmu, dan badan kamu juga mempunyai hak atasmu’.” (Bukhari no. 1976, 3418, dan Muslim no. 1159) Dalam riwayat lain disebutkan,

وَإِنَّ لِوَلَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا

“Sesungguhnya anak kamu mempunyai hak atas mu.” (Muslim no. 1159 hal 186) Dalam riwayat lain di sebutkan

فَإِنَّ لِعَيْنِكَ حَظًّا, وَ لِنَفْسِكَ حَظًّا, وَ لِأَهْلِكَ حَظًّا

“Sesungguhnya matamu memiliki bagian, jiwamu memiliki bagian, dan keluargamu memiliki bagian” (Muslim no. 1159 hal 186) Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abi Jahaifah radhiallahu ‘anhu, beliau (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) bersabda,

إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا, وَ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا, وَ لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا, فَأَعْطِ كُلَّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ

“Sesungguhnya bagi Tuhanmu ada hak atasmu, bagi dirimu ada hak atasmu, dan bagi keluargamu ada hak juga atasmu maka berikanlah kepada setiap yang memiliki hak itu haknya.” (Bukhari no. 2968.)

Berdasarkan hadits-hadits tersebut, maka wahai saudaraku, anda harus seimbang dalam setiap bidang atau masalah dari masalah-masalah kehidupan. Anda jangan berlebihan dalam satu masalah atau dalam satu sisi dengan mengorbankan sisi yang lainnya. Anda dituntut untuk memberikan istirahat pada badan sehingga anda mampu meneruskan perjalanan dalam melaksanakan kewajiban yang dituntut dari anda, baik dalam masalah agama ataupun dalam masalah dunia. Anda dituntut untuk melakukan kewajiban agama seperti shalat, haji, puasa dan dakwah (menyeru) kepada Allah berdasarkan atas dalil sesuai dengan kemampuan.

Begitu pula anda dituntut untuk melakukan kewajiban terhadap keluarga, anak, tamu, tetangga, pekerjaan yang ditugaskan, dan anda dituntut pula untuk mengarungi hidup dan mencari rezeki sehingga anda dan orang-orang yang ada di bawah tanggung jawab anda tidak menjadi beban bagi orang lain (meminta-minta). Maka berikanlah setiap yang memiliki hak itu haknya dengan tidak berlebihan, tidak bersikap keras, tidak mengurangi, tidak memaksakan diri, juga tidak meremehkan.

Maka demi Allah wahai saudaraku, dalam keseimbangan dan keadilan, serta menjauhkan diri dari tindakan berlebihan dengan segala makna dan pemahamannya, agama dan dunia anda akan selamat. Anda tidak akan celaka sebagaimana celakanya orang-orang yang terjerumus pada berbagai jenis berlebih-lebihan, kekerasan, menggampangkan, dan meremehkan syari’at Allah Ta’ala. Terbukti bah-wa pada akhirnya mereka meninggalkan amal, atau jauh dari agama, atau bisa juga terjerumus pada sesuatu yang dimurkai Allah Ta’ala, dan mereka terlibat dalam sebagian fitnah dan kerusakan, seperti peledakan bom, pembunuhan, penculikan, penentangan terhadap penguasa, kudeta militer dan kepartaian yang bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

Begitulah keterperosokan mereka pada sebagian fenomena yang buruk seperti demonstrasi, baik dengan damai ataupun kekerasan, mogok bicara, mogok kerja, keluar dari kelompok, kekerasan dalam dakwah, meninggalkan jama’ah, dan yang lainnya berupa fitnah-fitnah zaman dan fenomena-fenomena kekerasan, yang mana sebagian generasi muda kaum Muslimin sekarang terperosok ke dalamnya. Hal ini nantinya akan membawa umat pada kecelakaan, kerugian, kehancuran, perpecahan dan kehinaan. Allah Ta’ala mengetahui dengannya dan Allah tempat memohon pertolongan, tidak ada kekuasaan dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.