KEDUA : FENOMENA MENENTANG PENGUASA

Sesungguhnya fenomena menentang penguasa, merupakan fenomena lama yang merupakan buah dari tindakan menghukumi penguasa yang menghukumi dengan selain yang diturunkan Allah (al-Qur’an) yang dilakukan oleh sebagian kelompok Islam zaman dahulu dan diikuti oleh sebagian kelompok pada zaman sekarang. Hal yang demikian itu karena mereka mengatakan sesungguhnya penguasa yang tidak memerintah dengan apa yang diturunkan Allah adalah kafir berdasarkan firman Allah, “Dan barangsiapa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah adalah kafir “ (al-Maidah: 44) dengan tanpa perincian (Ket : Telah terbit kepada kami buku yang berjudul “Fitnatut Takfir” karya Imam al-Albani dengan pujian dari Imam Abdullah Bin Baz dan komentar Ibnu Utsaimin di dalamnya terdapat perincian ilmiah serta mendalam untuk masalah pengkafiran dan masalah meng-hukumi dengan selain yang diturunkan Allah, dan telah dicetak untuk yang kedua kalinya dengan cetakan baru, dikaji ulang dan dibenarkan oleh Imam al-Albani dan Ibnu Utsaimin dan terdapat tambahan yang baik dan bermanfaat)

Kelompok ini telah berpendapat untuk menentang penguasa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah dan berpendapat pula untuk menghalalkan darah dan hartanya, dan barangkali termasuk kehormatannya dalam sebagian kondisi. Dan mengintimidasi penguasa tersebut untuk melepaskan kekuasaannya untuk digantikan dengan yang lain, atau kembali sadar kemudian menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah dan semua itu dikarenakan ia kafir.

Dan disini kita bertanya-tanya, “Apakah boleh menentang penguasa yang tidak memerintah dengan apa yang diturunkan oleh Allah tanpa perincian? Apakah ia kafir, zalim, atau fasik?” Maka apabila ia zalim atau fasik apakah boleh menentangnya? Atau harus bersabar dan memperhitungkan? Dan apabila ia kafir apakah boleh juga menentangnya? Atau harus berdasarkan syarat-syarat tertentu?”

Atas pertanyaan-pertanyaan ini kami menjawab, “Para ulama telah menetapkan kriteria dan syarat-syarat yang harus dipenuhi pada penguasa yang akan ditentang, dan syarat-syarat ini diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana pada hadits Ubadah Bin Shomit radhiallahu ‘anhu. Ia berkata, “Kami membai’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tetap mendengar dan menaati dalam kondisi semangat maupun terpaksa dan dalam kondisi susah ataupun senang dan kita harus memprioritaskannya, dan tidak boleh menentang urusan terhadap ahlinya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ فِيْهِ مِنَ اللهِ بُرْهَانْ

“Kecuali apabila kamu sekalian melihat kekufuran yang nyata maka bagi kalian telah ada penjelasannya dari Allah.” (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari No 7056 dan Imam Muslim No. 1841).)

Syaikh Ibnu Utsaimin telah menjelaskan syarat-syarat ini, ia berkata, (Ket: Kitab as-Sahwah al-Islamiyah Dawabit-wa-Taujihat halaman 286, 287 cetakan ketiga.) “Hendaklah diketahui bahwasanya menentang penguasa tidak dibolehkan kecuali dengan syarat-syarat berikut:

  • Hendaknya “melihat”, yakni mengetahui dengan yakin bahwa penguasa tersebut melakukan kekufuran.

  • Hendaknya yang diperbuat oleh penguasa itu adalah “kekufuran”, adapun kefasikan maka tidak boleh ditentang dengan alasan kefasikan tersebut walaupun besar.

  • Hendaknya kekufuran tersebut “nyata”, yakni memberikan kejelasan tanpa ada kemungkinan untuk ditakwilkan.

  • “Bagi kalian dalam permasalahan ini telah ada penjelasannya dari Allah Ta’ala”, yakni berdasarkan atas dalil yang pasti dari kitab dan sunnah atau kesepakatan ummat.

Maka syarat-syarat ini ada empat. Adapun syarat yang kelimanya diambil dari dasar-dasar yang umum untuk agama Islam, yaitu kemampuan mereka yang menentang untuk menjatuhkan penguasa, karena apabila mereka tidak memiliki kekuatan maka urusannya atau permasalahannya akan berbalik menjadi merugikan bagi mereka dan tidak menguntungkannya, maka bahayanya akan lebih besar dari bahaya yang ditimbulkan oleh sikap diam diri terhadap penguasa ini sehingga kelompok lain yang menuntut tegaknya Islam menjadi kuat.