Pengertian Wali

Wali dalam konteks sebagai pelaku (fa’il) memiliki makna an-Nashir/ Penolong (fathul bayan fi maqasidil Qur’an, 2/101, Abu Thayib al-Bukhari). al-wali juga memiliki arti al-muhibb (yang mencintai), ash-shadiq (teman/rekan), serta an-nashiir (pembela/ pendukung) (Tartib qamus al-muhith IV/685, ath-Thahir Ali az-Zawi). Seseorang dikatakan sebagai wali terhadap yang lainnya dikarenakan kedekatannya, keta’atannya dan karena selalu mengikutinya.

Dengan demikian, wali Allah adalah orang yang selalu menurut dan mengikuti segala yang dicintai dan diridhai Allah, menjauhi dan membenci serta melarang dari apa yang telah dilarang oleh-Nya (al furqan baina auliya’ ar-Rahman wa auliya’ asy-syaithan 53-54, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah). Mereka mendapatkan petunjuk berupa dalil yang jelas dari Allah, tunduk kepada-Nya serta menegakkan yang haq yaitu beribadah, berda’wah dan menolong agama Allah.

Setiap hamba yang bertakwa kepada Allah, setia, menaati-Nya, melaksanakan perintah-Nya serta menjauhi segala yang dilarang-Nya, maka dia adalah wali Allah. Mereka tidak merasakan takut di saat menusia merasa takut dan mereka tidak gentar di kala manusia merasa gentar nanti pada Hari Kiamat (al-qaul al jalil hal 36, Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Abdus Salam Khudlar)

Tanda-Tanda dan Sifat Wali Allah

1. Beriman dan Bertakwa

Allah Sunhanahu waTa’ala telah berfirman menjelas tentang wali-Nya, artinya, “Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa”(10 :62-63)

2. Mencintai Sesuatu yang Dicintai Allah dan Membenci Sesuatu yang Dibenci Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda, “Ikatan iman yang paling kokoh adalah menyintai karena Allah dan membenci karena Allah.” (HR. At-Tirmidzi dan lainnya)

3. Memihak Kepada Sesama Mukmin dan Memusuhi Orang Kafir.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia”. (QS. 60 :1)

4. Senantiasa Mengikuti Syari’at yang Dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Lahir dan Batin.

Katakanlah: ”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. 3:31)

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah RasulNya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagi-mu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59)

Wali Allah memiliki tingkat yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, puncaknya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian disusul para Nabi dan lebih khusus mereka yang mendapat predikat ulul azmi. Kemudian para shahabat terutama khulafaur rasyidin, selanjut-nya para pengikutnya menurut derajat ketakwaan masing-masing.

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. 49:13)

Di antara mereka ada yang sabiqun bil khairat (bersegera dan berlomba dalam kebaikan) dan ada pula yang muqtashid (orang yang hanya melaksanakan kewajiban dan meninggalkan yang haram ). Dan yang ma’shum atau terjaga dari kesalahan hanyalah para nabi dan rasul saja. Allah Subhanahu waTa’ala telah berfirman mengabarkan ucapan para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, (Mereka berdo’a), “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami”.(QS.2:286)

Dengan demikian untuk menentukan standar kebenaran, maka acuannya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau adalah ma’shum.

5. Berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah

Firman Allah Subhanahu waTa’ala, “Sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”. (QS. 2:177)

Katakanlah, ”Ta’atlah kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban rasul hanyalah apa yang dibebankan kepadanya, kewajiban kamu adalah apa yang dibebankan kepada-mu.Dan jika kamu ta’at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tiada lain kewajiban rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”. (QS. 24:54)

6. Selalu Bertaubat, Memohon Ampun dan Mengingat Allah

Dia menyadari, bahwa Allah adalah Maha Mengawasi dan Maha Menolong, sehingga hal ini akan mendorongnya untuk selalu melakukan kebaikan.

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan”. (QS.16:128)
“Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS.24:31)

7. Selalu Menyadari akan Kelemahan, Kekurangan dan Kekhilafannya.

Sehingga hal itu mendorong untuk terus berlindung kepada Allah dari buruknya jiwa serta memohon curahan rahmat-Nya.

Sebagaimana tercermin di dalam do’a berikut ini.

“Ya Allah sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dengan kezhaliman yang amat banyak, dan tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau, maka ampunilah aku dengan pengampunan dari sisi-Mu dan kasihanilah aku, sesungguhnya Engkau Maha Pengam-pun lagi Maha Penyayang.” (Muttafaq ‘alaih, dari Abu Bakarz)

Dia juga menyadari, bahwa setiap kebaikan yang ada pada dirinya adalah semata-mata berasal dari rahmat Allah, sedangkan yang selain itu adalah berasal dari diri sendiri.

“Barang siapa yang mendapatkan kebaikan, maka hendaklah ia memuji Allah, dan barang siapa mendapati selain yang demikian, maka janganlah mencela kecuali terhadap dirinya sendiri.”

8. Sabar, Berserah diri kepada Allah, Ridha dan Bersyukur Kepada-Nya.

Allah SubhanahuwaTa’ala berfirman, artinya, “Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Rabbmu pada waktu pagi dan petang”. (QS. 40:55)

Firman-Nya yang lain, “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. 64:11)

9. Memahami Hakikat Segala Sesuatu.

Yaitu mengetahui, bahwa alam semesta ini diatur oleh Allah atas kehendak-Nya, kemudian hakikat tentang agama diatur oleh Allah berdasarkan keridhaan dan cinta-Nya.Maka tidak dibenarkan seseorang menjalankan agama berdasarkan perasaan atau kemauan pribadi masing-masing. Syariat bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang harus selalu menjadi bingkai amal ibadah seluruh umat, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam membawa risalah Islam untuk seluruh bangsa jin dan manusia.

Wali Syetan

Wali syetan adalah orang yang berpaling dari Al-Qur’an, mengingkari dan kufur kepadanya sehingga mereka dikeluarkan oleh syetan dari kebenaran menuju kebodohan, kesesatan dan kekafiran.

Allah Subhanahu waTa’ala berfirman, artinya, “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran (Rabb) Yang Maha Pemurah (al-Qur’an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan), maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (QS. 43:36)

Dalam ayat yang lain disebutkan, artinya, “Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. 2:257)

Bahkan mereka semua terus dihasung oleh syetan untuk bermaksiat kepada Allah, dan apa yang mereka perbuat itu dihiasai oleh syaitan sehingga mereka merasa dalam kebenaran dan petunjuk.

Firman Allah Subhanahu waTa’ala, artinya, “Dan Kami tetapkan bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka dan tetaplah atas mereka keputusan azab pada umat-umat yang terdahulu sebelum mereka dari jin dan manusia; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi.” (QS. 41:25)

“Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan syaitan-syaitan pelindung (mereka) selain Allah, dan mereka mengira, bahwa mereka mendapat petunjuk.” (QS. 7:30)

Penutup

Umat manusia digolongkan menjadi dua golongan yaitu hizbullah (kelompok Allah) dan hizbusy syaithan (kelompok syetan). Dan ukuran seseorang disebut sebagai wali Allah atau bukan adalah berdasar pada keta’atannya kepada Allah, al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam seutuhnya, lahir dan batin. Semakin taat seseorang berarti semakin dekat tingkat kewaliannya, dan semakin durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia semakin dekat dengan syetan yang menipunya. Kesaktian dan kejadian luar biasa yang terjadi pada seseorang bukanlah ukuran untuk menentukan karamah dari kewalian. Tetapi harus dilihat keta’atan dan kesesuaiannya dengan ajaran Islam.

Imam Asy-Syafi’i berkata, “… Jika kalian melihat seseorang berjalan di atas permukaan air atau melayang di udara, maka janganlah terpedaya dengannya hingga kalian cocokkan keadaannya dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah”. (Tafsir Ibnu Katsir I hal :116. QS.2:34 Cet. Darus Salam 1994. Lihat Syarah Aqidah Ath-Thahawiyah. hal:769)

(Oleh: Ust.Waznin Mahfud)