Pertama: Pembunuhan duta besar dan para diplomat

Tidak diperbolehkan membunuh para duta besar dan para diplomat apabila mereka masuk dengan cara yang aman. Berkaitan dengan hal itu Ibnu Qudamah berkata dalam kitab Al-Mughni: “Apabila kafir harbi (yang boleh diperangi) memasuki negeri Islam dengan cara yang aman, maka biarkanlah hartanya, baik ia menghendaki untuk menjadi muslim atau dzimi (berada di bawah perlindungan umat Islam), atau tawarkan kedua-duanya kepadanya kemudian ia kembali ke “Darul harbi” (tempat atau negara kafir). Kemudian kita lihat, apabila dia masuk sebagai pedagang atau sebagai utusan, untuk berekreasi atau keperluan yang ingin didapatkannya kemudian masuk ke negara Islam, maka ia mendapatkan jaminan keamanan untuk jiwa dan hartanya, karena dengan tujuan-tujuan tersebut berarti ia mempunyai niat untuk bermukim di negeri Islam. Maka statusnya sama dengan kafir dzimi apabila ia memasuki negara Islam dengan maksud seperti tersebut.”

Adapun para duta besar atau utusan maka ia seperti orang Mukmin, baik dengan membawa surat-surat atau ia berjalan di antara dua kelompok yang bertikai untuk mengadakan perdamaian, atau ia berusaha untuk menghentikan perang untuk beberapa waktu supaya memudahkan pemindahan yang terluka dan terbunuh, atau yang lainnya dari berbagai misi atau tugas yang dapat dikategorikan sebagai tugas diplomasi, Menurut istilah sekarang dikategorikan diplomat dalam rangka perbaikan zaman.

Imam Ahmad serta Abu Daud meriwayatkan dari hadits Na’im bin Mas’ud, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada dua orang utusan Musailamah,

وَ لَوْلاَ أَنَّ الرُّسُلَ لاَ تُقْتَلُ لَضَرَبْتُ أَعْنَاقَكُمْ

“Kalau bukan karena bahwa para utusan itu tidak dibunuh, niscaya aku akan membunuh kalian.” ( Dikeluarkan oleh Abu Daud no. 2761 dari hadits Nuqim bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dan dikeluarkan pula oleh Abu Daud no. 2762, dan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya no juz 1 hal 391 dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Ahmad Syakir berkata pada hadits no. 3708: Sanadnya shahih.) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah membaca surat Musailamah, kemudian beliau bertanya kepada keduanya (utusan Musailamah), “Apa yang kamu berdua katakan?” Keduanya menjawab, “Kami mengatakan sebagaimana yang ia (Musailamah) katakan.” Yakni keduanya mengatakan kenabian Musailamah al-Kadzab.

Ketika kaum Quraisy mengutus Abu Rafi’ kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tiba-tiba timbullah keimanan dalam hati Abu Rafi’. Maka ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak akan kembali kepada mereka. Aku akan tetap bersama kalian sebagai Muslim.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنِّيْ لاَ أَخِيْسُ الْعَهْدَ وَ لاَ أَحْبَسُ الْبَرْدَ فَارْجِعْ إِلَيْهِمْ آمِنًا, فَإِنْ وَجَدْتَ بَعْدَ ذَلِكَ فِيْ قَلْبِكَ مَا فِيْهِ اْلآنَ, فَارْجَعْ إِلَيْنَا.

“Sesungguhnya aku tidak akan membohongi janji dan menahan yang lemah, kembalilah kepada mereka dengan aman. Apabila setelah itu kamu dapatkan dalam hati kamu apa yang kamu dapatkan sekarang di dalamnya, maka kembalilah kepada kami.” (Dikeluarkan oleh Imam Abu Daud No. 2758 dan Imam Ahmad dalam musnadnya Juz 6 halaman 8 dan Imam Hakim dalam kitab Mustadrak Juz 3 halaman 598. Imam Albani berkata dalam kitab silsilah Shahihah halaman 702, “Sanad yang shahih, semua orang-orangnya dapat dipercaya.” Orang-orang Syaikhani selain Hasan bin Ali bin Abi Rafi’ dapat dipercaya sebagaimana disebutkan dalam kitab Taqrib.” Imam al-Baghawi membahasnya dalam kitab Syarhus Sunnah Juz 11 halaman 163, al-Arnaut berkata,”Sanadnya shahih”.)

Dalam kitab al-Kharaj karya Abu Yusuf, juga dalam kitab as-Sair al-Kabir karya Muhammad dikatakan, “jika ada persyaratan yang disyaratkan bagi seorang utusan, maka kaum Muslimin harus memenuhi persyaratan tersebut, dan tidak dibolehkan bagi mereka untuk berkhianat kepada utusan musuh walaupun orang-orang kafir membunuh jaminan orang Muslim atau tawanan yang ada pada mereka, maka tidak boleh membunuh utusan mereka, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersada,

وَفَاءٌ بِغَدَرٍ خَيْرٌ مِنْ غَدَرٍ بِغَدَرٍ

“Membalas khianat dengan amanah (menepati janji) adalah lebih baik daripada membalas khianat dengan khianat”.

Imam Ibnu Kudamah berkata (Al-Mughni karya Ibnu Qudamah Juz 8 halaman 401), “Apabila al-Musta’man (orang kafir yang memohon perlindungan dari umat Islam) mencuri di negara atau tempat orang Muslim atau ia membunuh atau mengambil tanpa izin kemudian kembali ke negaranya di tempat orang kafir harbi (kafir yang boleh diperangi), kemudian keluar lagi dengan tujuan memohon perlindungan untuk yang kedua kalinya, maka al-Musta’man tersebut diminta untuk memenuhi syarat yang harus ia penuhi pada amanah yang pertama.” (Buku Tahsiluz Zad Litahkiki al-Jihad karya Said Abdul Adzim halaman 205-206.)

Syaikh Ibnu Jibrin ditanya, “Apakah pembunuhan terhadap orang yang mempunyai tanggung jawab dalam kenegaraan dan yang lainnya termasuk kategori atau bagian dari khianat? Dan apakah boleh membunuh orang kafir?” (Majmu Fatawa wa-Rasail Syaikh Ibnu Jibrin al-Akidah Juz 8.)

Maka beliau menjawab, “Tidak diperbolehkan membunuh dengan khianat terhadap musta’man, mu’ahad (yang mengadakan perjanjian) atau dzimmi (yang berada dalam kekuasaan umat Islam) terlebih orang Muslim. Telah dijelaskan dalam hadits bahwa barangsiapa yang membunuh seorang mu’ahad, maka ia tidak akan mencium wanginya surga. (Ket : dikeluarkan oleh Imam Bukhari No. 3166 dari hadist Abdullah Bin Amru radhiallahu ‘anhu.) Maka apabila yang dimaksudkan untuk dibunuh itu adalah seorang pemimpin atau yang memiliki tanggung jawab maka dosanya lebih besar. Hal itu dikarenakan ia telah ditetapkan, seperti pimpinan perusahaan atau lembaga. Maka tindakan membu-nuhnya mengandung makna penghancuran pada negara dan apabila diperkirakan bahwasanya ia (yang dibunuh) telah melakukan suatu aniaya atau kezaliman, seharusnya ia diadukan ke mahkamah syari’ah untuk diberlakukan kepadanya hukum Allah Ta’ala.