KETIGA : FENOMENA PELEDAKAN, PEMBUNUHAN, PENCULIKAN, DAN AKSI BOM BUNUH DIRI

Sebagian kaum muda dan kelompok-kelompok [organisasi] telah menempuh jalan atau cara dengan melakukan peledakan terhadap gedung-gedung pemerintah atau swasta, juga melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang memiliki tugas atau tanggung jawab di pemerintahan atau yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa hal ini merupakan bagian dari jihad. Mereka membolehkan [perampasan] harta, [menghilangkan] jiwa, serta membolehkan melakukan tindakan-tindakan jihad dalam rangka melawan pemerintah atau penguasa yang dihukumi kafir, dan mereka berpendapat bahwa tindakan ini berpahala. Kita senantiasa memohon kepada Allah keselamatan yang sempurna.

Tidak diragukan lagi bahwasanya fenomena peledakan, pembunuhan, dan penculikan akan mengakibatkan kekacauan, menakut-nakuti orang, menghilangkan keamanan, dan menjadikan semua manusia dalam keadaan takut tidak tenteram, karena orang yang ingin masuk ke dalam gedung pemerintahan atau yang lainnya akan merasa takut terjadi peledakan terhadap gedung tersebut. Jika ber-jalan menggunakan mobilnya, ia pun takut terjadi pembunuhan atas dirinya atau peledakan terhadap mobilnya. Jika ia menaiki pesawat, ia takut kalau pesawat tersebut telah direncanakan untuk dibajak atau diledakkan, dan begitu seterusnya sehingga kehidupan menjadi rusak dan manusia tidak dapat bekerja dengan tenang dan tentram.

Di sini perlu adanya pertanyaan-pertanyaan:

  • Kenapa ia dibunuh dan diculik?

  • Apakah karena kekufurannya dan kemurtadannya? Ataukah karena ia merusak harta, harga diri dan agama?

  • Apakah ia telah diminta untuk bertaubat?

  • Siapakah yang memintanya untuk bertaubat?

  • Apakah kita dapat menghindarkan terjadinya pembunuhan terhadap yang lain pada saat melakukan pembunuhan?

  • Kemudian kemashlahatan apa yang dapat diambil dari semua itu?

  • Apakah boleh berkhianat/curang?!

Semua pertanyaan-pertanyaan ini dan pertanyaan lainnya yang masih banyak harus dijawab terlebih dahulu sebelum melakukan perbuatan-perbuatan ini.

Syaikh Shalih Sadlan berkata (Syaikh Shalih Sadlan: Muraja’at Fi Fiqhil waqi as-Siasi wa-al-Fikri karya Abdullah ar-Rifa’i hal: 78), “Ketika mereka menentang penguasa dengan melakukan pembunuhan terhadap banyak jiwa demi mencapai satu hal yaitu menekan penguasa. Mereka menghalalkan darah orang-orang Muslim yang memberikan loyalitasnya terhadap penguasa dan terkadang sebagai seorang Muslim yang melakukan shalat.

Maka mengapa mereka menghalalkan darah mereka?

Apakah karena hakim atau penguasa ini tidak menghukumi dengan syari’at Allah? Ataukah karena hakim ini menghukumi dengan undang-undang yang dibuat manusia? Atau karena hakim tersebut di negaranya terdapat khamr dan kemungkaran secara terang-terangan?!!”

Dan beliau berkata pula (Syaikh Shaleh Sadlan, Muraja’at fi-Fiqhil waki as-Siasi wal Fikri karya Abdullah ar-Rifa’i hal 78.), “Kita bertanya kepada mereka yang melakukan perbuatan ini. Apa yang mereka ambil? Faidah apa yang mereka dapatkan? Juga, hasil apa yang mereka raih dari per-buatan membunuh orang Muslim tersebut? Telah dijelaskan dalam hadist,

لِذَهَابِ الدُّنْيَا كُلِّهَا أَهْوَنٌ مِنْ سَفْكِ دَمِ امْرِئٍ مُسْلِمٍ

“Sungguh hilangnya dunia secara keseluruhan lebih ringan daripada menumpahkan darah orang Muslim.” (dikeluarkan oleh Imam Turmudzi no 1395, dan Imam Nasa’i no 2997 dan no 3998 dan no 4000 dari hadist Abdullah bin Amru dan dikeluarkan oleh Ibnu Majah no 2619 dari hadist Barra’ bin Azib, Imam Turmudzi berkata bahwa di dalam bab tersebut diriwayatkan dari Sa’ad, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud juga Buraidah.)

Sesungguhnya mereka yang bertindak demikian tidak memprediksikan hasil atau dampaknya. Sesungguhnya kita menyeru mereka untuk menjelaskan hasil yang dicapainya sejak dimulai penentangan terhadap penguasa, dan menjelaskan hasil yang mengakibatkan munculnya pengrusakan seperti peledakan, pembunuhan, penculikan dan yang lainnya. Bukankah hasil yang didapat itu hanyalah berupa kerusakan dan bahaya besar yang menimpa manusia baik secara umum maupun khusus?

Sesungguhnya bahaya yang dihasilkan dari cara atau jalan seperti ini lebih besar dari kemaslahatan yang diharapkan mereka, apabila disana ada kemashlahatan yang dapat disebutkan!!.

Di sini ada permasalahan yang penting:

Sebagian orang berpendapat bahwa melakukan perbuatan seperti itu adalah bagian dari jihad. Orang yang melakukan perbuatan seperti peledakan atau pembunuhan, apabila ia terbunuh maka dikategorikan syahid di jalan Allah. Untuk menjelaskan permasalahan ini, apakah jenis perbuatan ini merupakan bagian dari cara untuk mendapatkan syahid. Kita harus mengetahui, “Apakah yang dimaksud dengan syahid fi sabilillah itu?”

Syaikh Abu Bakar al-Jazairi pemberi nasihat di Masjid Nabawi di Madinah mengatakan (Koran al-Muslimun edisi ke 590, Jum’at 7/1/1417 H bertepatan dengan tanggal 24/5/1996 M.), “Sesungguhnya apabila seorang mujahid (pejuang) terbunuh di medan perang antara kaum Muslimin dengan musuh-musuhnya kaum kafir, dan peperangan tersebut dalam dua kondisi:

Pertama: orang Muslim menyerang negara kafir untuk mema-sukkan penduduknya ke dalam rahmat Allah dan agama Islam, agama yang menyelamatkan ummat dan memberikan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Kedua: Orang kafir sebagai musuh menyerang umat Islam, seperti perang Uhud, kemudian kaum Muslimin mengadakan perlawanan, maka di antara mereka (umat Muslim) ada yang gugur dalam peperangan ini sebagai syahid. Maka hal seperti ini dikategorikan syari’at sebagai syahid, tidak dimandikan, tidak dikafani, tidak dishalatkan, dan dikuburkan bersama darah yang ada pada pakaiannya, orang tersebut tidak mati di sisi Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki, mereka dalam keadaan bahagia disebabkan karunia Allah Ta’ala yang diberikan-Nya kepada mereka.” (Ali Imran: 169-170).

Ada satu syarat pokok yang mendasar untuk kedua kondisi yang telah disebutkan, yaitu hendaknya perang tersebut dengan seizin pemimpin kaum Muslimin dan berada di bawah komandonya.

Apabila seorang Muslim berpendapat untuk melakukan perang sendirian atau bersama beberapa orang tanpa ada izin dari pemimpin kaum Muslimin, maka perangnya adalah bathil, dan jika mati ia tidak dikategorikan syahid. Hal itu disebabkan karena tidak adanya izin dari pemimpin untuk melakukan perang tersebut, yang mana izin tersebut merupakan syarat yang mesti dipenuhi, terutama jika sudah ada perjanjian antara kaum Muslimin dengan orang-orang kafir untuk menghentikan peperangan dan tidak melakukan penganiayaan.

Berdasarkan ini maka sesungguhnya pembunuhan, peledakan yang dilakukan terhadap anak kecil dan dewasa, laki-laki dan perempuan yang diperbuat oleh sebagian pemuda kaum Muslimin di negara Islam dan di luar, dengan mengatasnamakan jihad dan memerangi kezaliman orang-orang yang menghukumi dengan selain yang diturunkan Allah, meminta mereka untuk kembali menjadikan Islam sebagai dasar hukum, dan meminta ditegakkannya pemerintahan Islam, semua perbuatan ini adalah bathil dan rusak serta tidak boleh menisbatkannya kepada Islam sebagai syari’at Allah dan agama-Nya yang hak dengan alasan apa pun. Bagi umat Islam tidak boleh menguatkannya dan mendukungnya walaupun dengan perkataan dan dirham (bantuan dana), karena sesungguhnya perbuatan tersebut tidak lain hanyalah kezaliman, kejahatan, dan kerusakan di muka bumi. Dan lebih dari itu, demi Allah tindakan tersebut tidak menda-tangkan kebaikan selamanya, terlebih mewujudkan hukum Islam dan pemerintahan Islam, dan realitalah sebagai buktinya.

Karena cara untuk mewujudkan hukum Islam dan pemerintahan Islam adalah hendaknya semua penduduk atau umat menyerahkan hati dan mukanya atau lahir dan bathinnya kepada Allah Ta’ala. Maka hatinya akan suci dan jiwanya akan bersih, perkataannya akan sama dan urusannya akan tetap istiqamah, semua itu akan nampak jelas pada semangat mereka untuk bangkit melaksanakan kewajiban dan meninggalkan keharaman, serta menyeluruhnya cahaya ilmu Ilahi bagi mereka dan setiap urusan hidup mereka, maka tidak akan ada kebodohan dan kesesatan dalam setiap kehidupan mereka..

Inilah cara atau jalan untuk mewujudkan hukum Islam dan pemerintahan Islam, wahai hamba Allah! Dengan menganalisa perjalanan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya akan memperkuat hakikat ini dan menegaskannya.

Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menetap selama 13 tahun di Mekkah setelah beliau diutus Allah Ta’ala. Beliau dan para sahabatnya mendapatkan penganiayaan dari orang-orang musyrik, kekerasan, dan kesombongan mereka. Beliau tidak pernah sama sekali berkata kepada para sahabatnya, “Bunuhlah si fulan.” Beliau berhijrah dengan membawa agama dan dirinya ke Madinah Munawarah untuk bermukim di sana. Beliau juga tidak pernah menyuruh salah seorang sahabatnya untuk membunuh musuh-musuhnya sehingga turun firman Allah Ta’ala untuk itu dalam firman-Nya, “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesunguhnya mereka telah dianiaya, sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (al-Haj: 39), dan hal itu setelah umat Islam benar-benar terbentuk di bawah kepemimpinannya yang lurus dan bijaksana.

Ini adalah hukum yang umum yang harus diketahui kaum Muslimin, khususnya para ulama yang menguatkan hukum terhadap masalah peledakan, pembunuhan, juga masalah-masalah yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, atau mengakibatkan seseorang masuk penjara atau masalah-masalah yang menjadikan Islam tercela dan ternoda. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terbebas dari semua itu.” Inilah syahid di jalan Allah sebagaimana telah dijelaskan Syaikh Abu Bakar al-Jazairi Hafidzohullah, maka tidak ada setelah yang hak itu kecuali kesesatan yang nyata.

Syaikh Shaleh Al-Fauzan ditanya, “Apakah organisasi bawah tanah terselubung disyariatkan di dalam Islam? Khususnya di negara yang Islam dan pemeluknya dihancurkan?”

Maka beliau menjawab, “Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ‘Tidaklah Allah Ta’ala membebani seseorang dari hamba-Nya melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (al-Baqarah: 286) dan juga berfirman-Nya yang artinya, “Maka bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah sesuai dengan kemampuan kamu.” (at-Thaghabun: 16), dan bagi kaum Muslimin dalam menghadapi musuh-musuhnya ada dua kondisi:

  • Pertama: Kaum Muslimin tidak memiliki negara yang melindunginya dan tidak memliki kekuatan yang mencegah mereka dari musuh-musuhnya. Maka dalam kondisi seperti ini kaum Muslimin hanya diwajibkan untuk berdakwah kepada Allah dan memberikan penjelasan dengan lisan saja, sebagaimana kondisi kaum Muslimin pada waktu bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Mekkah sebelum melakukan hijrah.

  • Kedua: Kaum muslimin memiliki negara dan kekuatan serta perlindungan. Maka pada kondisi seperti ini ada dua hal yang diwajibkan atas kaum Muslimin, yaitu berdakwah kepada Allah dan berjihad di jalan Allah dengan tanpa berkhianat, sebagaimana kondisi yang dialami Rasulullah dan kaum Muslimin setelah melakukan hijrah ke Madinah.

Pembagian yang saya katakan ini diambil dari sejarah perjalanan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam kebersamaannya dengan orang-orang kafir, dan beliau adalah suri tauladan bagi kaum Muslimin sampai hari Kiamat, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya telah terdapat bagi kamu sekalian pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagi orang-orang yang menghendaki pertemuan dengan Allah dan Hari Akhir, dan banyak mengingat Allah.” (al-Ahzab: 21)

Wajib atas orang Muslim untuk berhijrah dari negara-negara kafir ke negara Muslim apabila hal itu memungkinkan. Apabila tidak memungkinkan, maka hijrah ke negara kafir yang tidak terlalu membahayakan agamanya, walaupun memungkinkannya untuk berlari dengan agamanya. Wallahu a’lam.”