Di antara bentuk wala` kepada orang-orang kafir yang bertentangan dengan iman adalah menaati orang-orang kafir dalam peletakan syariat, penghalalan dan pengharaman, menampakkan persetujuannya, perbuatan ini adalah kufur yang mengeluarkan dari agama.

Allah Taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi al-kitab, niscaya mereka akan mengembalikanmu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.” (Ali Imran: 100).

Perhatikanlah firman Allah, “Jika kalian menaati…” perbuatan ini hadir secara mutlak, ia tidak menyebutkan sesuatu yang terkait dengannya yang merupakan obyek dari ketaatan, hal ini untuk menetapkan keumuman makna. Ayat yang mulia memperingatkan dengan keras agar kaum muslimin tidak menaati ahli kitab lebih-lebih orang-orang kafir lainnya dalam segala kondisi dan bidang kehidupan.

Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikanmu kepada kekafiran, lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 149).

Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab berkata tentang ayat ini, “Allah Taala mengabarkan jika orang-orang mukmin menaati orang-orang kafir niscaya orang-orang kafir itu membuat mereka murtad dari Islam, orang-orang kafir hanya rela terhadap kekufuran bagi orang-orang mukmin. Allah mengabarkan bahwa jika orang-orang di dunia dan akhirat, Allah tidak memberi keringanan untuk menaati dan menyetujui mereka karena takut kepada mereka, inilah yang terjadi karena mereka tidak akan menerima orang yang menyetujui mereka kecuali jika dia bersaksi bahwa merekalah yang benar dan menampakkan permusuhan dan kebencian kepada kaum muslimin.”

Allah Tabaraka wa Taala berfirman, “Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah kepadamu, ‘Kami akan mematuhimu dalam beberapa urusan.’ Padahal Allah mengetahui rahasia mereka.” (Muhammad: 25-26).

Wala` model ini menjadi sebab murtadnya orang-orang tersebut. Oleh karena itu Ibnu Hazm berkata, “Allah menjadikan mereka murtad lagi kafir setelah mereka mengetahui kebenaran dan memahami petunjuk hanya karena apa yang mereka ucapkan kepada orang-orang kafir, Allah Taala mengabarkan bahwa Dia mengetahui rahasia mereka.”

Ayat-ayat yang mulia tersebut di atas menetapkan bahwa sebagian ketaatan kepada orang-orang kafir merupakan riddah dari agama Islam seperti menyetujui mereka dalam memusuhi Rasulullah saw atau menentang Muhammad.

Oleh karena itu Allah Taala menghukum mereka dengan membatalkan amal mereka sebagaimana ia hadir dalam firman Allah, “Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat mencabut nyawa mereka seraya memukul-mukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan karena mereka membenci keridhaanNya, sebab itu Allah menghapus pahala amal-amal mereka.” (Muhammad: 27-28).

Ada satu perkara yang bisa diindukkan kepada ketaatan dan pengekoran kepada orang-orang kafir dalam penghalalan dan pengharaman serta menyetujui mereka dalam perkara tasyri’ yaitu apa yang difatwakan oleh sebagian ulama zaman ini tentang mengambil kewarganegaraan umat non muslim.

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha ditanya tentang seorang muslim yang mengambil kewarganegaraan yang bertentangan dengan Islam sebagaimana hal tersebut terjadi di Tunisia pada saat itu dan apa yang ada di balik pengambilan ini yakni pengingkaran terhadap sesuatu yang diketahui secara mendasar dalam agama, berdiri satu barisan dengan orang-orang kafir secara militer untuk memerangi kaum muslimin… dan seterusnya.

Di antara jawabnya, “Jika keadaannya seperti yang disebutkan dalam pertanyaan maka tidak ada perbedaan di antara kaum muslimin bahwa menerima kwarganegaraan merupakan tindakan riddah yang jelas dan keluar dari agama Islam, bahkan permintaan fatwa tentangnya termasuk aneh di negara Tunisia di mana diduga bahwa orang-orang awamnya mengetahui hukum apa yang tercantum di dalam pertanyaan karena ia termasuk perkara yang diketahui secara mendasar dalam agama.”

Sampai dia berkata, “Penerimaan seorang muslim terhadap kwarganegaraan dengan hukum-hukum yang menyelisihi syariat Islam berarti keluar dari Islam, ia merupakan penolakan terhadapnya dan pengunggulan terhadap syariat kwarganegaraan baru diatas syariat Islam, dalam hal ini sudah cukup jika dia mengetahui bahwa hukum-hukum tersebut dimana dia lebih mementingkan selainnya atasnya merupakan hukum-hukum Islam maka dia tidak diperlakukan dengan perlakuan kaum muslimin, jika hal ini terjadi pada penduduk suatu daerah atau kabilah maka mereka wajib diperangi karenanya sehingga mereka rujuk darinya.”

Sebuah pertanyaan yang berbunyi, “Apa pendapat ulama tentang seorang muslim yang mengambil kewarganegaraan umat non muslim dengan suka rela, dia rela hukum-hukum dalam undang-undangnya berlaku atasnya sebagai pengganti hukum-hukum syariat, termasuk di dalamnya berdiri satu barisan dengan mereka pada saat perang melawan kaum muslimin sebagaimana hal ini terjadi saat ini di Tunisia.”.

Pertanyaan ini dijawab oleh fatwa lajnah Mesir yang diketuai oleh syaikh Ali Mahfuzh, “Mengambil kewarganegaraan umat non muslim seperti yang tercantum dalam pertanyaan merupakan akad kesepakatan untuk membuang hukum-hukum Islam secara suka rela, penghalalan sebagian apa yang Allah haramkan, pengharaman sabagian apa yang Allah halalkan dan berpegang kepada undang-undang lain dimana Islam menyatakannya batil dan menetapkannya rusak, tidak ragu bahwa satu dari hal itu tidak mungkin ditafsirkan kecuali dengan riddah, hukum yang sesuai atasnya adalah hukum riddah, lalu bagaimana jika empat perkara tersebut terkumpul pada pangambilan kewarganegaraan yang tercela tersebut?”

Bisa jadi buntut terberat dari pengambilan kewarganegaraan ini yang terkait dengan pembahasan ini adalah wajib militer yang diberlakukan kepada orang-orang yang mengambilnya. Orang itu diangkat menjadi tentara bagi negara kafir tersebut dan mereka dihadapkan melawan kaum muslimin, dengan itu yang bersangkutan menjadi sekutu orang-orang kafir melawan kaum muslimin.

Meskipun demikian, kasus mengambil kewarganegaraan umat non muslim memiliki sisi eksternal yang bebeda-beda yang tidak terpisah darinya dalam kondisi menentukan titik alasan hukum kasus ini. Harus dilihat bahwa kondisi orang-orang yang mengambilnya berbeda-beda, oleh karena memerlukan perincian pada saat mengambil vonis hukum atas orang-orang tersebut. Barangsiapa mendapatkan kewarganegaraan dengan dasar cinta kepada negeri kafir, bergabung bersama orang-orang kafir, rela kepada hukum thaghut mereka, mengekor kepada undang-undang yang mereka letakkan maka dia tanpa ragu adalah kafir keluar dari agama, orang-orang seperti ini tidak sama dengan orang yang mengambil kewarganegaraan karena tekanan undang-undang thaghut yang menguasai negeri kaum muslimin maka undang-undang tersebut menimpakan siksaan buruk kepada penduduknya dan bermacam-macam tekanan yang memaksa sebagian kaum muslimin meninggalkan negeri mereka dan tinggal di negeri kafir dengan mengambil kewarganegaraannya meskipun mereka tetap membenci kekufuran dan orang-orangnya, mereka tetap menegakkan agamanya sebatas kemampuan mereka.

Sebagaimana ada faktor-faktor lain yang mesti diperhatikan pada saat menetapkan hukum dalam masalah ini di antaranya kondisi-kondisi yang tidak sama yang dihadapi oleh orang-orang yang bermukim di negeri tersebut, bentuk negeri tersebut seperti apakah ia negeri harb atau perjanjian, bentuk kewarganegaraan, sebab-sebab dan pendorong-pendorongnya, tenggat waktu bagi kasus tersebut … dan sebagainya. Wallahu a’lam.

Dari Nawaqidhul Iman al-Qauliyah wal Fi’liyah, Dr Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdul Lathif.