Najis jatuh ke dalam air yang diam dan ia tidak berubah, apakah ia najis?

Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat menjadi beberapa pendapat, yang paling terkenal adalah dua pendapat:

Pendapat pertama:

Air tersebut tetap suci baik ia sedikit maupun banyak. Air hanya menjadi najis jika ia berubah karena najis yang jatuh ke dalamnya. Pendapat ini adalah pendapat Malik dan sebagian Syafi’iyah seperti Ibnul Mundzir dan al-Ghozali.

Pendapat kedua:

Jika air tersebut banyak maka ia suci, jika sedikit maka ia najis. Pendapat ini milik asy-Syafi’i, Ahmad dan Abu Hanifah. Hanya saja pemilik pendapat ini berbeda pendapat tentang sedikit dan banyaknya air.

Menurut asy-Syafi’i dan Ahmad batasannya adalah dua qulla, kurang dari itu berarti sedikit, dua qulla atau lebih berarti banyak. Sementara menurut Abu Hanifah air sedikit adalah air yang jika salah satu sisinya digerakkan maka sisi yang lain bergerak, jika tidak maka ia banyak.

Dalil masing-masing pendapat:

Dalil pendapat pertama:

A. Sabda Nabi saw,

إن الماء طهور لاينجسه شيء .

“Sesungguhnya air itu suci dan mensucikan tidak ada sesuatu yang menajiskannya.” (HR. Imam yang tiga dan Ahmad dari Abu Said).

Hadits ini shahih, di antara yang menshahihkannya adalah Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nawawi dan Ibnu Taimiyah dan lain-lain.

Titik pengambilan dalil dari hadits ini:

Hadits ini tidak membedakan antara air banyak dan sedikit, asalkan ia tidak berubah maka ia tetap suci meskipun ada najis yang jatuh kepadanya. Hal ini selaras dengan sebab wurud hadits ini yakni Nabi saw ditanya, “Ya Rasulullah, apakah Anda berwudhu dari sumur Budha’ah padahal kain bekas haid, bangkai anjing dan kotoran terjatuh ke dalamnya?” Maka Nabi saw menjawab seperti dalam hadits.

B. Hadits Anas berkata, “Seorang Arab Badui datang dan dia kencing di salah satu sudut masjid, orang-orang menghardiknya tetapi Nabi saw melarang mereka, ketika dia menyelesaikan kencingnya Nabi saw meminta satu timba besar air dan ia diguyurkan di atasnya.” (Muttafaq alaihi).

Titik pengambilan dalil dari hadits ini:

Perintah Nabi saw menyiram kencing Arab Badui dengan setimba besar air menunjukkan bahwa air tersebut bertemu dengan najis dan ia mensucikannya, yang mensucikannya berarti suci, jika tidak mensucikan niscaya Nabi saw tidak merasa cukup dengan menyiramnya dengan setimba air.

C. Sabda Nabi saw:

إذا كان الماء قلتين لم يحمل الخبث وفي لفظ لم ينجس .

“Jika air itu mencapai dua qulla maka ia tidak dikalahkan oleh kotoran.” Dalam sebuah lafazh, “Tidak najis.” (HR. Ashab as-Sunan. Hadits ini shahih dishahihkan oleh an-Nawawi, Ibnu Khuzaemah, Ibnu Hajar dan lain-lain).

Titik pengambilan dalil dari hadits ini adalah:

Jika air dua qulla tidak najis karena najis yang jatuh ke dalamnya karena ia tidak berubah maka demikian pula yang kurang dari itu.

Dalil pendapat kedua:

A. Dalil ketiga yang digunakan oleh pendapat pertama. Kata pendapat kedua tentang hadits ini, jika air dua qulla tidak najis karena najis yang jatuh ke dalamnya maka yang kurang dari itu tidak demikian.

B. Sabda Nabi saw:

إذا سـتيقظ أحدكم من منامه فلا يغـمس يده في الإناء حتى يغـسلها فإنه لايدري أين باتت يده .

“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka janganlah dia mencelupkan tangannya ke dalam bejana sehingga dia membasuhnya karena dia tidak mengetahui di mana tangannya bermalam.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Titik pengambilan dalil dari hadits ini :

Nabi saw melarangnya memasukkan tangannya ke dalam bejana sebelum ia dibasuh karena dikhawatirkan najis, najis yang ada di tangannya dan ia samar baginya tidak merubah air meskipun demikian Nabi saw tetap melarangnya memasukkan tangannya ke dalam bejana sebelum dia membasuhnya.

C. Sabda Nabi saw:

إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليغسله سبعا . وفي مسلم: فليرقه ثم ليغسله سبع مرات .

“Jika seekor anjing menjilat bejana salah seorang di antara kalian maka hendaknya dia mencuci bejana itu tujuh kali.”
Dalam riwayat Muslim, “Hendaknya dia menumpahkannya dan mencucinya tujuh kali.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Titik pengambilan dalil dari hadits ini :

Perintah mencuci dan menumpahkan merupakan dalil bahwa ia najis.

Masalah ini termasuk masalah-masalah di mana dalil-dalilnya memungkinkan perbedaan pendapat, dari segi keshahihan dalil masing-masing pendapat tidak ada keraguan dan dari segi istinbath dari dalil-dalil yang ada juga memungkinkan.

Lajnah Daimah dalam fatwa no. 4849 menjawab pertanyaan: Apa pendapat yang rajih dalam masalah air?

Lajnah menjawab,
Segala puji bagi Allah semata, shalawat dan salam kepada Rasulullah saw, keluarga dan sahabatnya. Amma ba’du. Pada dasarnya air itu suci. Jika warna, rasa atau aromanya berubah karena najis maka ia najis, sedikit maupun banyak, jika tidak berubah maka ia suci, hanya saja jika ia sedikit sekali maka demi kehati-hatian dan agar terbebas dari khilaf serta mengamalkan hadits Abu Hurairah yang marfu’, “Jika anjing minum di bejana salah seorang dari kalian maka hendaknya dia menumpahkannya.” (HR. Muslim), maka hendaknya ia tidak dipakai untuk bersuci.

(Rujukan: Al-Majmu’, Imam an-Nawawi, al-Mughni Ibnu Qudamah).