Ternasuk bentuk tasyabuh dengan orang-orang kafir yang berbahaya dan berdampak negatif besar serta paling merajalela di antara kaum muslimin adalah berpartisipasi dalam hari raya orang-orang kafir.

Berpartispasi dalam hari raya orang-orang kafir minimal diharamkan karena ia meliburkan tuntutan bara` terhadap mereka, berarti mengikuti mereka dalam perkara yang bukan termasuk agama kaum muslimin, disamping ia menyelisihi manhaj salaf shalih, ditambah lagi bahwa perayaan-perayaan tersebut termasuk bid’ah yang diada-adakan bahkan kekufuran.

Allah Taala telah memuji hamba-hambaNya yang beriman, Dia menyifati mereka dengan firmanNya, “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu.” (Al-Furqan: 72) Az-Zur (kesaksian palsu) dalam ayat tersebut menurut sebagian salaf adalah hari raya orang-orang musyrik.

Ketika Rasulullah saw datang ke Madinah penduduknya memiliki dua hari dimana mereka bersuka-ria padanya, Nabi saw bertanya, “Apa dua hari ini?” Mereka menjawab, “Kami bermain-main padanya di masa jahiliyah.” Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya Allah telah memberi kalian gantinya dengan yang lebih baik yaitu hari raya Idul Adha dan hari raya Idul Fitri.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasa`i dan Ahmad, sanadnya dishahihkan oleh oleh Hafizh Ibnu Hajar.

Ibnu Taimiyah menjelaskan makna hadits ini, dia berkata, “Titik pengambilan dalilnya, bahwa Nabi saw tidak mengakui dua hari raya jahiliyah, beliau tidak membiarkan mereka bersuka-ria padanya sebagaimana biasanya, beliau justru berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan dua hari yang lain.’ Mengganti sesuatu berarti membuang yang diganti karena antara yang diganti dengan yang mengganti tidak mungkin digabungkan, oleh karena itu ungkapan ini tidak dipakai kecuali pada sesuatu yang ditinggalkan penggabungannya.”

Umar bin al-Khattab rhu berkata, “Jauhilah musuh-musuh Allah dalam hari raya mereka.” Dari Abdullah bin Amru berkata,” Barangsiapa membangun di negeri ajam lalu dia membuat nairuz dan mahrajan seperti mereka dan bertasyabuh dengan mereka sehingga dia mati dalam keadaan demikian maka dia dibangkitkan bersama mereka pada hari Kiamat.”

Ibnu Taimiyah telah memaparkan beberapa pertimbangan penting dalam masalah ini di antaranya, dia berkata, “Hari raya termasuk ke dalam syariat, manhaj dan manasik di mana Allah berfirman, ‘Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka lakukan.’ (Al-Haj: 67) seperti kiblat, shalat dan puasa tidak ada perbedaan antara berpartisipasi dalam hari raya mereka dengan berpartisipasi dalam manhaj-manhaj yang lain karena persetujuan dalam seluruh hari raya berarti persetujuan dalam kekufuran dan persetujuan dalam sebagian cabangnya berarti persetujuan dalam sebagian cabang kekufuran, bahkan hari raya termasuk ciri khas terkhusus dari sebuah syariat dan termasuk syiarnya yang paling jelas. Jadi persetujuan padanya berarti persetujuan pada syariat kufur terkhusus dan syiarnya yang paling jelas, tidak ragu persetujuan dalam hal ini bisa berakhir kepada kekufuran secara umum dengan syarat-syaratnya.

Ibnu Taimiyah juga berkata, “Jika yang sedikit darinya dibolehkan maka ia membawa kepada yang banyak, kemudian begitu sesuatu itu menjadi terkenal maka orang-orang awam terseret ke dalamnya, mereka lupa asal usulnya sehingga ia menjadi adat bagi manusia bahkan hari raya sehingga ia menandingi hari raya Allah bahkan bisa ditambah sehingga hampir bisa mematikan Islam dan menghidupkan kekufuran sebagaimana setan melakukan itu kepada banyak orang yang mengklaim Islam dalam apa yang mereka lakukan di akhir puasa orang-orang Nasrani dalam bentuk hadiah-hadiah, kebahagiaan, uang dan baju anak-anak dan lain-lain yang membuatnya seperti hari raya kaum muslimin.”

Ibnu Taimiyah berkata, “Jika kaum muslimin melakukan bersama ahli kitab dalam hari raya mereka seperti mencelup dengan warna putih, mengecat hewan tunggangan dengan warna merah dan asap-asapan, melapangkan belanja, membuat makanan maka hal ini lebih jelas untuk sekedar ditanyakan, bahkan sebagian ulama dari rekan-rekan Abu Hanifah dan Malik telah menetapkan bahwa yang melakukan hal tersebut adalah kafir. Sebagian dari mereka berkata, Barangsiapa membelah semangka pada hari raya mereka maka dia seperti menyembelih babi, seorang muslim tidak boleh mengkhususkan hari Kamis mereka yang hina, tidak dengan membuat makan baru dari beras, kacang adas, telur hias dan lain-lain, tidak pula dengan berhias dengan pakaian bagus, tidak menghiasi hewan kendaraan, tidak dengan membeber pakaian dan yang sepertinya.”

Lanjut Ibnu Taimiyah, “Barangsiapa melakukan hal tersebut sebagai ibadah, mendekatkan diri dengannya, meyakininya sebagai kebaikan maka dia dikenalkan dengan agama Islam, bahwa ia bukan dari Islam, justru lawannya, dia dituntut bertaubat, jika dia bertaubat jika tidak maka dibunuh. Adapun penyembelihan seorang muslim untuk dirinya pada hari raya mereka sebagai sebuah ibadah maka ia adalah kufur yang jelas seperti menyembelih untuk berhala.”

Adz-Dzahabi berkata, “Wahai muslim Allah telah mewajibkan atasmu berdoa kepadaNya Taala tujuh belas kali dalam sehari semalam agar kamu diberi petunjuk ke jalan yang lurus jalan orang-orang yang Allah beri nikmat bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang tersesat, lalu bagaimana jiwamu rela bertasyabuh dengan sesuatu kaum yang begini sifatnya dan mereka adalah kayu bakar Jahannam? Kalau dikatakan kepadamu, ‘Tirulah orang-orang hina’ niscaya kamu menolaknya dan kamu marah padahal kamu meniru dengan penyembah salib terbodoh dalam hari rayanya, kamu memberi pakaian baru kepada anak-anakmu dan membahagiakan mereka, kamu menghias telur untuk mereka, membeli wangi-wangian dan kamu merayakan hari raya musuhmu seperti kamu merayakan hari raya nabimu. Ke mana ia membawamu kalau kamu melakukan itu selain kepada murka dan laknat Allah jika Dia tidak mengampunimu, jika kamu mengetahui bahwa Nabimu saw memerintahkan menyelisihi ahli kitab dalam perkara yang menjadi ciri khas mereka.”

Muhammad bin Ismail ar-Rasyid al-Hanafi berkata, “Dalam al-Khulashah ditulis, barangsiapa menghadiahkan sebutir telur kepada orang Majusi pada hari Nairuz maka dia kafir.” Dan di al-Fatawa ash-Shughra, “Barangsiapa membeli sesuatu pada hari Nairuz padahal dia tidak membelinya sebelum itu. Jika maksudnya adalah mengagungkan Nairuz maka dia kafir, jika kebetulan membeli dan dia tidak mengetahui bahwa hari ini adalah hari Nairuz maka tidak kafir.”

Dari Nawaqidhul Iman al-Qauliyah wal Fi’liyah, Dr Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdul Lathif.