Berwala` kepada orang kafir memiliki bentuk-bentuk yang beraneka macam, di mana hukumnya tidaklah sama, di antara bentuk-bentuk tersebut ada yang menyebabkan riddah dan membatalkan iman dari dasarnya dan ada pula yang kurang dari itu, di mana ia sederajat dengan kemaksiatan.

Wala` kepada orang-orang kafir jelas bertentangan dengan iman, kami akan menjelaskan secara ringkas beberapa contoh dari wala` kepada orang-orang kafir dalam bentuk perbuatan karena mempertimbangkan urgensinya yang besar di samping ia sering terjadi dalam skala yang luas.

Orang yang bermukim di negara kafir dengan dasar keinginan dan suka rela untuk hidup berdampingan dengan mereka, dia rela terhadap agama yang mereka peluk, atau memujinya atau mencari muka di hadapan mereka dengan mencela kaum muslimin.

Orang ini kafir musuh Allah dan rasulNya, karena Allah Taala berfirman, “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.” (Ali Imran: 28).

Ibnu Rusyd berkata, “Pasal: Jika orang yang masuk Islam di negeri kafir harbi wajib berhijrah dengan dalil al-Qur`an, sunnah dan ijma’ umat, dia harus bergabung dengan negeri kaum muslimin, tidak mendekam diantara orang-orang musyrik dan bermukim di kalangan mereka agar hukum-hukum mereka tidak diberlakukan atasnya, lalu bagaimana dibolehkan bagi seseorang untuk masuk ke negeri-negeri mereka di mana hukum-hukum mereka berlaku atasnya dalam perniagaan dan lain-lainnya. Malik membenci seseorang tinggal di daerah dimana di dalamnya salaf dicela, lalu bagaimana dengan daerah dimana Allah yang Maha Penyayang dikufuri, berhala-berhala padanya disembah selain Allah, jiwa seseorang tidak akan tenteram diatas ini kecuali dia adalah muslim su` (buruk) yang imannya sakit.”

Ibnu Hazm berkata di tempat lain, “Barangsiapa bergabung dengan negeri syirik tanpa alasan mendesak maka dia muharib, ini minimal jika dia selamat dari riddah dengan menyempalnya dia dari jamaah Islam dan bergabungnya dia ke negeri syirik.”

Allah berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri. Malaikat bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, ‘Kami adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?…” (An-Nisa`: 97),

Ibnu Katsir berkata, “Ayat yang mulia ini bersifat umum berlaku pada setiap orang yang bermukim di antara orang-orang musyrik padahal dia mampu berhijrah dan dia tidak bisa menegakkan agama, orang ini menganiaya dirinya melakukan sesuatu yang haram dengan ijma’.”

Syaikh Abdul Lathif bin Abdur Rahman bin Hasan alu asy-Syaikh berkata, “Bertempat tinggal di negeri yang dikuasai oleh kesyirikan dan kekufuran, didominasi oleh akidah Rafidhah dan agama orang-orang kafir dan orang-orang seperti mereka dari kalangan para pengingkar rububiyah dan ilhiyah, syiar-syiar mereka di dalamnya dijunjung tinggi sementara Islam dan tauhid dirobohkan, tasbih, takbir dan tahmid diliburkan, kaidah-kaidah agama dan iman dicabut, hukum yang berlaku pada mereka adalah hukum orang-orang Eropa dan Yunani, sedangkan para pendahulu dari ahli Badr dan baiat Ridhwan dicaci maki, bertempat tinggal di antara mereka dengan kondisi ini tidak keluar dari hati yang tersentuh oleh hakikat Islam, iman dan agama, bahkan tidak keluar dari hati yang ridha kepada Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad saw Nabi saw karena ridha kepada prinsip yang tiga ini merupakan poros agama, hakikat-hakikat ilmu dan keyakinan berputar di atasnya. Dalam kisah Islamnya Jarir bin Abdullah bahwa dia berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, baiatlah aku dan letakkanlah syarat.” Rasulullah saw menjawab, “Beribadahlah kepada Allah dan jangan menyekutukanNya dengan sesuatu, dirikanlah shalat, bayarlah zakat, dan berlepas dirilah dari orang-orang musyrik.” Diriwayatkan oleh Abu Abdur Rahman an-Nasa`i. Hadits ini mengkategorikan berlepas diri dari orang musyrik termasuk rukun Islam dan pondasinya yang besar.”

Dari Nawaqidhul Iman al-Qauliyah wal Fi’liyah, Dr Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdul Lathif.