Di antara bentuk wala` amali kepada orang-orang kafir yang bertentangan dengan iman adalah bertasyabuh secara mutlak dengan mereka atau bertasyabuh dengan mereka dalam perkara yang menyebabkan kekufuran dan keluar dari Islam.

Menyamai orang-orang kafir dalam penampilan lahir walaupun dibolehkan bermuara kepada menyamai mereka dalam akhlak dan wala` secara batin, sebaliknya menyelisihi penampilan lahir membawa kepada perbedaan dengan kekufuran dan sebab-sebabnya, mewujudkan permusuhan dan berlepas diri dari orang-orang kafir.

Walaupun wala` berkait dengan hati akan tetapi menyelisihi secara lahir lebih membantu berlepas diri dan menghindari orang-orang kafir. Oleh karena itu menyelisihi orang-orang kafir itu sendiri merupakan sesuatu yang menjadi maksud dan tujuan peletak syariat.

Kami mengingatkan bahwa menyelisihi orang-orang kafir tidak dilakukan kecuali pada saat agama Islam tinggi dan menang dengan jihad sehingga mampu memaksa mereka menunaikan jizyah dengan kerendahan, tatkala kaum muslimin di awal Islam lemah maka belum disyariatkan menyelisihi mereka, tetapi tatkala agama telah sempurna, tinggi dan menang, maka hal itu disyariatkan.

Sebagai contoh pada hari ini, seandainya seorang muslim berada di negeri harbi atau negeri kafir maka dia tidak diperintahkan menyelisihi mereka dalam penampilan lahir karena hal tersebut mengandung mudharat atasnya, sebaliknya seseorang dianjurkan atau wajib atasnya mengikuti, kadang-kadang, penampilan lahir mereka jika hal itu mengandung kemaslahatan dari sisi agama dalam bentuk dakwah kepada mereka kepada agama, mengetahui batin urusan mereka untuk disampaikan kepada kaum muslimin atau menangkis mudharat mereka dari kaum muslimin dan maksud-maksud baik lainnya.

Nabi saw melarang bertasyabuh dengan orang-orang kafir, beliau bersabda, “Barangsiapa bertasyabuh dengan suatu kaum maka dia termasuk mereka.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad dihasankan oleh al-Albani di al-Jami’ ash-Shaghir no. 6025.

Ibnu Taimiyah berkata tentang hadits ini, “Hadits ini minimal menunjukkan diharamkannya tasyabuh dengan mereka walaupun zhahirnya menunjukkan kekufuran orang yang bertasyabuh dengan mereka sebagaimana dalam firman Allah, “Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (Al-Maidah: 51).

Mungkin saja ini dibawa kepada makna tasyabuh mutlak, ia menyebabkan kekufuran dan menunjukkan diharamkannya bagian-bagian dari itu, mungkin pula ia dibawa kepada makna bahwa dia termasuk mereka dalam kadar kebersamaan di mana dia menyamai mereka kepadanya, jika ia kekufuran atau kemaksiyatan atau syiar mereka maka hukumnya demikian. Apapun ia menunjukkan diharamkannya bertasyabuh.

Para ulama telah menurunkan bermacam-macam contoh dan bentuk-bentuk tasyabuh yang menyebabkan kekufuran, kami pilih di antaranya:

Qadhi Iyadh berkata, “Begitu pula kami mengkafirkan dengan setiap perbuatan di mana kaum muslimin telah bersepakat bahwa ia tidak dilakukan kecuali oleh orang kafir walaupun pelakunya berkata nyaring dirinya Islam akan tetapi dia tetap melakukan itu seperti berangkat ke gereja dan biara bersama jamaahnya dengan seragam mereka: mengikat sabuk di pinggang dan mencukur bagian tengah kepala, kaum muslimin bersepakat bahwa perbuatan ini tidak dilakukan kecuali oleh orang kafir.”

Ibnu Taimiyah berkata, “Jika ahli dzimmah mengunjungi gereja Baitul Maqdis apakah dia dijuluki haji? Tidak patut hal itu dikatakan karena menyamakannya dengan orang yang berhaji ke baitullah al-Haram. Barangsiapa meyakini bahwa mengunjunginya merupakan ibadah maka dia kafir, jika dia seorang muslim maka dia murtad dituntut bertaubat, jika dia bertaubat jika tidak maka dia dibunuh, jika dia tidak tahu bahwa ia haram maka dia diberitahu, jika dia bertahan maka dia kafir dan menjadi murtad.”

Al-Kharasyi berkata, “Begitu pula dia menjadi murtad jika dia memakai sabuk orang Nasrani di pinggangnya karena perbuatannya tersebut berarti kekufuran…sama dengannya melakukan sesuatu yang menjadi ciri khas seragam orang-orang kafir dan hal tersebut harus ditambah dengan berjalan ke gereja dan lainnya, ia juga dibatasi dengan apabila dia melakukannya di negeri Islam.”

Ibnu Nujaim berkata, “Kafir dengan meletakkan kopiah orang Majusi diatas kepalanya menurut pendapat yang shahih kecuali dengan lasan melawan panas atau dingin dan dengan mengikatkan sabuk orang nasrani di pinggangnya kecuali jika dia melakukan itu sebagai tipuan perang.”

Ibnu Hajar al-Haitami berkata, “Kalau dia mengikatkan sabuk orang Nasrani di pinggangnya dan dia masuk ke negeri harbi untuk berdagang maka dia kafir.”

Dalam fatwa al-Lajnah ad-Daimah li al-Ifta’ tentang hukum memakai salib, ditulis, “Jika dia mengetahui hukum memakai salib dan bahwa ia adalah syiar orang-orang Nasrani dan ada indikasi bahwa pemakainya ridha menisbatkan diri kepada mereka, rela kepada apa yang mereka pegang dan mempertahankan itu maka dia kafir berdasarkan firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin, sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Al-Maidah: 51)

Kata zhalim yang dibiarkan mutlak berarti syirik akbar. Memakai salib menunjukkan persetujuan kepada orang-orang Nasrani dalam keyakinan mereka bahwa Isa mati disalib padahal Allah telah mengingkari hal itu di dalam kitabNya, “Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi yang mereka bunuh ialah orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka…” (An-Nisa’: 157).

Dari Nawaqidhul Iman al-Qauliyah wal Fi’liyah, Dr Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdul Lathif.